Studi Kritis Buku “Membedah Bid’ah dan Tradisi”

 

Disusun Oleh: Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

 

Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Membedah Bid’ah dan Tradisi Dalam Perspektif Ahli Hadis‘ dan Ulama Salafi.

Buku ini penuh dengan syubhat-syubhat yang sangat berbahaya yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke jalan kesesatan dan memalingkannya dari jalan yang lurus.

Untuk menunaikan kewajiban kami dalam nasehat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq maka dengan memohon pertolongan kepada Allah akan kami paparkan sebagian dari syubhat-syubhat buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita semua.

1.    Penulis dan Penerbit Buku Ini

Buku ini ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli dan diterbitkan oleh Khalista Surabaya, cetakan pertama, Oktober 2010 M.

2.    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Salaf Melarang Bid’ah Sedangkan Penulis Menganjurkan Bid’ah

Di antara nikmat terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana dalam firman-Nya:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS al-Ma‘idah [5]: 3)

Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan dunia ini melainkan telah menyampaikan semua agama Islam ini kepada manusia. Karena agama ini telah sempurna, tidak dibolehkan bagi siapa pun mengadakan perkara-perkara baru (bid’ah) di dalam agama ini.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة

“Dan awaslah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 4/126, ad-Darimi dalam Sunan-nya 1/57, at-Tirmidzi dalam Jami’-nya 5/44, dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya 1/15 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 26, 34)

Al-Imam Malik bin Anas Rahimahullahu Ta’ala berkata:

من ابتدع في الاسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمداً صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لان الله يقول ﴿ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ﴾ ، فما لم يكون يومئذٍ ديناً فلا يكون اليوم ديناً

“Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia anggap baik bid’ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah berfirman: ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu.’ Oleh sebab itu, apa saja yang bukan merupakan agama (Islam) pada hari itu, maka ia bukan termasuk agama (Islam) pula pada hari ini.” (al-Ihkam kar. Ibnu Hazm 6/225 dan al-I’tisham kar. asy-Syathibi 1/64)

Demikian juga para salafush shalih begitu sangat di dalam melarang umat dari setiap kebid’ahan sebagaimana dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya beliau berkata:

كل بدعة ضلالة و إن رآها الناس حسنة

“Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai suatu kebaikan.” (Diriwayatkan oleh al-Lalika‘i dalam Syarah Ushul I’tiqad: 126, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah: 205, al-Baihaqi dalam Madkhal ila Sunan: 191, dan Ibnu Nashr dalam as-Sunnah: 70 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkam al-Jana‘iz hlm. 258)

Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah! Sebab, sungguh itu telah cukup bagi kalian. Dan (ketahuilah) bahwa setiap bid’ah adalah sesat.” (Ibnu Nashr: 28 dan Ibnu Wudhdhah: 17)

Adapun penulis buku Membedah Bid’ah dan Tradisi ini begitu antusias mengajak kaum muslimin kepada bid’ah sebagaimana tampak sekali di dalam perkataan-perkataannya:

-Hlm. 16: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya…”
-Hlm. 21: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah di dalam agama.”

3.  Ketidaktahuan Penulis Terhadap “Sunnah Taqririyyah”

Penulis di dalam bukunya ini banyak berbicara tentang “sunnah dan bid’ah”, tetapi ternyata dia tidak paham tentang pengertian “sunnah” dan “bid’ah” sehingga dia banyak menyatakan bahwa taqrir-taqrir (persetujuan) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bid’ah.

Merupakan hal yang diketahui oleh setiap orang yang belajar tentang Ilmu Hadits bahwa sunnah secara bahasa adalah الطريقة (jalan) yang baik maupun yang jelek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء

“Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam maka dia mendapat pahala dari sunnah tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, dan barangsiapa yang membuat sunnah yang jelek dalam Islam maka mendapat dosa dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (Shahih Muslim 2/705)

Ibnu Manzhur berkata, “Sunnah adalah jalan yang baik atau yang jelek.” (Lisanul Arab 17/89)

Adapun sunnah menurut istilah ahli hadits adalah “apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau taqrir (persetujuan), atau sifat fisik, atau perilaku, atau perjalanan hidup, sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi”. (Taujihun Nazhar ila Ushulil Atsar kar. Thahir bin Shalih ad-Dimasyqi hlm. 3 dan as-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ kar. as-Siba’i hlm. 47)

Sunnah diartikan juga sebagai “lawan dari bid’ah”, di saat menyebarnya bid’ah-bid’ah dan ahwa‘. Al-Imam asy-Syathibi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dipakai juga (lafal sunnah) sebagai lawan dari bid’ah. Dikatakan ‘Fulan di atas sunnah’ jika dia beramal sesuai dengan apa yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam … dan dikatakan ‘Fulan di atas bid’ah’ jika dia mengamalkan kebalikannya.” (al-Muwafaqat 4/4)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka ia adalah berpegang teguh dengan jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Khulafaur Rasyidin baik berupa keyakinan, perbuatan, dan perkataan; inilah sunnah yang sempurna. Karena itulah, ulama salaf sejak dahulu tidak memakai lafal sunnah kecuali meliputi semua hal di atas. Ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auza’i, dan Fudhail bin ’Iyadh.” (Jami’ul Ulum wal Hikam hlm. 262)

Di antara contoh-contoh ketidakpahaman atau kebodohan penulis buku Membedah Bid’ah dan Tradisi ini terhadap “sunnah” bahwa dia banyak menyebut sunnah-sunnah taqririyyah (persetujuan-persetujuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) sebagai “bid’ah”:

  1. Di dalam hlm. 15 dia membuat subjudul “Bid’ah Hasanah Pada Masa Rasulullah Shollallohu Alaihi wa Sallam”, kemudian dia membawakan hadits Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan taqrir (persetujuan) terhadap Mu’adz Radhiallahu ‘Anhu yang langsung masuk shalat tanpa menunggu isyarat jama’ah dan mengganti raka’at yang tertinggal.
  2. Di dalam hlm. 17 masih di bawah subjudul “Bid’ah Hasanah Pada Masa Rasulullah Shollallohu Alaihi wa Sallam” dia membawakan hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan taqrir (persetujuan) terhadap shalat Sunnah Wudhu yang dilakukan oleh Bilal Radhiallahu ‘Anhu.

Contoh-contoh di atas menunjukkan ketidakpahaman penulis atau kebodohannya terhadap pengertian “sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, karena para ulama Hadits dan Ushul sepakat memasukkan taqrir-taqrir Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke dalam definisi “Sunnah”. (Lihat Ushulul Hadits hlm. 19 dan Irsyadul Fuhul hlm. 33)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkata:

الحديث النبوي عند الإطلاق ينصرف إلى ما حدث به بعد النبوة: من قوله وفعله وإقراره …فإن سنته ثبتت من هذه الوجوه الثلاثة

“Dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam pemakaiannya dibawa kepada apa yang terjadi setelah kenabian: dari perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, perbuataannya, dan persetujuannya … maka sesungguhnya sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah tsabit dari tiga segi ini.” (Majmu’ Fatawa 18/6–7)

4. Penulis Menyatakan Bahwa Sunnah-Sunnah Khulafaur Rasyidin Adalah Bid’ah

Di antara contoh lain dari ketidakpahaman penulis terhadap pengertian “sunnah dan bid’ah” bahwa dia banyak menyatakan bahwa sunnah-sunnah Khulafaur Rasyidin adalah bid’ah padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan setiap muslim agar berpegang teguh dengan sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan “sunnah Khulafaur Rasyidin” sebagaimana dalam sabda beliau:

من يعش منكم فسيرى اختلافاً كثيراً، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة

“Siapa saja di antara kalian yang hidup lama (berumur panjang) akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku, dan awaslah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 4/126, ad-Darimi dalam Sunan-nya 1/57 , at-Tirmidzi dalam Jami’-nya 5/44, dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya 1/15 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 26, 34)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa 3/375)

Di antara sunnah-sunnah Khulafaur Rasyidin yang dianggap bid’ah oleh penulis buku Membedah Bid’ah dan Tradisi adalah: penghimpunan al-Qur‘an di dalam Mushaf pada zaman Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu (hlm. 25) dan adzan ketiga pada hari Jum’at di Pasar Madinah pada zaman Khalifah Utsman Radhiallahu ‘Anhu (hlm. 28).

5.  Pembelaan Penulis Terhadap Acara-Acara Bid’ah

Penulis menyatakan bolehnya tradisi-tradisi seperti mitoni, tingkepan, dan yang lainnya dengan mengatakan (hlm. 39):

Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama.

Kami katakan:

Kaidah “al-’Adatu Muhakkamah” (sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran hukum) bukanlah dipakai secara mutlak, melainkan dibatasi dengan syarat-syarat yang wajib dipenuhi, seperti:

  1. Dipakai sebagai rujukan pada hukum syar’i yang belum ada ketentuannya. Syaikh Muhammad bin Nashir as-Sa’di Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Urf dan adat kebiasaan dijadikan tujukan di dalam semua hukum syar’i yang belum ada ketentuannya.” (al-Qawa’id al-Jami’ah hlm. 35)

Jika sudah ada ketentuan dari syari’at maka adat tidak boleh dipakai, seperti tahlil dan dzikir-dzikir yang lainnya sudah ada ketentuan tentang kaifiat (tata cara)nya di dalam syari’at sehingga tidak boleh mengadakan tata cara yang bid’ah sesuai dengan tradisi masyarakat.

  1. Tidak boleh bertentangan dengan dalil syar’i, jika bertentangan dengan dalil syar’i maka tidak boleh mengikuti adat karena tiga alasan:
  2. Manusia tidak berhak mengubah nash.
  3. Nash lebih kuat daripada adat kebiasaan.
  4. Karena adat kadang disandarkan pada suatu kebatilan. (Lihat al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah hlm. 282–283.)

6.  Berargumen Dengan Hadits Lemah dan Palsu

1.   Penulis di dalam hlm. 29 membawakan hadits Walid bin Surai’ bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak shalat Sunnah sebelum dan sesudah ’Id.

Kami katakan:

Hadits ini dilemahkan oleh al-Imam al-Haitsami yang mengatakan, “Di dalam sanadnya ada perawi yang tidak saya kenal.” (Majma’ Zawa‘id 2/438)

2.   Penulis di dalam hlm. 45 membawakan hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu yang mengatakan, “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La Ilaha Illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”

Kami katakan:

Hadits ini adalah hadits yang palsu, dikeluarkan oleh Ibnu Adi di dalam al-Kamil fi adh-Dhu’afa‘ 1/271 dari jalan Ibrahim bin Abi Humaid dari Abdul Azhim bin Habib dari Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar dari bapaknya dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu. Kemudian Ibnu Adi menyatakan bahwa hadits ini adalah termasuk kemungkaran-kemungkaran Ibrahim bin Abi Humaid. Dan Ibrahim bin Abi Humaid dikatakan “memalsukan hadits” oleh Sa’id bin Abi Arubah.

3.   Penulis di dalam hlm. 46 membawakan hadits dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika seorang saudara kalian mati maka ratakanlah tanah padanya, kemudian hendaknya seorang dari kalian berdiri di sisi kepala kuburnya kemudian mengatakan, ‘Wahai Fulan bin Fulanah’ karena sesungguhnya dia bisa mendengarnya dan tidak bisa menjawabnya, kemudian hendaknya mengatakan, ‘Wahai Fulan bin Fulanah’ karena sesungguhnya dia telah duduk lurus, kemudian mengatakan, ‘Wahai Fulan bin Fulanah’ karena sesungguhnya mayit tersebut mengatakan, ‘Berikan petunjuk kepada kami—semoga Allah merahmatimu’, tetapi kalian tidak merasakan; maka hendaknya dia mengatakan, ‘Sebutlah apa yang engkau keluar dari dunia atasnya Syahadatu an La Ilaha Illallah wa anna Muhammadan Rasulullah, dan bahwasanya engkau ridha terhadap Allah sebagai Rabb, terhadap Islam sebagai agama, terhadap al-Qur‘an sebagai imam’, karena sesungguhnya Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan seraya mengatakan, ‘Beranjaklah, kita tidak duduk di sisi orang yang mentalqin (menuntun) argumennya’, maka Allah akan menjadi pembelanya di belakang keduanya.” Maka seorang laki-laki berkata, “Kalau tidak mengenal ibunya?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dinasabkan kepada ibunya, ‘Wahai Fulan bin Hawwa’ … dst.”

Kami katakan:

Hadits ini adalah hadits yang lemah, dilemahkan oleh para ulama seperti al-Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 5/304, al-Imam Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma’ad 1/145, dan al-Hafizh al-’Iraqi di dalam Takhrij al-Ihya‘ 4/216.

Al-Imam ash-Shan’ani Rahimahullahu Ta’ala berkata di dalam Subulus Salam 2/161:

ويتحصل من كلام أئمة التحقيق أنه حديث ضعيف ، والعمل به بدعة ولا يغتر بكثرة من يفعله

“Dan kesimpulan dari perkataan para imam tahqiq bahwa hadits ini adalah lemah, dan mengamalkan talqin adalah bid’ah. Dan janganlah terperdaya dengan banyaknya orang yang melakukannya.” (Lihat Silsilah Dha’ifah 2/65.)

Hadits ini termasuk hadits-hadits yang diingkari oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-muridnya. Datang di dalam kitab Durar Saniyyah fil Ajwibah Najdiyyah 3/250, “Ini adalah hadits yang tidak shahih kemarfu’annya. Talqin ini tidaklah tsabit dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hal itu diingkari oleh kaum muslimin di zaman kita. Wallahu A’lam.”

7.  Kedustaan-Kedustaan Penulis

1.   Penulis berkata di dalam hlm. 48:

Terbitnya kitab Ahkam Tamanni Al-Maut ini menggemparkan dunia pemikiran Wahhabi karena tanpa disadari oleh mereka, isi kitab yang mereka terbitkan ini mengandung hadits-hadits yang bertentangan dengan ideologi kaum Wahhabi selama ini. Akhirnya tanpa dalil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, Syaikh Shalih Al-Fauzan—tokoh Wahhabi yang sangat fanatik—berfatwa bahwa kitab ini palsu, bukan tulisan pendiri Wahhabi.

Kami katakan:

Ini adalah kedustaan penulis atas Syaikh Shalih al-Fauzan karena beliau telah membawakan dalil-dalil yang ilmiah atas kebatilan kitab Ahkam Tamanni al-Maut ini di dalam kitab beliau yang berjudul Ibthal Nisbati Kitab Ahkam Tamanni al-Maut ila Syaikhil Islam Muhammad bin Abdul Wahhab; di antara dalil-dalil yang menunjukkan kebatilan penisbahan kitab tersebut adalah:

  • Sesungguhnya orang-orang yang menisbahkannya kepada Syaikh tidaklah bersandar kepada naskah asli yang shahih dan dipercaya. Mereka hanyalah bersandar kepada fotokopi yang tidak jelas, di dalamnya banyak yang terhapus dan banyak kalimat-kalimat yang kurang jelas.
  • Bahwasanya kitab ini tidaklah datang penyebutannya di dalam karya-karya tulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena setiap orang yang menulis tentang biografi Syaikh sejak dahulu hingga sekarang yang menyebutkan karya-karya tulis Syaikh tidaklah menyebutkan kitab ini termasuk dari karya-karya tulis Syaikh. Di antara mereka yang paling terpercaya dan terdahulu adalah Syaikh Husain bin Ghannam, yang termasuk murid-murid Syaikh yang langsung mengambil ilmu dari Syaikh. Dia menulis tentang dakwah Syaikh dan sirah (perjalanan hidup) Syaikh di dalam kitabnya yang masyhur Raudhatul Afkar wal Afham; dia sebutkan di dalam kitab tersebut karya-karya tulis Syaikh dan risalah-risalah Syaikh, dia tidak menyebutkan bahwa kitab Ahkam Tamanni ini termasuk dari karya-karya Syaikh, dalam keadaan Syaikh Husain bin Ghannam masih hidup sepeninggal Syaikh dan menulis sejarah wafat Syaikh, dia tulis syair tentang Syaikh ketika Syaikh meninggal, hingga tidak ada yang mengatakan bahwa: “Barangkali penulisan Ibnu Ghannam lebih dahulu dan kitab ini datang sesudahnya.”

2.   Penulis berkata di dalam hlm. 65:

Syaikh Ibn Taimiyyah Al-Harrani menanggapi tradisi maulid ini dengan sangat positif. Dalam hal ini beliau berkata di dalam kitabnya Iqtidha’ al-Shiratth al-Mustaqim:

فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم ، كما قدمته لك

“Jadi mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai tradisi tidak jarang dilakukan oleh sebagian orang, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar karena tujuannya yang baik serta sikapnya yang mengagungkan Rasulullah sebagaimana telah aku jelaskan sebelumnya.”

Kami katakan:

Penulis telah memotong perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah agar sesuai dengan pemikirannya. Adapun kalimat yang lengkap adalah:

فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم ، كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ، ما يستقبح من المؤمن المسدد

“Jadi mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai tradisi terkadang dilakukan oleh sebagian orang, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar karena tujuannya yang baik serta sikapnya yang mengagungkan Rasulullah sebagaimana telah aku jelaskan sebelumnya kepadamu bahwa ada hal yang pantas untuk sebagian manusia akan tetapi tidak pantas dilakukan oleh seorang mukmin yang diberi taufiq oleh Allah.”

Kemudian Syaikhul Islam menjelaskan bahwa perbuatan ini terkadang pantas dilakukan oleh seseorang daripada melakukan perkara-perkara lain yang merusak.

Adapun tentang perayaan maulid sendiri maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sangat melarangnya sebagaimana perkataan beliau di dalam kitab Iqtidha‘ ash-Shirath al-Mustaqim 2/123:

وكذلك ما يحدثه بعض الناس ، إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام ، وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم ، وتعظيمًا . والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد ، لا على البدع- من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيدًا . مع اختلاف الناس في مولده . فإن هذا لم يفعله السلف ، مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه لو كان خيرًا . ولو كان هذا خيرًا محضا ، أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم على الخير أحرص .

“Demikian juga apa-apa yang diada-adakan oleh sebagian orang—bisa jadi karena menyerupai orang-orang Nasrani di dalam memperingati kelahiran Isa ‘Alaihissalam dan bisa jadi karena mencintai dan mengagungkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam—dari menjadikan maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai perayaan—dalam keadaan kadang Allah memberi pahala mereka atas kecintaan dan kesungguhan ini, bukan atas bid’ah-bid’ah—. Dalam keadaan orang-orang berselisih tentang kapan kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka sesungguhnya ini tidak pernah dilakukan oleh Salaf, dalam keadaan adanya hal yang mengharuskannya dan tidak ada penghalangnya seandainya ini merupakan kebaikan. Seandainya ini adalah kebaikan yang tulen atau kebaikan yang rajih maka sungguh Salaf lebih pantas melakukannya daripada kita, karena sesungguhnya mereka lebih mencintai dan lebih mengagungkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam daripada kita, dan mereka lebih bersemangat atas kebaikan.”

Jelaslah bahwa penulis telah membuat kedustaan atas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

8.  Penutup

Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini. Sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari syubhat-syubhat buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi insya Allah yang telah kami paparkan di atas sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikutinya. Amin.
والله أعلم بالصواب