Keajaiban Peristiwa Isra‘ Mi’raj

1. Urgensi Pembahasan

Sesungguhnya peristiwa isra‘ dan mi’raj termasuk peristiwa sejarah yang sangat dahsyat dalam Islam, karena beberapa hal:

  1. Peristiwa dahsyat ini bukan hanya peristiwa yang terjadi di bumi semata, melainkan peristiwa dahsyat yang berhubungan dengan bumi dan langit. Suatu hal yang tidak pernah terjadi dalam peristiwa lainnya.
  2. Peristiwa ini merupakan mukjizat dan tanda besar tentang kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan risalah yang beliau emban.
  3. Membenarkan peristiwa agung ini termasuk aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sangat penting dan mengingkarinya termasuk perangai orang-orang kafir.
  4. Perhatian para ulama dalam setiap bidang untuk membahasnya bahkan menulisnya secara khusus.

Mengingat pentingnya masalah ini dan waktu yang tepat, maka kami berusaha untuk mengetengahkan pembahasan ini dengan harapan agar bermanfaat bagi kita semua.

2.   Definisi Isra‘ Mi’raj

Isra‘ secara bahasa artinya perjalanan seorang di malam hari. Adapun secara istilah adalah perjalanan Jibril ‘Alaihissalam dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di malam hari dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis.

Sementara itu, mi’raj secara bahasa artinya alat untuk naik. Adapun secara istilah adalah naiknya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari bumi menuju langit yang tujuh.

3.   Kepastian Isra‘ Mi’raj

Peristiwa isra‘ dan mi’raj adalah sebuah kepastian yang harus dipercayai oleh setiap muslim dan muslimah. Tidak ada ruang perdebatan dalam masalah ini. Hal ini telah ditegaskan dalam al-Qur‘an, hadits mutawatir, dan ijma’ ulama kaum muslimin.

a)        Al-Qur‘an

Al-Qur‘an telah mengisyaratkan tentang isra‘ dan mi’raj dalam dua surat yaitu surat al-Isra‘ dan an-Najm. Dalam surat al-Isra‘, Allah menyebutkan tentang isra‘ dan hikmahnya:

سُبْحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَـٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ ﴿١﴾

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Isra‘ [17]: 1)

Adapun tentang mi’raj, maka diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ ﴿١٣﴾ عِندَ سِدْرَةِ ٱلْمُنتَهَىٰ ﴿١٤﴾ عِندَهَا جَنَّةُ ٱلْمَأْوَىٰٓ ﴿١٥﴾ إِذْ يَغْشَى ٱلسِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰ ﴿١٦﴾ مَا زَاغَ ٱلْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ ﴿١٧﴾ لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ ءَايَـٰتِ رَبِّهِ ٱلْكُبْرَىٰٓ ﴿١٨﴾

Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS an-Najm [53]: 13–18)

b)        Hadits

Para pakar ilmu hadits menegaskan bahwa hadits-hadits tentang kisah isra‘ mi’raj mencapai derajat mutawatir. Al-Hafizh Abul Khaththab Umar bin Dihyah Rahimahullahu Ta’ala berkata dalam kitabnya at-Tanwir fi Maulid as-Siraj al-Munir setelah menyebutkan hadits tentang isra’ dari riwayat Anas Radhiallahu’anhu dan mengomentarinya dengan bagus, “Dan sungguh telah mutawatir hadits-hadits tentang isra‘ dari Umar bin Khaththab, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Syaddad bin Aus, Ubai bin Ka’ab, Abdurrahman bin Qarth, Abu Habbah al-Anshari, Abu Laila al-Anshari, Abdullah bin Amr, Jabir, Hudzaifah, Buraidah, Abu Ayyub, Abu Umamah, Samurah bin Jundub, Abul Hamra‘, Shuhaib ar-Rumi, Ummu Hani‘, Aisyah, dan Asma‘ binti Abu Bakar ash-Shiddiq—semoga meridhai mereka semua. Di antara mereka ada yang menceritakan secara panjang dan ada pula yang secara ringkas sebagaimana dalam kitab-kitab hadits, sekalipun riwayat sebagian mereka tidak memenuhi persyaratan hadits shahih. Hadits tentang isra‘ ini telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin dan diingkari oleh kaum zindiq dan mulhidin (munafik yang berkedok Islam).

يُرِيدُونَ لِيُطْفِـُٔوا۟ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفْوَ‌ٰهِهِمْ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْكَـٰفِرُونَ ﴿٨﴾

Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya. (QS ash-Shaff [61]: 8)

c)        Ijma’

Para ulama telah bersepakat menetapkan peristiwa isra‘ mi’raj tanpa ada perselisihan di kalangan mereka, bahkan mereka menjadikan hal ini termasuk bagian aqidah dalam kitab-kitab mereka, bahkan mereka mengafirkan orang yang mengingkari peristiwa ini sebab dia telah mengingkari al-Qur‘an dan hadits.

Imam Abdul Ghani al-Maqdisi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan dalam aqidahnya, “Para ulama yang mengerti hadits dan kaum beriman telah bersepakat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan isra‘ (perjalanan malam) dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha kemudian dinaikkan ke langit dengan jasad dan rohnya lalu kembali malam itu juga ke Makkah sebelum subuh.”

Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Mereka (ulama salaf) telah bersepakat bahwa beriman dengan berita isra‘ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke langit adalah wajib.”

4. Jangan Meragukan Peristiwa Ini!!

Sebagian kalangan dari kaum empiris dan rasionalis menggugat dan memustahilkan peristiwa agung nan menakjubkan ini dengan hanya bermodal akal mereka yang cekak, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri berfirman dalam surat al-Isra‘:

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًۭا ﴿٨٥﴾

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS al-Isra‘ [17]: 85)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا ﴿٣٦﴾

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS al-Isra‘ [17]: 36)

Oleh karenanya, pendekatan yang benar untuk menyikapi peristiwa ini adalah pendekatan imani (keimanan). Inilah yang ditempuh oleh sahabat yang mulia sekaligus khalifah rasyid pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu’anhu, seperti terlukis dalam hadits berikut:

وَلَمَّا أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى أَصْبَحَ النَّاسُ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ وَلَا يُصَدِّقُوْنَهُ وَذَهَبُوْا إِلَى أَبِيْ بَكْرٍ فَقَالَ: لَئِنْ قَالَ ذَلِكَ لَقَدْ صَدَقَ . قَالُوْا : أَوَ تُصَدِّقُهُ أَنَّهُ ذَهَبَ اللَّيْلَةَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَجَاءَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ؟! قَالَ : نَعَمْ ، إِنِّيْ لَأُصَدِّقُهُ فِيْمَا هُوَ أَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ فَلِذَلِكَ سُمِّيَ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقَ

“Tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan perjalanan malam (isra‘) ke al-Masjidil Aqsha, maka manusia (orang-orang kafir Quraisy, Pen.) mengingkari hal itu dan tidak membenarkannya seraya pergi kepada Abu Bakar, lalu beliau mengatakan, ‘Kalau memang dia yang memberitakannya, pastilah dia benar.’ Mereka mengatakan lagi, ‘Apakah engkau membenarkan dia yang bercerita bahwa dia pergi di malam hari ke Baitul Maqdis lalu sudah tiba (di Makkah) sebelum pagi?!’ Abu Bakar Radhiallahu’anhu berkata, ‘Benar, saya pasti akan membenarkannya sekalipun yang lebih mustahil daripada itu.’”

Allahu Akbar, demikianlah sebuah ucapan yang sangat menakjubkan!!! Sekaligus tamparan keras lagi menyakitkan bagi sikap arogan sebagian kalangan yang mengunggulkan akal mereka daripada dalil-dalil yang jelas dan tegas seperti ini!!!

Jadi, kewajiban kita adalah membenarkan adanya peristiwa tersebut tanpa ada sekecil apa pun keraguan dalam hati kita tentang kebenarannya. Apalagi peristiwa seperti itu tidaklah dimustahilkan oleh akal yang sehat. Kita bisa memperhatikan penemuan-penemuan baru manusia seperti pesawat jet yang bisa menandingi kecepatan suara dan mampu naik ke bulan, serta berbagai penemuan baru lainnya. Kalau manusia yang lemah saja mampu untuk membuat alat yang begitu cepat, lantas apakah Allah, Dzat yang menciptakan manusia tidak mampu untuk mengangkat Nabi-Nya dalam kecepatan yang luar biasa?!! Sesungguhnya Allah Maha mampu atas segala sesuatu.

5. Kapan Terjadinya Peristiwa Isra‘ Mi’raj?

Banyak orang beranggapan bahwa peristiwa isra Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab, sehingga seakan sudah merupakan sesuatu yang tak dapat terlupakan di masyarakat kita sekarang jika datang waktu tersebut, maka mereka mengadakan perayaan isra‘ mi’raj. Benarkan anggapan waktu kejadian tersebut?! Mari kita mempelajari masalah ini dari tinjauan sejarah:

Dalam tinjauan sejarah waktu terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperdebatkan oleh para ulama. Jangankan tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan hingga kini. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani memaparkan perselisihan tersebut dalam Fathul Bari (7/203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat!! Ada yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Ramadhan, Syawwal, Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani … dan seterusnya.

Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi n/ hijrah ke kota Madinah, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Adapun pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi membawakan dalam Sirahnya hadits yang tidak shahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, yaitu malam Ragha’ib, yang ditunaikan pada waktu tersebut sebuah shalat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada dalil shahih yang menetapkan bulan maupun tanggalnya, seluruh nukilan tersebut munqathi’ (terputus) dan berbeda-beda.”

Beliau juga mengatakan: “Tidaklah para sahabat dan tabi’in menyengaja untuk mengkhususkan malam isra dengan suatu amalan tertentu. Oleh karenanya, tidak diketahui malam apakah hal itu terjadi”.

Bahkan Imam Ibnu Dihyah menegaskan, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab. Hal itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata.”

Al-Hafizh Ibnu Rojab mengatakan: “Diriwayatkan bahwa pada bulan Rojab banyak peristiwa dahsyat, namun tidak ada yang shahih satupun. Diriwayatkan bahwa beliau dilahirkan di awal rojab dan diutus pada 27 Rojab atau 25 Rojab tetapi tidak ada yang shahih. Dan diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih dari Qosim bin Muhammad bahwa isra Nabi adalah pada 27 Rojab dan diingkari oleh Ibrahim al-Harbi”.

Dari perkataan para ulama di atas, disimpulkan Isra’ Mi’raj merupakan malam yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca memahami masalah ini dengan mudah, saya katakan bahwa ibadah itu kaitannya dengan waktu terbagi menjadi tiga macam:

  • Ada sebagian ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, kita tidak boleh melangkahinya, seperti shalat lima waktu.
  • Ada sebagian ibadah, Allah menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kita berlomba-lomba mencarinya, seperti malam Lailatul Qadar.
  • Dan ada sebagian waktu yang mulia derajatnya di sisi Allah namun tidak ada ibadah khusus (seperti shalat dan puasa) untuknya. Oleh karena itu, Allah menyembunyikan waktunya, seperti malam Isra’ Mi’raj.”

6.   Apakah Dengan Roh Atau Jasad?

Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama menjadi tiga pendapat:

  1. Dengan roh dan jasadnya
  2. Dengan rohnya saja tanpa jasadnya
  3. Isra‘ itu di alam mimpi

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama bahwa isra‘ mi’raj dengan roh dan jasadnya, karena beberapa alasan:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

سُبْحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَـٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ ﴿١﴾

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Isra‘ [17]: 1)

Tasbih itu adalah ketika terjadi kejadian besar dan dahsyat. Seandainya hanya sekadar mimpi maka itu bukan termasuk kejadian dahsyat dan mengherankan.

2.    Dalam ayat di atas juga Allah menggunakan kata abdun ‘hamba’ dan itu digunakan untuk gabungan antara roh dan jasad

3.    Seandainya hanya sekadar mimpi, maka tidak akan diingkari oleh kaum kafir Quraisy dan tidak akan menjadikan sebagian orang yang telah masuk Islam murtad.

4.    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَا زَاغَ ٱلْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ ﴿١٧﴾

Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (QS an-Najm [53]: 17)

Sedangkan bashar (penglihatan) adalah termasuk alatnya dzat bukan roh.

5.    Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibawa di atas buraq, hal itu untuk badan bukan roh yang tidak perlu kendaraan.

6.    Bukanlah perkara yang mustahil jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam isra‘ mi’raj dengan badan dan rohnya karena Allah maha mampu.

Al-Qadhi ’Iyadh Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Para ulama berselisih tentang isra‘ mi’raj Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ada yang berpendapat bahwa semua itu adalah di alam mimpi. Namun, pendapat yang benar yang dianut oleh mayoritas manusia dan mayoritas salaf dari fuqaha (ahli fiqih), ahli hadits, dan ahli kalam bahwa beliau isra‘ dengan jasadnya. Hadits-hadits menunjukkan hal itu bagi siapa pun yang menelaahnya dan tidak perlu diselewengkan dari lahirnya kecuali dengan dalil. Dan tidak ada yang mustahil pada semua itu sehingga perlu diselewengkan.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Sesungguhnya isra‘ mi’raj terjadi dalam semalam dalam keadaan terjaga dengan jasad dan rohnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah diutus menjadi rasul. Inilah pendapat mayoritas ulama ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli kalam. Didukung oleh lahir hadits-hadits yang shahih. Maka tidak sepantasnya menyimpang darinya sebab tidak ada dalam akal sesuatu yang memustahilkannya sehingga perlu untuk diselewengkan.”

7.   Isra‘ Mi’raj Hanya Sekali Atau Berkali-kali?

Para ulama juga berselisih pendapat apakah isra‘ mi’raj itu sekali saja ataukah berkali-kali. Ada yang berpendapat “dua kali”, sadar dan mimpi. Ada juga yang mengatakan “dua kali”, sebelum wahyu dan sesudahnya. Dan ada yang berpendapat “tiga kali”, sekali sebelum wahyu dan dua kali setelahnya. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa isra‘ terjadi sebanyak tiga puluh kali. Hal ini karena adanya riwayat-riwayat yang agak samar dalam riwayat Syarik bin Abdillah al-Qadhi. Namun, metode seperti ini hanyalah dilakukan oleh para ahli hadits yang tidak mapan, sebab pendapat yang benar dari para pakar ilmu hadits bahwa isra‘ hanya terjadi sekali di Makkah sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus dan sebelum hijrah setahun atau setahun dua bulan, sebagaimana dikatakan Ibnu Abdil Barr.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Pendapat yang benar dari ahli hadits ialah bahwa isra‘ hanya sekali di Makkah setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus. Sungguh mengherankan pendapat sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hal itu terjadi berkali-kali. Bagaimana mungkin mereka menganggap bahwa pada setiap kali diwajibkan pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lima puluh kali shalat kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mondar-mandir antara Rabbnya dan Musa ‘Alaihissalam sehingga menjadi lima kali dalam sehari, kemudian Allah berfirman, ‘Aku telah tetapkan kewajiban-Ku dan telah diringankan untuk hamba-Ku’, lalu setelah itu diulang lagi pada kali kedua yang asalnya lima puluh kali kemudian dihapus sepuluh-sepuluh. Para ulama pakar telah menyalahkan Syarik dalam lafal-lafal hadits isra‘ riwayatnya. Imam Muslim meriwayatkan yang shahih darinya lalu mengatakan, ‘Dia mengedepankan dan mengakhirkan, menambah dan mengurangi’, lalu beliau tidak memaparkan haditsnya. Sungguh bijak perbuatan beliau.”

8.   Isra‘ Mi’raj dan Pemikiran Wihdatul Wujud

Sungguh aneh dan mengherankan penafsiran sebagian rasionalis yang menggambarkan isra‘ mi’raj dengan paham wihdatul wujud seperti yang dilontarkan oleh Dr. Muhammad Husain Haikal dalam bukunya Hayatu Muhammad hlm. 189–190. Padahal, paham ini, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama kita, adalah paham yang kufur, sesat, dan sangat rusak serta memiliki dampak negatif yang banyak dalam berbagai sektor baik masalah tauhid, akhlak, ibadah, dan sebagainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Bangkit membantah mereka (ahli wihdatul wujud) merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari jalan Allah. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak agama.”

Dan perlu diketahui bahwa penafsiran isra‘ mi’raj dengan penafsiran seperti ini pada hakikatnya adalah pengingkaran terhadap hakikat peristiwa isra‘ mi’raj yang disebutkan dalam al-Qur‘an ataupun hadits. Sebab, untuk apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan perjalanan dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha kemudian ke langit jika al-Masjidil Haram, al-Masjidil Aqsha, dan langit ada dalam roh beliau?!! Bukankah ini adalah kerancuan pemikiran dan virus pemahaman untuk mengguncang aqidah umat Islam?!!

9.   Perlukah Mengadakan Perayaan Isra‘ Mi’raj?

Perayaan ini tidak disyari’atkan dalam Islam ditinjau dari dua sisi:

1.    Tinjauan Sejarah. Tidak ada bukti autentik dalam sejarah yang mengatakan bahwa isra‘ mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Bahkan masalah ini diperselisihkan dan tidak diketahui secara pasti sebagaimana penjelasan di atas. Bahkan, menakjubkanku ucapan Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullahu Ta’ala tatkala mengatakan, “Perlu diketahui bahwa penetapan isra‘ mi’raj pada tanggal ini (27 Rajab, Pen.) termasuk pendapat yang paling lemah.”

2.    Ditinjau dari segi syari’at. Jika memang benar isra‘ mi’raj terjadi pada 27 Rajab, bukan berarti waktu tersebut harus dijadikan sebagai malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang isra‘ mi’raj. Bagi seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan ragu bahwa hal tersebut termasuk perkara bid’ah dalam Islam. Sebab, perayaan tersebut tidaklah dikenal di masa sahabat, tabi’in, dan para pengikut setia mereka. Islam hanya memiliki tiga hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha tiap satu tahun, dan hari Jum’at tiap satu pekan (minggu). Selain tiga ini, tidak termasuk agama Islam secuil pun.

Syaikh al-Albani Rahimahullahu Ta’ala berkata setelah menyebutkan perselisihan ulama tentang kapan isra‘ mi’raj terjadi, “Hal itu menunjukkan bagi orang yang cerdas bahwa para salaf tidak pernah mengadakan perayaan malam isra‘ mi’raj baik di bulan Rajab atau selainnya. Seandainya mereka membuat perayaan sebagaimana orang-orang belakangan sekarang, niscaya beritanya akan populer dari mereka dan apa diketahui secara pasti tentang ketentuan malamnya, dan mereka tidak akan berselisih pendapat dengan perselisihan yang mengherankan ini.”

Ibnu Hajj Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan orang-orang pada malam 27 Rajab adalah…” Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh bid’ah pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di masjid, ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), menyalakan lilin dan pelita. Beliau juga menyebutkan, perayaan malam isra‘ mi’raj termasuk perayaan yang disandarkan kepada agama, padahal bukan darinya.

Ibnu Nuhas Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Sesungguhnya perayaan malam ini (isra‘ mi’raj) merupakan bid’ah yang besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara setan.”

Muhammad bin Ahmad asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala menegaskan, “Pembacaan kisah mi’raj dan perayaan malam 27 Rajab merupakan perkara bid’ah … Dan kisah mi’raj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, seluruhnya merupakan kebatilan dan kesesatan, tidak ada yang shahih, kecuali beberapa huruf saja. Demikian pula kisah Ibnu Sulthan, seorang penghambur yang tidak pernah shalat kecuali di bulan Rajab saja; namun, tatkala hendak meninggal dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan. Sehingga saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya perihalnya, beliau menjawab, ‘Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo’a pada bulan Rajab.’ Semua ini merupakan kedustaan dan kebohongan. Haram hukumnya membacakan dan melariskan riwayatnya, kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan al-Azhar membacakan kisah-kisah palsu seperti ini kepada khalayak.”

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Malam isra‘ mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh riwayat tentangnya tidak ada yang shahih menurut para pakar ilmu hadits. Di sisi Allah-lah hikmah di balik semua ini. Kalaulah memang diketahui waktunya, tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan. Sebab hal itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Seandainya disyari’atkan, pastilah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskannya kepada umat baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan…”

Kemudian beliau (Syaikh Bin Baz Rahimahullahu Ta’ala) berkata, “Dengan penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari al-Qur‘an dan hadits di atas, sudah cukup bagi para pencari kebenaran mengingkari bid’ah malam isra‘ mi’raj yang memang bukan dari Islam secuil pun … Sungguh amat menyedihkan, bid’ah ini meruyak di segala penjuru negeri Islam sehingga diyakini sebagian orang bahwa perayaan tersebut merupakan agama. Kita berdo’a kepada Allah Ta’ala agar memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya dan memberi karunia kepada mereka berupa ilmu agama dan taufiq serta istiqamah di atas kebenaran.”

Demikian juga amalan yang tidak ada dasarnya yang shahih adalah shalat yang disebut dengan shalat Malam Isra‘ Mi’raj karena ini adalah shalat yang bid’ah tidak ada dasarnya sama sekali dalam hadits yang shahih sebagaimana ditegaskan oleh al-Fairuz Abadi dalam Khatimah Sifri Sa’adah hlm. 150, al-Iraqi dalam Takhrij Ihya‘, Ibnul Himmat ad-Dimasyqi dalam at-Tankit wal Ifadah hlm. 97 dan ulama-ulama yang lainnya banyak sekali.

10.  Hadits-Hadits Seputar Isra‘ Mi’raj

Sesungguhnya hadits-hadits tentang isra‘ mi’raj diriwayatkan oleh banyak sahabat dan dibukukan oleh para ulama ahli hadits, tafsir, dan tarikh dalam kitab-kitab mereka. Tidak ada satu riwayat yang komplet menceritakan semua peristiwa secara terperinci, tetapi bertebaran dalam beberapa riwayat. Namun, kita cukupkan di sini sebuah riwayat yang shahih, yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang kami nilai paling mencakup banyak peristiwa walaupun tidak seluruhnya.

Anas bin Malik Radhiallahu’anhu menceritakan: Suatu kali Abu Dzar Radhiallahu’anhu menyampaikan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

“Suatu ketika atap tempat tinggalku di Makkah terbuka lalu turunlah Jibril ‘Alaihissalam. Dia membelah dadaku dan mencucinya dengan air Zamzam. Kemudian dia membawa sebuah mangkuk besar dari emas, penuh dengan hikmah dan iman lalu menumpahkannya ke dalam dadaku. Setelah itu, dia menutupnya kembali.
Lalu dibawakan ke hadapanku seekor Buraq—lebih besar daripada keledai tetapi lebih kecil daripada bagal (peranakan kuda dengan keledai). Dia (buraq tersebut) melangkahkan kakinya sejauh mata memandang. Aku mengendarainya hingga tiba di Baitul Maqdis. Kemudian aku menambatkannya di tempat para nabi menambatkan kendaraan mereka. Aku memasuki masjid dan shalat dua raka’at. Setelah selesai, aku keluar. Tiba-tiba, Jibril ‘Alaihissalam datang membawa semangkuk susu dan semangkuk khamar. Aku memilih susu. Jibril ‘Alaihissalam berkata, “Engkau telah memilih fitrah.”

Kemudian dia menarik tanganku dan membawaku naik ke langit dunia. Ketika sampai di langit dunia, Jibril ‘Alaihissalam berkata kepada penjaganya, “Bukalah!” Penjaga itu berkata, “Siapa ini?” “Jibril.” Penjaga itu bertanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Jibril ‘Alaihissalam menjawab, “Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Penjaga itu bertanya lagi, “Apakah dia sudah diutus?” Kata Jibril ‘Alaihissalam, “Ya.”

Setelah pintu itu dibuka, kami naik ke langit dunia dan di sana telah ada seseorang yang sedang duduk. Di sebelah kanan dan kirinya ada bayangan sosok hitam-hitam. Jika menoleh ke kanan, dia tertawa, tetapi jika menengok ke kiri, dia menangis. Kemudian dia berkata, “Selamat datang nabi yang shalih dan putra yang shalih.”

Aku bertanya kepada Jibril ‘Alaihissalam, “Siapa dia?” Jibril ‘Alaihissalam menjawab, “Dia Adam. Adapun yang di sebelah kanan dan kirinya itu adalah roh anak-anak cucunya. Yang di sebelah kanan adalah ahlul jannah (penduduk surga), sedangkan yang di sebelah kiri adalah penduduk neraka. Kalau dia melihat ke kanan dia tertawa dan bila melihat ke kiri dia menangis.”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam naik melewati langit demi langit, bertemu dengan sejumlah nabi—’alaihimushshalatu wassalam. Di langit ke-2, beliau bertemu dengan Nabi Yahya ‘Alaihissalam dan Isa ‘Alaihissalam, di langit ke-3 dengan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, di langit ke-4 dengan Nabi Idris ‘Alaihissalam, di langit ke-5 dengan Nabi Harun ‘Alaihissalam, dan di langit ke-6 dengan Nabi Musa ‘Alaihissalam. Di langit ke-7, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertemu dengan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang bersandar di Baitul Ma’mur yang setiap harinya sekitar 70.000 malaikat memasukinya. Bila mereka keluar darinya, maka tidak akan masuk lagi selamanya. Setelah itu beliau dibawa ke Sidratul Muntaha yang tak satu pun makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat menerangkan keindahannya. Sesampainya di Sidratul Muntaha, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apa yang Dia kehendaki. Kemudian menetapkan kewajiban shalat lima puluh kali sehari semalam.

Setelah menerima perintah ini, beliau kembali turun. Di langit ke-6, beliau bertemu dengan Nabi Musa ‘Alaihissalam. Nabi Musa ‘Alaihissalam dan bertanya, “Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atas umatmu?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Lima puluh kali shalat.”

Nabi Musa ‘Alaihissalam menyarankan, “Kembalilah, mintalah keringanan! Karena umatmu tidak akan sanggup. Aku sudah pernah menguji Bani Israil.”

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meminta keringanan hingga beberapa kali. Kemudian Allah Radhiallahu’anhu menyatakan, “Wahai Muhammad. Itulah lima shalat fardhu sehari semalam, masing-masing shalat pahalanya sepuluh kali lipat, maka sama dengan lima puluh kali shalat. Siapa yang berniat mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, ditulis untuknya satu kebaikan. Bila dia kerjakan, ditulis untuknya sepuluh kebaikan. Sebaliknya, siapa yang berniat mengerjakan kejelekan dan tidak dikerjakannya, maka tidak dicatat. Bila dia kerjakan maka ditulis satu kejelekan.”

Demikian sekelumit kisah isra‘ mi’raj Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selengkapnya tentu dapat dirujuk dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab hadits lainnya.

Perlu diketahui adanya hadits-hadits lemah dalam kisah isra‘ mi’raj yang banyak beredar di tengah masyarakat dan dipasarkan oleh sebagian khatib dan penceramah sehingga menjadi dongeng dan cerita fiktif yang tidak ada kenyataannya seperti shalat sebelum isra‘ mi’raj, isra‘ dengan pakaian mutiara dan pelana emas, shalat di tempat didirikannya Masjid Damaskus, nabi-nabi yang meninggalkan shalat selama empat puluh hari di kuburnya, Jibril ‘Alaihissalam berisyarat dengan jarinya sehingga terbelahlah batu, tulisan di bawah Arsy dan di pintu surga, Fatimah dari pohon surga, asal-usul mawar, dan sebagainya.

Menakjubkanku ucapan Imam al-Baihaqi Rahimahullahu Ta’ala tatkala mengatakan setelah menyebutkan hadits-hadits seputar isra‘ mi’raj, “Dan telah diriwayatkan dalam kisah mi’raj selain dari apa yang kami sampaikan hadits-hadits dengan sanad yang lemah, padahal dalam hadits-hadits yang shahih terdapat kecukupan.”

Dan perlu kami sampaikan pada kesempatan ini bahwa banyak sekali buku-buku tentang kisah isra‘ mi’raj yang tidak bisa dipertanggungjawabkan isi kandungannya dan keabsahan riwayat-riwayat haditsnya seperti kitab yang dinisbahkan kepada Sahabat Abdullah bin Abbas Radhiallahu’anhuma yang telah tercetak dengan judul Mi’raj Ibnu Abbas. Kitab ini tidak shahih penisbahannya kepada Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma dan banyak berisi hadits-hadits dusta dan palsu. Oleh karena itu, perlu kewaspadaan terhadap kitab ini.

12.   Ibrah dan Pelajaran dari Peristiwa Isra‘ Mi’raj

Kisah peristiwa isra‘ mi’raj menyimpan lautan ilmu dan pelajaran yang banyak sekali bagi orang yang merenungi dan menelitinya, bukan bagi orang yang hanya sekadar menjadikannya sebagai rutinitas yang datang dan berlalu begitu saja atau menjadikannya sebagai perayaan dan hiburan yang tidak diizinkan dalam syari’at yang mulia ini. Namun, kami di sini hanya akan menyampaikan hal-hal terpenting saja:

1. Hadits tentang isra mi’raj adalah shahih dengan kesepakatan para pakar hadits dan sejarah.

Oleh karenanya, mengingkari peristiwa ini merupakan suatu kekufuran terhadap ayat al-Qur‘an, hadits mutawatir, dan kesepakatan ulama. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita untuk melakukan pendekatan iman daripada hanya sekadar mengandalkan akal yang terbatas. Hal ini penting untuk kita perhatikan karena banyak di antara manusia yang mengingkari peristiwa isra‘ mi’raj atau sebagian peristiwa di dalamnya, sumbernya hanyalah mengedepankan akal belaka bukan keimanan. Perhatikanlah!!

2. Peristiwa isra‘ mi’raj merupakan mukjizat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan kebenaran risalah yang beliau emban.

Imam Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala pernah berkata, “Tidaklah Allah memberikan suatu mukjizat kepada seorang nabi pun kecuali Dia juga memberikan kepada Nabi Muhammad n mukjizat yang lebih banyak darinya. Apabila mukjizat Nabi Musa ‘Alaihissalam terbelahnya lautan, Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki mukjizat yang lebih menakjubkan yaitu terbelahnya bulan. Apabila mukjizat Nabi Musa ‘Alaihissalam terpancarnya air dari batu, maka Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki mukjizat yang lebih menakjubkan yaitu terpancarnya air dari jari-jemari. Dan apabila mukjizat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam adalah ketundukan angin kepadanya, maka mukjizat Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah mi’raj (naiknya beliau ke langit).

3. Peristiwa Isra’ mi’raj merupakan hiburan bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagi orang yang mempelajari sirah perjalanan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, niscaya akan mendapati bahwa sebelum peristiwa agung tersebut ada beberapa kejadian yang sangat menyedihkan hati beliau, seperti wafatnya istri tercinta beliau (Khadijah Radhiallahu’anha) dan paman pelindung beliau (Abu Thalib), sehingga tahun itu dikenal dalam sejarah dengan ’Amul Hazn (tahun kesedihan). Ditambah lagi, kejadian yang menimpa beliau di kota Thaif, di mana tatkala beliau pergi ke sana dengan harapan mereka mau menerima dakwah dan menolong beliau, namun sebaliknya beliau malah mendapatkan celaan, bahkan lemparan batu hingga kaki beliau berlumuran darah.

Setelah kejadian menyedihkan tersebut, Allah ingin menghibur hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menunjukkan kehebatan tanda-tanda kekuasaan-Nya, mempertemukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan para nabi yang juga sama sepertinya dalam menghadapi tantangan dalam berdakwah. Seakan-akan dikatakan kepada beliau, “Wahai Muhammad, kalau memang hatimu sedih karena ocehan penduduk bumi, apakah engkau tidak merasa gembira dan senang hati dengan ucapan selamat sejahtera dari para malaikat dan para nabi yang mulia?!!” Hendaknya hal ini menjadi ibrah bagi para da’i, penerus perjuangan dakwah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, agar mereka bersabar dalam medan dakwah dan merasa gembira dengan janji Allah.

4. Pentingnya tolong-menolong antara para juru dakwah dan tukar-menukar pengalaman yang dialaminya dalam kancah dakwah.

Karena Nabi Musa ‘Alaihissalam memberikan pengalamannya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab pengalaman itu lebih berharga daripada hanya sekadar teori belaka. Oleh karenanya, semoga hal ini menginspirasi para da’i agar mereka saling membantu satu sama lain dalam mengemban amanat dakwah yang mulia ini, bukan malah saling mencela, memfitnah, dan memprovokasi.

5. Hubungan erat antara al-Masjidil Haram dengan al-Masjidil Aqsha.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati para nabi dan shalat mengimami mereka di al-Masjid al-Aqsha, menunjukkan beberapa faedah dan pelajaran:

a.    Dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia itu umum atas setiap negeri.

b.    Syari’at Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah menghapus syari’at-syari’at terdahulu dan wajib bagi setiap manusia— hingga para nabi pun—untuk mengikuti.

c.    Persatuan dakwah para nabi dalam mengajak manusia kepada tauhid dan keimanan.

d.    Hubungan erat antara al-Masjidil Haram dengan al-Masjidil Aqsha.

e.    Anjuran kepada kaum muslimin untuk menziarahi al-Masjidil Aqsha dan membebaskannya dari kaum Yahudi—semoga Allah menghancurkan mereka—dan patung-patung dan merupakan khabar gembira akan kemenangan dan penaklukan al-Masjidil Aqsha.

6. Lantang menyampaikan kebenaran

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berterus terang menyampaikan kisah peristiwa isra‘ mi’raj sekalipun entah manusia membenarkannya atau mendustakan dirinya. Hendaknya hal ini sebagai pelajaran bagi para da’i agar berani lantang menyampaikan al-haq tanpa rasa takut sedikit pun:

ٱلَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَـٰلَـٰتِ ٱللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُۥ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا ٱللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًۭا ﴿٣٩﴾

(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS al-Ahzab [33]: 39)

7. Antara Nabi dan al-Buraq

Allah telah menambah penghormatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai tamu yang agung dengan sebuah kendaraan yang unik (yakni Buraq) dan pendamping yang menghiburnya (Jibril ‘Alaihissalam), sebagaimana penduduk surga pergi ke surga dengan menaiki kendaraan nan penuh penghormatan. Allah berfirman:

يَوْمَ نَحْشُرُ ٱلْمُتَّقِينَ إِلَى ٱلرَّحْمَـٰنِ وَفْدًۭا ﴿٨٥﴾

(Ingatlah) hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang taqwa kepada Tuhan yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. (QS Maryam [19]: 85)

Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menambatkan Buraq, maka beliau ingin mengajarkan kepada kita agar kita mengambil sebab, karena mengikat kendaraan tidaklah menafikan tawakal kepada Allah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada seorang Arab badui yang membawa untanya, “Ikat dulu, baru kemudian bertawakal.” (Hasan. Riwayat Tirmidzi)

8. Kewajiban shalat

Setiap ibadah diwahyukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau di muka bumi, kecuali ibadah shalat. Allah mewahyukan kewajiban shalat tersebut di atas langit. Bukankah hal ini menunjukkan betapa pentingnya masalah shalat?!! Adakah hal ini diperhatikan oleh kaum muslimin hatta (hingga) sebagian kalangan yang merayakan isra‘ mi’raj?!! Sungguh betapa banyak kita lihat mayoritas mereka merayakannya hingga larut malam sehingga sampai molor tidurnya hingga pagi. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

9. Ketinggian Allah

Dalam kisah isra‘ mi’raj terdapat suatu faedah yang sangat berharga berkaitan dengan aqidah salafiyyah yang banyak dilalailan oleh mayoritas kaum muslimin hatta yang biasa merayakannya sekalipun!

Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dalam hadits mi’raj ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang mencermatinya.”

Seandainya saja Allah ada di mana-mana—seperti sangkaan kaum Jahmiyyah—niscaya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak perlu susah-susah diangkat ke langit! Wallahu A’lam.

10. Pelajaran dari “Pembelahan dada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”

Setiap orang yang dikehendaki Allah untuk menghadapi sesuatu yang sangat dahsyat, maka dia akan diberi bekal persiapan yang kuat. Nabi Musa ‘Alaihissalam, misalnya, tatkala akan diutus oleh Allah kepada raja Fir’aun, Allah memberinya sebuah tongkat dan memberikan percobaan untuknya agar dia nanti tidak kaget ketika melihat tongkatnya menjadi ular yang besar.

Demikian pula Rasul kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dadanya dibelah oleh Malaikat Jibril ‘Alaihissalam dan diisi dengan hikmah dan keimanan agar dia siap untuk melihat keajaiban-keajaiban isra‘ mi’raj, sebab apabila hati manusia sudah baik maka akan baik pula seluruh anggota tubuh. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِيْ الْجَسَدِ مُضْغَةً ، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia ada sekerat daging, apabila itu baik maka seluruh anggota tubuh lainnya akan baik dan apabila jelek maka akan jelek pula seluruhnya. Ketahuilah bahwa (sekerat daging) itu adalah hati.” (Muttafaq ’alaih)

 

Demikianlah beberapa mutiara ilmu yang dapat kita ambil dari peristiwa isra mi’raj. Sungguh yang terpenting dari peristiwa tersebut adalah kita dapat mempelajari dan mengambil ibrah darinya, bukan hanya sekadar rutinitas belaka atau sebagai perayaan yang tidak diizinkan oleh Allah. Semoga dengan penjelasan tadi, kaum muslimin dapat mengambil manfaat darinya. Amin.

Ditulis oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi