Turunya Allah ke Langit Dunia
Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana mungkin seorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal nama dan sifat Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah ini tidak terlalu rumit, lantaran mereka dapat menyikapinya secara proporsional. Namun, masalah ini kini menjadi krusial, lantaran percikan syubhat para ahli bid’ah yang kurang puas dengan manhaj salaf dalam Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir dan merubah dalil yang shahih dari makna aslinya, padahal -kalau disadari- sebenarnya mereka telah membeo kaum Yahudi yang terlaknat.
Contohnya terlalu banyak kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi cukuplah sebagai perwakilan, hadits tentang nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, dimana hadits ini telah diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat jalan dan terombang-ambing dalam kebingungan nan kegelapan.
Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk mengkaji hadits tersebut dan menguraikan belitan syubhat para pengekor hawa nafsu seputar hadits tersebut. Semoga Allah selalu meneguhkan kita untuk meniti di atas jalanNya yang lurus. Amiin.
TEKS HADITS
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1]
.
HADITSNYA MUTAWATIR
Hadits tentang nuzulnya Allah tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:
1. Imam Abu Zur’ah berkata[2]: “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”.
2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari Nabi”.[3]
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”.[4]
4. Imam Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang adil dari Nabi”.[5]
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke generasi selanjutnya[6]. Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh banyak sahabat”.[7]
6. Imam Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”.[8]
7. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [9]
Demikian pula ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi[10], Al-Kattani [11]dan Al-Albani[12].
.
Daftar Sahabat Periwayat Haditz Nuzul
Hadits nuzul ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya
- Abu Bakar Ash-Shiddiq,
- Ali bin Abi Thalib,
- Abu Hurairah,
- Jubair bin Muth’im,
- Jabir bin Abdullah,
- Abdullah bin Mas’ud,
- Abu Sa’id Al-Khudri,
- Amr bin ‘Abasah,
- Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani,
- Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi,
- Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya,
- Abu Darda’,
- Mu’adz bin Jabal,
- Abu Tsa’labah Al-Khusyani,
- Aisyah,
- Abu Musa Al-Asy’ari,
- Ummu Salamah,
- Anas bin Malik,
- Hudzaifah bin Yaman,
- Laqith bin Amir Al-‘Uqaili,
- Abdullah bin Abbas,
- Ubadah bin Shamith,
- Asma’ binti Yazid,
- Abul Khaththab,
- ‘Auf bin Malik,
- Abu Umamah Al-Bahili,
- Tsauban,
- Abu Haritsah, dan
- Khaulah binti Hakim. [13]
.
SYARH HADITS
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Para salaf, para imam dan para ahli ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf menyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat yang terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”. [14]
Imam Al-Ajurri berkata:
“Iman dengan ini wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana Allah turun? Dan tidak ada yang mengingkari ini kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya adalah wajib tanpa takyif (membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari Rasulullah bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama menerima semua itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan: “Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”. Mereka waspada darinya dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [15]
Imam Ibnu Khuzaimah berkata:
“Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan ‘Iraq meriwayatkan dari Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita bersaksi dengan persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan dengan hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita bahwa Dia turun, sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk menjelaskan sesuatu yang dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita membenarkan hadits-hadits ini yang berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan sifat turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah”.[16]
Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. [17]
.
SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Dari segi sanad, sepertinya para ahli bid’ah tidak dapat berkutik apa-apa lagi lantaran sangat kuatnya. Namun mereka tetap tidak putus asa untuk menaburkan debu dengan mengarahkan bidikan pada matan (kandungan) hadits ini, seperti:
A. Tasybih
Mereka mengatakan[18]: Kalau kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun itu berarti Allah serupa dengan makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. [19](QS. Asy-Syura: 11).
Jawaban:
Kaidah kita dalam masalah Asma wa Sifat adalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau rasulullah dalam haditsnya yang shahih tanpa menyerupakannya dengan sesuatupun dan mensucikanNya tapa mengingkari sifat-sifatNya sebagaimana firman Allah:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat. (QS. Asy-Syura: 11).
- Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya” merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
- Adapun firmanNya: وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ“Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. Merupakan bantahan terhadap golongan yang merubah makna sifat dan mengingkarinya. Jadi, kewajiban kita adalah menetapkna apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan menafikan apa Dia nafikan tanpa tahrif (merubah makna) dan ta’til (mengingkarinya). Inilah manhaj (metode) selamat yang harus ditempuh oleh setiap muslim, karena dibangun di atas ilmu dan kelrusan dalam i’tiqad. [20]
Imam Syaukani berkata,
“ Barangsiapa yang memahami dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya niscaya dia akan meniti di atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan perselisihan manusia dalam masalah sifat-sifat Alloh. Lebih mantap lagi apabila engkau merenungi makna firman Allah: “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. karena penetapan ini setelah peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap dan obat penawar hati. Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas dan kuat ini, niscaya engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan meremukkan argumen para tokoh kesesatan dan ahli filsafat”. [21]
- Jadi, kita menetapkan sifat “turun” bagi Allah sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi yang mulia tanpa menyerupakannya dengan turunnya makhluk. Apabila ada yang mengingkarinya dengan alasan “kalau kita tetapkan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk”, maka ini bathil. Kita tanyakan kepadanya: Apakah anda menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah? Kalau dia tidak menetapkannya, maka dia telah mengingkari ayat di atas. Dan apabila dia menetapkannya, maka dia telah kontradiksi karena makhluk juga mempunyai sifat mendengar dan melihat. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya. Mengapa kalian menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak menetapkan sifat lainnya, padahal sama-sama berlandaskan dalil yang shahih? Sungguh ini suatu kontradiksi yang sangat ajaib sekali!!!.
- Jadi sekali lagi, menetapkan sifat turun bagi Allah bukan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk, tidak ada seorang ulama salaf-pun yang berfaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 5/252: “Apabila seseorang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya, seperti mengatakan istiwa’ Allah serupa dengan istiwa’ makhlukNya, atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk dalam segala segi”.[22]
- Lucunya, mereka menuding kaum salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj yang benar sebagai kaum musyabbihah atau mujassimah! Subhanallah, hanya kepada Allah kita mengadu!.
Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan:
“Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih[23] (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. [24]
B. Tahrif
Banyak sekali takwil dan tahrif yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka mengatakan: Bukan Allah yang turun, tetapi perintah Allah!. Ada lagi yang mengatakan: Rahmat Allah! Lain lagi mentakwilkan: Malaikat dari para malaikat Allah!. Adapun KH. Sirajuddin Abbas, dia berpendapat lain lagi: “Maksud hadits ini -menurut Ahlus Sunnah- bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh karena itu hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya hadits ini”. (I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah hal. 276).
Jawab:
Tahrif seperti ini adalah bathil ditinjau dari dua segi:
Secara global: Asli dalam ungkapan seseorang adalah hakekat (bukan majaz) sehingga ada dalil yang memalingkannya kepada makna majaz. Sungguh amat mustahil sekali, bila Nabi Muhammad seringkali dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar oleh banyak sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna sesungguhnya!. Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi kita Muhammad ataukah kaum Mu’tazilah dan Asyairah?! Tidakkah mereka menyadari bahwa merubah arti dari dhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh Allah?!:
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.
(QS. An-Nisa’: 46)
Lalu orang-orang yang zhalim mengganti ucapan yang tidak dierintahkan kepada mereka.
(QS. Al-Baqarah: 59)
Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tatkala mengatakan dalam Nuniyahnya 1923-1930:
أَُمِرَ الْيَهُوْدُ بِأَنْ يَقُوْلُوْا : حِطَّةٌ فَأَبَوْا وَقَالُوْا: حِنْطَةٌ لِهَوَانِ
وَكَذَلِكَ الْجَهْمِيُّ قِيْلَ لَهُ : اسْتَوَى فَأَبَى وَزَادَ الْحَرْفَ لِلنُّقْصَانِ
نُوْنُ الْيَهُوْدِ وَلاَمُ جَهْمِيٍّ هُمَا فِيْ وَحْيِ رَبِّ الْعَرْشِ زَائِدَتَانِ
Orang Yahudi diperintahkan untuk mengatakan Hithah (ampunilah).
Mereka enggan, bahkan berkata: Hinthah (gandum) demi kehinaan.
Demikian pula Jahmi dikatakan padanya: Istawa (tinggi)
Mereka enggan dan menambah huruf (istaula/berkuasa)[25].
Tambahan huruf “Nun” Yahudi dan “Lam” Jahmi
Keduanya dalam timbangan syar’I adalah tambahan.
Adapun secara terperinci:
- Urusan dan nikmat Allah tidaklah turun pada saat khusus sepertiga malam terakhir saja, bahkan kapanpun waktunya. Allah berfirman, yang artinya:
Dan apa saja nikmat yang ada ada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
(QS. An-Nahl: 53)
- Kemudian apalah faedahnya nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit dunia saja tetapi tidak turun ke bumi?!
- Adapun kalau diartikan “malaikat” maka kita jawab: Apakah masuk akal kalau malaikat mengatakan: Siapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan…?! Maka jelaslah bahwa tahrif ini adalah bathil, termentahkan oleh hadits fakta lapangan. [26]
- Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz tatkala membantah perubahan makna seperti ini:
“Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash yang shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar adalah pendapat salaf shaleh, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya. Semoga engkau bahagia dan selamat”. [27]
C. Akal-akalan
KH. Sirajuddin Abbas berkata dalam buku hitamnya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hal. 276: “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di Indonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepetiga malam sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu”.
Jawaban:
Penulis sudah pernah membantah syubhat ini[28], saya katakan waktu itu: Demikianlah jika seorang telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tiak pasrah terhadap hadits Rasul yang shahih? Bukankah Allah berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadapan keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa’: 65: )
- Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam az-Zuhri bahwasanya beliau mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk”. [29]
- Imam ath-Thohawi berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya dan mengembalikan segala kesamaran kepada Dzat yang maha mengetahui”. [30]
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:
- Beriman dengan nash-nash yang shahih.
- Tidak bertanya bagaimannya serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap Allah tanpa dasar ilmu, sedangkan Allah tak dapat dijangkau dengan akal fikiran.
- Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman, yang artinya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat.
(QS. Asy-Syura: 11)
Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tibasepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana diberitakan oleh Nabi”. [31]
.
FIQIH HADITS
Hadits ini memiliki beberapa faedah yang banyak sekali. Dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah hal. 451-454, Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dapat menarik 38 faedah dari hadits di atas, diantaranya:
1. Ketinggian Allah di atas arsy-Nya.
Dalam hadits ini terdapat faedah berharga tentang sebuah aqidah yang banyak dilupakan oleh mayoritas kaum muslimin saat ini yaitu tentang ketinggian Allah di atas langit. Hal itu diambil dari lafadz “Turun” karena makna “turun” dalam bahasa adalah dari atas ke bawah bukan sebaliknya.
- Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata: “Hadits ini sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”.[32]
- Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [33]
2. Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah
- Faedah ini diambil dari kandungan hadits: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu maka akan Aku kabulkan…”. Sifat “kalam” merupakan salah satu sifat yang sempurna dan hakekat (bukan majaz) bagi Allah. Banyak sekali dalil yang mendukungnya, salah satunya adalah firman Allah, yang artinya:
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS. An-Nisa’: 164)
Pernah dikisahkan bahwa sebagian Mu’tazilah pernah datang kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’, salah seorang pakar ahli qira’ah: Saya ingin agar anda membaca:
وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
Dengan menashabkan (menfathah) lafadz Allah, agar supaya yang berbicara (subyek) adalah Musa, bukan Allah. Abu ‘Amr lantas menjawab: Taruhlah aku membaca ayat ini seperti itu, lantas apa yang akan kau perbuat dengan firman Allah:
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. (QS. Al-A’raf: 143)
Akhirnya, seorang Mu’tazilah itu diam seribu bahasa!. [34]
3. Keutamaan sepertiga malam terakhir
Malam hari adalah saat keheningan hati, ketenangan, keikhlasan, dimana saat itu manusia dalam kelelapan tidur. Oleh karenanya, doa pada saat itu mustajab, terutama pada malam terakhir.
Allah berfirman, yang artinya:
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzariyat: 16-17)
Nabi juga bersabda:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ
Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [35]
- Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi berkata dalam: “Sebagai penutup bab ini, tidak pantas bagi seorang yang butuh kepada Allah kemudian dia tidur di waktu malam terakhir”.[36]
Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini -wahai saudaraku- untuk memperbanyak doa, istighfar dan taubat sebelum maut menjemputmu.
اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ
كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ
Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat
Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.
Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.
Jiwanya yang sehat melayang cepat[37].
.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
[1]HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.
[2] Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. (Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy).
[3] Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283
[4] Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100
[5] At-Tamhid 3/338
[6] Majmu Fatawa 5/372
[7] Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421
[8] Al-Uluw hal. 116 -Mukhtashar Al-Albani-
[9] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 -Mukhtashar Al-Mushiliy-
[10] Ash-Sharimul Munki hal. 229
[11] Nadhmul Mutanasir hal. 192
[12] Silsilah Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365
[13] Lihat Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini 7/198, Kitab Nuzul Ad-Daruqutni.
[14] Syarah Hadits Nuzul hal. 69-70.
[15] Asy-Syari’ah 2/93 -Tahqiq Walid bin Muhammad-.
[16] Kitab At-Tauhid wa Itsbat Shifat Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras-.
[17] At-Tamhid 3/349
[18] Bandingkan dengan buku “I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh KH. Sirajuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, cet ke 19 Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke sebuah toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang lagi oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah!!!
[19] Perhatikanlah -wahai saudaraku- para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak menyempurnakannya, karena lafadz berikutnya akan membungkam fahamnya!! Inikah amanah ilmiyah ataukah ini perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya?!.
[20] Taqrib at-Tadmuriyyah hal 12 oleh Syaih Muhammad bin Shalih Utsaimin.
[21] Fathul Qadir 4/528.
[22] Ucapan mantap ini mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering didengungkan oleh kaum kuburiyyun dan ahli bid’ah, termasuk KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama 2/215-217.
[23] Contoh mudah, tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, katanya dalam buku yang sama hal. 262: “Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan faham-faham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk”. Pada hal. 263: “Jadi beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya dalam I’tiqad”.
[24] At-Tamhid 3/351.
[25] Termasuk keajaiban dunia, KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan menguasai, bahkan membantah para ulama yang mengartikannya secara lahirnya yaitu tinggi, tak cukup hanya itu dia juga menggap bahwa mereka sesat lagi menyesatkan!!!.
[26] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 5/415-417, Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnu Qayyim 2/221-224, Syarh Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435).
[27] Ta’liq Fathul Bari 3/30.
[28] Dlam makalahnya berjudul “Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” dimuat dalam Majalah As-Sunnah edisi 12/Th V/1422 H/2001 M.
[29] Lihat Fathul Bari 13/512).
[30] Lihat Syarah Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 199).
[31] Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.
[32] Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285).
[33] At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[34] Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah 1/177 oleh Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth. Sebab kata “Rabbuhu” dalam ayat di atas mesti dan wajib sebagai subyek, tidak mungkin dirubah sebagai obyek sebagaimana tertera dalam kaidah nahwu. (Lihat Syarh Qathr Nada, Ibnu Hisyam hal. 182-183).
[35] HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442.
[36] Ad-Du’a Al-Ma’tsur wa Adabuhu hal. 68
[37] Bahjatul Majalis 3/260.
nah di atas ini merupakan aqidah sesat wahhaby yg menolak takwil pd hadits mutasyabihat
Membongkar Syubhat Wahhaby terhadap Nushus Takwil
Generasi terbaik umat ini adalah generasi pertama yaitu generasi para sahabat dan tabi’in mereka generasi yang adil generasi yang selamat semua umat muslimin yang berada dalam kesatuan ahlu sunnah wal-jama’ah tentu mereka berada dalam pemahaman ini . yang di timur maupun di barat di utara maupun di selatan . intinya dari ujung ke ujung dari tepi ke tepi sampai dari kutup ke kutup pun pasti mereka berada dalam manhaj dan pemahaman para sahabat dan tabi’in. hal ini sudah sangat jelas dan terang di sabdakan oleh baginda nabi yang tak dapat di ragukan dari depan maupun dari belakang , rasul al-amin bersabda:
(( خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم )) اخرجه البخاري
(sebaik-baiknya generasi adalah generasi di masaku setelah itu adalah generasi sesudahku ( genersi sahabat ) lalu generasi susudahnya ( tabi’in ) H.R. bukhori
Namun apa boleh di kata , belakangan ini muncul kelompok yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan derivat-derivatnya kelompok yang mengaku berada dalam pemahaman sahabat dan tabi’in ini menganggap ahlu syubhat dan ahlu bida’h yang tersesat terhadap orang-orang yang berada di luar kelompok mereka
Katakan kepada mereka di luar sana … juta’an dan bahkan milyaran umat muslimin berada dalam pemahaman para sahabat dan tabi’in tapi mereka tidak melebelkan diri sebagai salafy dan tidak pula masuk pada kelompok salafy apakah mereka di anggap sebagai ahlu bid’ah dan tersesat … ??? ma’adzallah khasya wa kalla
Di syiria mesir sudan maroko dan yaman bahkan di Negara-negara besar islam manapun tidak mengenal istilah islam salafy katakan lagi pada mereka penama’an islam salafy tidak pernah ada dan tidak pernah di kenal di masa para sahabat dan tabi’in , kalau boleh di kata penama’an islam salafy adalah perbuatan bid’ah , salafy bukan manhaj akan tetapi nisbat yang manhaj itu adalah salafussoleh bukan salafy yang kita kenal di komunitas masyarakat sekarang .
Apa jadinya kalau kelompok yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan mengaku mengikuti ulama salaf ini pada kenyata’anya tidak sesuai dan jauh berbeda dari manhaj salafussoleh yang di gembar gemborkan terutama masalah penetapan ta’wil dalam nushush mutasyabihat dalam al-qur’an
Dalam tulisan ini Saya membongkar doktrin mereka yang mengatakan AHLU TA’WIL adalah ahlu syubhat dan ahlu bid’ah , islam itu bukan berdasarkan Qola ustadz atau Qola syaikh… akan tetapi berdasarkan Qolallahu wa Qolar-rasul
Ajukan dalil pada mereka bahwa Alqur’an menetapkan takwil majaz dan isti’arah . Alquran adalah wahyu yang penuh dengan sastera , tidak lepas dari ilmu balaghah sebagai ilmu retorika kesusastera’an bahasa arab
ALLAH berfirman :
إنا نسيناكم ) السجدة
( sesungguhnya kami ( ALLAH ) telah melupakan kamu )
نسوا الله فنسيهم الله )) التوبة :
( mereka telah lupa kepada ALLAH maka ALLAH melupakan mereka )
Perhatikan dua kalimat “LUPA” yang di nisbatkan kepada ALLAH SWT dalam ayat di atas apakah mereka menetapkan sifat LUPA terhadap ALLAH ?? lalu mereka mengatakan lupanya ALLAH tidak sama dengan sifat lupa kita .. ??? dhzohir teks ayat di atas jika mereka menafikan TAKWIL yang sesuai dan yang pantas terhadap ALLAH serta yang sesuai dengan apa yang di maksud oleh Al-qur’an maka mereka telah menetapkan sifat “LUPA” terhadap ALLAH swt (subhanaka wata’ala amma tasyifuun hadza amrun bathil ) ” maha suci engkau dan maha tinggi dari apa yang mereka sifatkan ini adalah perkara bathil ” sungguh penetapan sifat lupa terhadap ALLAH adalah perkara yang mungkar dan bathil tidak dapat di terima olah akal sehat maupun nash dan penuh dengan perkara syubhat . ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA dengan jelas berfirman :
( وما كان ربك نسيا )
( dan tidaklah rabbmu lupa ) maryam :64
Dalam sebuah hadist qudtsi yang di keluar oleh imam bukhori dan muslim rodiallahu anhu Rosulullah bersabda :
عن سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى قال : ياابن اّدم مرضت فلم تعدني, قال يا رب كيف اّعودك وأنت رب العالمين , قال : أما علمت أن عبدي فلانا مرض فلم تعده , أما علمت أنك لو عدته لوجدتني عنده …. إلى اّخر الحديث
( dari sayyidina rosulillah saw sesungguhnya ALLAH berfirman : wahai anak cucu adam saya sakit kenapa engkau tidak mengunjungiku ? ia berkata : wahai rabb bagaimana hamba mengunjungimu sementara engkau adalah rabb semesta alam ALLAH berfirman : apakah engkau tidak tau bahwa hambaku fulan sedang sakit ? akan tetapi engkau tidak mengunjunginya tahukah engkau apabila engkau mengunjungi nya niscaya engkau menjumpaiku di sisinya )
( HR. bukhori fil adab 517 . HR . muslim 2596 . HR. ibnu hibban 269 )
Jelas dan terang dalam teks hadist qudsi di atas menyatakan ALLAH sakit , lalu apakah orang-orang wahabi/salafy menetapkan sifat SAKIT terhadap ALLAH … ? tanpa adanya takwil …? Jika benar demikian maka aqidah anda adalah aqidah bathil penuh dengan kerancuan yang tidak jelas …! lalu atas dasar inikah mereka membangun sebuah aqidah ?? lantas dengan se enaknya memvonis ahlu syubhat dan ahlu sesat terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan keyakinan mereka..?? dan memvonis ahlu bid’ah dan sesat terhadap ulama-ulama dan para sahabat yang menakwilkanya …. ? sunguh dunia sudah terbalik aqidah ahlul haq mereka anggap sebagai aqidah ahlu syubhat dan sesat , sedang aqidah mereka ..? yang menetapkan sifat lupa dan sakit terhadap ALLAH mereka anggap sebagai aqidah yang benar …!!! NA’UDZUBILLAH TSUMMA NA’UDZUBILLAH ..
Jelaskan kepada mereka…!! ” terlalu mengandalkan dalil tekstual tanpa di fahami secara akal sehat adalah ciri khas dari faham ahlu bid’ah khasyawiah mujassimah , dan terlalu mengandalkan akal dengan metode hermeneutika tanpa di dasari dalil adalah ciri khas dari faham mu’tazilah yang jauh dari kebenaran dan yang memadukan antara keduanya yaitu dalil dengan di pahami secara akal sehat adalah cara yang di anjurkan oleh rasul alaihis-sholatu wassalam, dan jalan yang benar ” dan jalan inilah yang di tempuh oleh para ulama’ yang beraqidah ahlus sunnah wal jama’ah mereka di antara nya adalah imam abu hasan al-asy’ari , imam al-maturidi dan murid-muridnya , imam al-qhodhi abi bakar al-baqilani , imam abi ali addaqqaq , imam abi tha’ib bin abi sahal assa’luki , imam al-hakim annaisaburi , imam abu bakar bin faurak , imam al-hafidz abi nu’iem al-ashbihani , imam nawawi , imam al-hafidz ibnu hajar al-astqolani , syeikhul islam imam zakaria al-anshory imam ibnu hajar al-haitami dan masih banyak ratusan ulama-ulama ahlu sunnah tak terbilang yang berada dalam manhaj ini.. dan pada ujungnya adalah salafussoleh mufassir Al-qur’an sahabat ibnu abbas rodiyallahu anhu . apakah pakar ulama’ nashirussnnah di atas yang kalian anggap sebagai ahlul syubhat dan sesat…. ??
Sungguh tak ada kalimat yang pantas kami ucapkan kepada mereka selain sebuah kalimat :
قوم أصابته الفتنة فعموا وصموا
( kaum yang tertimpa fitnah lalu mereka buta dan tuli )
Dan kami akhiri dengan sebuah firman ALLAH :
إنما يفتري الكذب الذين لا يؤمنون بأيت الله وأولئك هم الكاذبون
( sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan , hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat allah dan mereka itulah orang-orang pendusta . ( an-nahl : 105 )
Ana tidak akan menanggapi komen di atas panjang lebar karena hal itu justru membahayakan bagi seorang tholabul ‘ilmi seperti ana. Apa yang disifatkan oleh Alloh kepada Diri-Nya dan disifatkan oleh Rosul-Nya itulah sifat yang haq. Sedangkan apa yang disifatkan oleh Ahlul Ta’wil wa Tahrif (Jahmiy dan konco-konconya) adalah sifat yang diada-adakan.
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّهِ قِيلاً
Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Alloh? (QS. 4:122)
semoga ikhwah yang lain juga bisa menjaga diri dari fitnah ini.
@ Imam Nawawi,
Saran ana hendaknya antum mengaji dulu,
tetapi carilah tempat tholabul ‘ilmi yang benar, seperti dikalangan kaum yang bermanhaj salaf, sehingga antum akan mengerti apa itu salaf yang sesungguhnya, apa itu wahabi, apa itu ahli bid’ah, apa itu ahli sirik, apa itu ahli ahwa’, jangan sampai antum sudah capek2 mengomentari tetapi ternyata salah, berdosa dan malu-maluin jadinya.
Diharapkan bila antum sudah ikut mengaji bersama orang yang bermanhaj salaf (non hizbi), anda akan sadar dan terbebas dari pemikiran2 batil.
Sayang initial antum menggunakan nama Ulama Besar Imam Nawawi, tetapi pengetahuan antum jauh seperti antara langit dan bumi dibanding beliau.
saya termasuk orang yang belajar aqidah dan manhaj salaf dan tidak saya temui dalam pelajaran tersebut sebagaimana tuduhan yang disampaikan oleh saudara kita yang menamai dirinya Imam Nawawi.
Mengenai dalil-dalil yang disebutkan dan dijelaskan lagi dituduhkan oleh saudara kita ini, berkaitan dengan sifat-sifat Alloh bukanlah demikian aqidah salaf.
Di sini saya gak akan menjelaskan atau membantah apa yang disampaikan saudara kita ini.
Saya cuma mengingatkan untuk kita semua lebih khusus untuk saudara kita ini agar lebih banyak belajar tentang aqidah dan manhaj salaf (sahabat).
Sekarang kalau ujungnya sahabat yang mulia Ibnu Abas Rodhiyallohu ‘anhu..tolong terangkan tafsir beliau tentang hadits Nuzul ini?? dan ayat2 Al Qur’an sepertti istawa Alloh diatas ‘arsy-NYa..kalau beliau mengimani dan tidk mentakwil dgn takwil yg batil berarti antum yg mengaku sebagai imam nawawi yg harus ruju’…karena ahlussunnah tdk mutlak menolak takwil. namun yg ditolak adalah takwil yg batil..
@Nawawi
antum menisbatkan nama kpd Imam An Nawawi yg bermazab Syafiiyah, silahkan baca nih keterangan dari Ulama Syafiiyah ttg penisbatan kpd kata2 Salaf/Salafy, apakah menyelisihi kebenaran atau tidak, jgn asal comment
http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/2009/12/madzhab-salaf-menurut-madzhab-syafiiyah.html
@INawawi : kerancuan penafsiran…tidak bisa bikin perumpamaan yang benar….tendensius dan emosional…
Akhi Imam Nawawi, semoga Allah menunjuki anda jalan yang lurus. Amiin. Sebelumnya saya ucapankan terima kasih atas komentar anda, tapi kiranya kami perlu untuk memberikan tanggapan agar tidak menjadi syubhat bagi pembaca:
1. Madzhab salaf dalam masalah asma’ wa sifat adalah mengimani secara dhohir tanpa takyif (membagaimanakan), ta’thil (mengingkari) dan tamtsil (menyamakan dengan makhluk). Inilah metode ulama salaf shalih seperti Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dll. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Al-A’rof: 54)
2. Syaikhul Islam berkata: “Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakekatnya. Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan hal itu”. (Tanbih Rojulil Aqil 2/487).
Inilah yang hendaknya kita terapkan juga dalam ayat-ayat dan hadits, kita tidak boleh berpaling dari makna aslinya kecuali apabila ada dalil atau indikasi kuat.
3. Adapun beberapa dalil yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang untuk melegalkan penyelewengan makna dari aslinya, maka ini telah dijawab dan dijelaskan secara tuntas oleh para ulama kita. (Lihat Ibthol Ta’wilat oleh Abu Ya’la, Al-Qowaid Al-Mutsla oleh Ibnu Utsaimin, Qoidah Muhimmah Fimaa Dhohiruhu Ta’wil Min Shifat Robb oleh Amr Abdul Mun’im).
4. Kita cukupkan di sini menjawab dua syubhat yang dibawakan oleh akhi Imam Nawawi di atas:
Pertama: Firman Allah “Mereka melupakan Allah maka Allah melupakan mereka”. (QS. At-Taubah: 67) dan ayat-ayat sejenisnya (Al-A’rof: 51, Thoha: 126, Al-Jatsiyah: 34, As-Sajadah: 14). Perlu diketahui bahwa ayat-ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah tidak lupa seperti QS. Thoha: 52, Maryam: 64, karena kita harus yakin bahwa tidak mungkin Al-Qur’an itu saling bertentangan antara satu dengan lainnya. (Lihat QS. An-Nisa’: 82).
Lantas, bagaimana penjelasannya? Para ulama mengatakan bahwa kata nisyan (lupa) ada dua makna:
1. Nisyan bermakna lupa terhadap sesuatu yang pernah diketahui. Sifat ini tidak mungkin bagi Allah, karena itu adalah negatif.
2. Nisyan bermakna meninggalkan dengan sengaja dan atas dasar ilmu. Makna ini ditetapkan bagi Allah.
Jadi makna ayat-ayat yang menetapkan sifat nisyan bagi Allah maksudnya adalah makna kedua, sedangkan ayat-ayat yang meniadakan sifat nisyan bagi Allah adalah makna pertama. (Lihat Daf’u Iiham Idhtirob ‘an Ayatil Kitab hlm. 146 oleh asy-Syinqithi, Fatawa Ibnu Utsaimin fil Aqidah 1/293-295).
Kedua: Adapun hadits qudsi bahwa Allah berfirman: “Wahai anak Adam, saya sakit kenapa kalian tidak menjengukku. Dia berkata: Wahai Robbku, bagaimana aku menjengukMu sedangkan Engkau adalah Robb semesta Alam. Allah berfirman: Tahukah kamu bahwa hambaKu fulan sakit tetapi kamu tidak menjenguknya?!…
Apakah hadits ini hujjah bagi para penyeleweng makna?! Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Salaf telah menerima hadits ini dan tidak memalingkannya dari dhohirnya , tetapi mereka menafsirkan seperti penafsiran Dzat yang mengucapkan (Allah) sendiri. Maka firmanNya “Saya sakit” sudah ditafsirkan dengan firmanNya “Tahukan kamu bahwa hambaku fulan sakit. Inilah penafsiran Allah yang lebih tahu tentang maksud ucapanNya. Penafsiran seperti bukanlah penyelewengan makna karena kita menafssirkan dengan penafsiran Allah. Allah menyandarkan kepada diriNya sebagai anjuran dan dorongan sebagaiman firmanNya: “Siapa yang memberikan pinjaman kepada Allah” (Al-Baqoroh: 245).
Justru hadits ini merupakan dalil telak bagi orang yang menyelewengkan makna tanpa dalil dari Al-Qur’an dan hadits, sebab seandainya hal itu tidak seperti dhohirnya tentu akan dijelaskan oleh Allah dan Rasulnya. (Lihat Al-Qowaid Al-Mutsla fi Sifatillah wa Asmaihi Husna hlm. 102-103).
Dengan demikian, maka hancurlah argumen para penyeleweng ayat-ayat dan hadits dari makna aslinya tanpa dalil dan nampaklah kebenaran madzhab salaf dalam masalah ini. Semoga Allah selalu meneguhkan kita semua di atasnya.
@nawawi, maaf…saya tidak memakai kata ‘imam’ karena penisbatan nama anda pada nama besar beliau sama sekali jauuuuhhh panggang dari api.
Malulah pada diri anda, dari mulai kalimat awal komen anda saja sudah terlihat anda salah besar. Apalagi untuk membaca komen anda yg panjang lebar namun ternyata membawa syubhat yg berbahaya. Oleh karena syubhat dan tong kosong anda telah ramai2 dibantah oleh saudara2 kita diatas termasuk oleh ustadz yusuf as sidawi, maka saya hanya menyampaikan pesan pada anda (ini juga klo anda masih mengikuti web ini dan tidak kabur) : tolong sampaikan kepada org yg anda taqlidi artikelnya itu (atau itu anda sendiri yg membuat artikelnya?), klo menafsirkan ayat atau hadits mutasyabihat jgn sembarangan mas, jgn seenak udelnya. Coba lihat tafsiran anda pada hadits qudsi yg anda bawakan itu, klo sekonyong2 anda mengatakan wahabi/salafi menafsirkan dengan dhohir hadits bahwa Allah itu sakit, andalah yg batil (baca : seenaknya ngomong), tolong bawakan kesini sumbernya bahwa wahabi/salafi menafsirkan yg spt itu. Jgn asal ngomong mas, ingat, ucapan anda itu sudah tergolong fitnah bagi org lain, saudara anda sendiri. Takutlah pada Allah Ta’ala akan fitnah yg anda buat.
Terakhir mas, makanya jgn terus2an ngefans dengan habaib yg selalu berpikiran buruk dengan wahabi/salafi. Coba anda ngaji kembali dengan ustadz2 yg berpikiran bersih dan bermanhaj salaf. Atau minimal bersihkan dulu diri anda dari sholawat nariyah, barzanji dan mauludan. Kembalilah pada Qur’an dan Sunnah, pelajari dalil2nya dari setiap ibadah yg anda lakukan. Semoga Allah Ta’ala menunjuki kebenaran pada anda dan kita semua.
Sayang sekali kalau anda kabur dari web ini dan hanya berani lempar komen sembunyi tangan (dengan bersembunyi dibalik nama besar Imam Nawawi). Saya sangat mengharapkan anda mempertanggungjawabkan syubhat anda diatas.
@nawawi: semoga Allah memberi antum petunjuk kepada yang haq dan menjauhkan anda dari syubhat dan hawa nafsu antum. sepetinya itu artikel yang dicopy paste disini dan antum ga paham betul ttg apa yang antum copy paste itu
nawawi pasti dah kabur.
Awas, Terjerumus Dalam Akidah Tasybih!
Masih banyak orang Islam yang belum mengerti apa itu tasybih bagi Allah, yang mana ini dilarang dalam Islam. berikut ini sekedar gambarannya, maka perhatikanlah bagaimana tasybih ini tidak pantas disandangkan bagi Allah yang memiliki sifat Agung dan Maha Suci. Ketika anda mendengar kata “turun”, bisakah anda tidak membayangkan proses turun itu sendiri? Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat atau perilaku benda-benda dan segala sesuatu yang baharu.
Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah. Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Itulah sekedar gambaran keyakinan tasybih, menyerupakan atau menyamakan perilaku Allah Swt dengan makhluk-Nya. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat. Mari kita simak uraian Abou Fateh agar lebih jelas memahami tentang akidah tasybih yang tidak layak bagi Allah Swt….
Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl; Mewaspadai Akidah Tasybih Kaum Wahhabiyyah
Oleh: Abou Fateh
Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)
“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)
Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
“Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang dinyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka.
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه
”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ
”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut:
“Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut;
Pertama: Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah.
Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat.
Ke Tiga: Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan; Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari Allah.
Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).
KESIMPULAN: Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya. Wallahu A’lam….
Untuk Kawanmu, semoga Allah memberinya hidayah.
Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas komentar anda, tetapi kami memandang komentar anda memuat banyak syubhat yang perlu kami tanggapi sekalipun sebenarnya syubhat-syubhat kalau dicermati ini hanya mengulang saja dan telah kami bantah dalam artikel di atas, tapi gak masalah kita bantah lagi dengan tambahan faedah insya Allah:
1. Kami setuju dengan anda untuk mewaspadai dari tasybih, namun apakah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan rasulNya adalah tasybih? Inilah duduk masalahnya. Ishaq bin Rahawaih berkata: “Tasybih itu kalau seorang mengatakan tangan Allah seperti tanganku. Adapun orang yang menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan tidak membagaimanakan dan menyerupakan maka itu bukanlah tasybih”. Hal serupa juga dikatakn oleh Nu’aim bin Hammad. (Lihat Siyar A’lam Nubala’ 10/610 oleh adz-Dzahabi).
Tetapi ahli bid’ah menyebut Ahli Sunnah yang menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana ditetapkan Allah dan rasulNya dengan musyabbihah. Sungguh ini gelar-gelar dari Ahli bid’ah. (Lihat Syarh Ushul I’tiqod 1/204 oleh al-Lalikai, Dzammul Kalam 4/390 oleh al-Harawi, Aqidah Salaf Ashabil Hadits hlm. 304 oleh ash-Shobuni).
2. Para ulama salaf telah menetapkan sifat turun bagi Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Imam Syafi’i berkata:
“Pendapat dalam sunnah (aqidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawanku ahli hadits yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas Arsy-Nya di langitNya dekat dengan para hambaNya sekehandak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendakNya”. (Lihat Mukhtashor Al-Uluw hlm. 176 oleh adz-Dzahabi, Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 122 oleh Ibnul Qoyyim, Itsbat Shifatil Uluw hlm. 124 oleh Ibnu Qudamah).
Bahkan Imam Abul Hasan al-Asy’ari menukil ijma’ ulama untuk menetapkan sifat turun bagi Allah. (Risalah Ahli Tsaghor hlm. 229)
Wahai kawanku, apakah engkau kira bahwa Imam Syafi’i, Imam Malik, dan semua ahli hadits adalah golongan Musyabbihah karena mengimani sifat turun bagi Allah?! Jawablah!!
Dan dalam nukilan Imam Syafi’i di atas dapat kita ketahui kesalahan nukilan Imam Nawawi -semoga Allah merahmatinya- bahwa Imam Malik mentakwil makna turun, karena riwayat ini tidaklah shohih dari Imam Malik, dalam sanadnya terdapat Habib bin Abi Habib seorang pendusta. (Lihat Masail Aqidah Al-Lati Qorroroha Aimmah Malikiyyah hlm. 225 oleh Syaikh Muhammad Al-Hamadi, Qoidah Muhimmah hlm. 79 oleh Amr Abdul Mun’im). Riwayat ini juga menyelishi aqidah Imam Malik dalam masalah asma wa sifat. (Lihat buku Al-Atsar Al-Masyhur Anil Imam Malik oleh Dr. Abdur Rozzaq al-Badr).
3. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mencari-cari ketregelinciran ulama dan tidak mengikuti ketergelinciran mereka, termasuk dalam hal ini adalah ketergelinciran Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Imam Nawawi -semoga Allah merahmati keduanya-. Oleh karenanya, mereka membantah takwil hadits ini dalam kitab-kitab mereka.
4. Riwayat-riwayat yang disebutkan di atas bahwa yang turun bukan Allah tetapi Allah menurunkan, atau yang turun adalah malaikat, adalah riwayat yang munkar dan menyelisihi riwayat-riwayat yang shohih dari Nabi. (Lihat penjelasannya secara panjang dalam Silsilah Adh-Dhoifah no. 3897 dan Syarh Hadits Nuzul hlm. 37-42).
5. Syubhat akal-akal bahwa turun mengharuskan begini dan begitu, seperti benda, pindah, setiap waktu turun dll, kami katakan: Ya akhi, kenapa anda gambarkan Allah dengan gambaran Makhluk?!! Tidakkah cukup bagi anda untuk mengimaninya dan menyerahkan bagaimananya kepada Allah?. Al-Khottobi berkata: “Orang yg mengingkari ini hanyalah orang yang menyamakan perkara dengan turun yang dia lihat yaitu dari atas ke bawah dan pindah dari atas ke bawah, ini adalah sifat benda. Adapun turun Dzat yang menguasai benda maka tidak bisa disamakan dan dikahayalkan”. (Al-Asma wa Shifat hlm. 453 oleh al-Khotthobi).
Imam Ibnu Rojab juga membantah penentangan seperti ini dengan ucapannya: “Sungguh, penentangan seperti ini sangat jelek sekali. Seandainya Rasul dan para khalifah mendengar orang yang menentang begini, mereka tidak mendebatnya tetapi langsung menghukumnya dan mengkatagorikannya dalam rombongan para penentang dan pendusta”. (Fadhlu Ilmi Salaf Ala Kholaf hlm. 6).
Cukup sekian dulu, kami akan sholat isya’, bila memang belum cukup, kami siap untuk menanggapinya lagi insya Allah.
Assalaamu`alaikum Ustadz,
Ana hanya penasaran dengan hadits yang antum cantumkan dalam artikel di atas:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ
Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442]
Dari link saudara kami, alAkh Abul Jauzaa berikut:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/01/pembahasan-hadits-duburush-shalawaatil.html
Hadits itu masuk kategori dho`if.
Mohon tanggapan antum.
Jazakallaahu khoiron…
Hadis yang berkaitan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى
لُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1
Katanya Tuhan turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir berkata kepada manusia. Tentunya Tuhan berkata cukup kuat untuk bisa didengar oleh manusia. Tapi kenapa kok tidak pernah ada orang yang mendengarnya? Saya juga sering bangun pada sepertiga malam yang akhir itu tapi juga tidak pernah perkataan Tuhan.
Hadis itu tidak menjelaskan berapa lama Tuhan berada dilangit dunia itu ya. Selepas berkata, tentunya Tuhan memberi peluang beberapa ketika untuk orang berdo’a, meminta dan memohon ampun kepadanya. Mungkin Tuhan menunggu kira-kira 15 menit. Selepas itu Tuhan akan pulang ke langit ketujuh kan? Tapi itu tentunya tidak mungkin. Bumi ini bulat, oleh itu tempoh sepertiga malam terakhir akan berterusan ada dibumi, pindah dari satu bahagian bumi ke satu bahagian bumi tidak berhenti-henti hingga hari kiamat.
Kalau begitu tidak benar yang dikatakan hadis bahawa Tuhan TURUN setiap malam kerana malam sentiasa ada dibahagian bumi yang tidak berhadapan dengan matahari. Wajarnya Tuhan tidak pernah turun dan naik tetapi Dia terpaksa menetap terus dilangit bumi itu.
Amat jelas hadis ini palsu walaupun banyak perawinya yang berkonspirasi membikin pembohongan.
Kita harus hati-hati tentang hadis kerana kebanyakannya adalah palsu.
Sekian.
Saudara moderator,
Anda berdosa besar kerana menyembunyikan yang benar dengan tidak menerima komen saya yang dikirim dua kali untuk tatapan umum.
Anda lebih suka orang terus sesat percaya hadis yang anda sampaikan. Adakah anda tidak takut hari pembalasan nanti?
assalamu’alaikum, ustadz untk pemula seperti ana ini buku-buku apa yg bisa antm sarankan untk di baca? khususny permasalahan tauhid asma’ wa shifat.jazakumulloh khoiron
@ W Kassim
Kami meremove komentar Anda karena Anda menolak hadits-hadits Rasulullah dengan alasan logika, bukan dengan studi kritik sanad. Dalam pandangan kami, Hadits adalah sumber hukum kedua yang sah setelah Al-Qur’an. Maka, kami tidak akan menampilkan pihak yang menolak hadits-hadits Rasulullah dengan alasan para perawi berkonspirasi untuk membuat hadits palsu (tanpa melalui studi kritis yang standar dalam ilmu ushul hadits).
Jadi, maaf, kami hanya menampilkan komentar-komentar kaum muslimin yang masih menganggap bahwa hadits shahih adalah hujjah di samping Al-Qur’an.
—admin—
As2lmlkm,
nasihat untuk SAYA PRIBADI dan kaum muslimin.
1. Jika slama ini kita salah, maka perbaikilah dan terimalah kbenaran skalipun itu pahit.
2. Jangan ada perasaan iri, hasad, dan dengki dlm hati kita. Ingatlah bahwa sifat2 buruk ini hanya akan membuat kita terhalang dari surga.
3. Ilmu sblm amal.
4. Brsabarlah dlm brdakwah.
@ Al Akh Admin
syukron antum menghindarkan kami dari komen yang bisa saja akan menjadi fitnah bagi kami. sebaiknya begitu saja, komen yang tidak ilmiah atau ada syubhat yang berbahaya tidak usah ditampilkan.
kalaupun ingin membantah syubhat-syubhat tersebut, maka itu cukup antara mereka dengan ustadz Abu Ubaidah saja, tidak usah dipublikasikan.
Untuk akhi w Kassim, semoga Allah memberinya hidayah kebenaran.
1. Saudaraku, sebagai seorang muslim, landasan kita adalah Al-Qur’an dan hadits yang shohih. Barangsiapa yang mengingkari salah satunya sebagai landasan agama kita, maka perlu dicurigai Islamnya. Terus terang, apakah anda percaya bahwa hadits Nabi adalah landasan agama?!
2. Bila suatu hadits telah shohih, apalagi mutawatir, maka wajib bagi seorang muslim untuk menerimanya dan tunduk kepadanya, bukan malah mendustakannya hanya sekadar dengan akal dan hawa nafsu belaka?! Sekarang, katakan pada kami apakah ucapan anda bahwa “hadits ini palsu sekalipun banyak para perawinya yang berkonsprasi untuk kebohongan”.
Jujur, baru kali ini saya mendengar ada orang yang mengatakan bahwa hadits ini palsu. Maka datangkanlah kepada kami bukti kongkrit ucapan anda, siapa ulama yang memalsukannya sebelum anda, karena jika tidak berarti anda telah berdusta dan mencela para ulama ahli hadits bahwa mereka berkonsprasi atas kebohongan?!
Aduhai, tahukah anda bahwa Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik, bahkan seluruh ulama menshohihkan hadits ini?
Apakah mereka semua anda anggap berkonspirasi atas kedustaan?!
Tidakkah anda sedikit berhati-hati sebelum mengeluarkan pernyataan, karena anda akan dimintai pertanggungjawaban! Buktikanlah secara ilmiyah ucapan anda, jangan hanya sekadar mengeluarkan kata!!!
3. Imam Syafi’i berkata:
“Segala sesuatu ada batasnya, dan akal juga ada batasnya“.
Wahai saudaraku, apakah segala sesuatu itu harus diketahui oleh akal kita dan harus kita pernah dengar dengan telinga kita? Saya bertanya kepada anda: “Apakah anda beriman adanya Allah, surga, neraka, siksa kubur, padahal apakah anda melihatnya?
Apakah anda percaya bahwa ruh itu ada?
Apakah anda tahu bagaimana wujudnya ruh yang ada pada diri anda?
Apakah akal anda menjangkaunya?
Aduhai, kalau ruh yang ada pada diri anda saja, anda sendiri tidak tahu tentang wujudnya, lantas bagaimana dengan masalah ghoib lainnya?!!!
Ingatlah wahai saudaraku, wahyu itu dari Allah, Nabi Muhammad tugasnya menyampaikan dan kewajiban kita adalah tunduk dan menerima. Tanamkanlah iman pada dirimu, jangan terlalu berlebihan pada akal dan perasaan. Ingat kita adalah hamba yang berkewajiban untuk iman, bukan membangkang. Syubhat akal-akalan anda sudah dijawab oleh para ulama sebagaimana sudah kami kemukakan di makalah dan komentar kami atas komentar saudara yang menamakan dirinya “Kawanmu”. Semoga Allah menjadikan kita semua hamba-hambaNya yang beriman dan tunduk. Amiin. Wallahu A’lam.
Salam ya ustaz,
Hadis yang kononnya mutawatir itu mengatakan “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir.
Saya memang mahu mempercayai hadis itu sohih sekiranya ada manusia yang biasa menjelaskan bagaimana Tuhan bisa turun ke langit dunia PADA SETIAP MALAM IAITU KETIKA SEPERTIGA MALAM TERAKHIR.
Oleh kerana bumi ini bulat, maka sentiasa aja ada bahagiannya berada pada sepertiga malam terakhir tanpa putus-putus walau satu saat, beredar dari Timur ke Barat. Misalnya jika di Indonesia siang, tetapi di Amerika pula malam. Atau adakah Tuhan hanya turun ke langit Indonesia sahaja dan tidak ke langit di negara-negara lain?
Maka hadis itu tidak dapat diterima akal. Allah menyuruh manusia menggunakan akal. Walaupun ada ratusan atau ribuan perawi hadis itu, saya tetap tidak dapat menerimanya sebagai sohih.
Orang Islam akan terus ketinggalan jika mereka tidak mahu menggunakan akal.
Hadis yang tidak diterima akal bukan satu itu sahaja. Ada banyak lagi. Mungkin tuan tahu ada seorang Indonesia yang membuktikan bahawa sohih Bukhari itu juga banyak yang palsu, dalam thesis Phd. nya.
Sekian.
Bismillahirrahmanirrahim,
Sebenarnya coment Wak Kassim itu tidak lain hanyalah bukti bahwa dia mengingkari Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai Rasul Allah. Bagaimana tidak, sedangkan Allah telah menjamin bahwa apa yg beliau ucapkan adalah wahyu dari-Nya. Lihat Qs. An-Najm ayat :
[i]2. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[/i]
Jika Nabi Muhammad telah dijamin oleh Allah pasti tidak sesat & keliru, maka yang perlu saya tanyakan kepada W Kassim adalah:
1. Siapakah yg menjamin Wak Kassim & seorang yg katanya Phd. tsb. tidak akan tersesat atau keliru !?
2. Siapakah yg menjamin akalnya Wak Kassim & akalnya seorang yg katanya Phd. tsb sebagai akal yg sehat [al-aqlus salim] dan bukan akal yg sakit [al-aqlus saqim] !?”
3. Siapakah yg menjamin kebenaran dari kesimpulan akal-sakitnya satu atau dua orang bukan ahli hadits yg berani menyalahkan hadits Nabi yg telah dibenarkan oleh akal-sehatnya Imam Bukhori -rahimahullah- & seluruh Imam Ahli Hadits -rahimahumullah- !?
4. Siapakah yg bisa menjamin Wak Kassim ketika menulis hal tsb. di atas dia sedang menggunakan akalnya dan bukan sedang akal-akalan atau mengakali !? Ataukah dia sedang menggunakan akalnya untuk mengakali dan main akal-akalan !?
5. Siapakah yg menjamin Wak Kassim akan memilih datang ke tukang tambal ban untuk mengobati penyakitnya daripada ke dokter?
Dan kalau Wak Kassim tetap bersikukuh selalu menjadikan akalnya sebagai jaminan kebenaran atas sesuatu sehingga apa yg tidak logis menurut akalnya harus ditolak, maka silahkan jawab pertanyaan berikut ini :
1. Bisakah akal anda menjamin bahwa setiap yg keluar dari [maaf] pantat ayam adalah selalu telur dan bukannya [maaf] tai !?
2. Bisakah akal anda menjamin bahwa telur ayam tadi pasti menetas !?
Adapun menurut logika saya, perbedaan hadits Nabi dengan akalnya Wak Kassim kurang lebih ibarat lebah dan ayam. Kalau lebah yg keluar dari perutnya adalah madu sedangkan ayam yg keluar dari perutnya adalah salah satu di antara dua, bisa yg ini atau yg itu. [hehe… ga mungkin keluar 22-nya kan? paham maksud saya?
Ketahuilah Wak Kassim, Sesungguhnya Allah telah menugaskan Rasul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam- untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an.
Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
[i]”Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu (Muhammad) [b]menerangkan[/b] pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”[/i] (Qs. An-Nahl 44)
Dengan demikian, jika anda ternyata mengingkari hadits Nabi yg telah valid datangnya dari beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berarti anda mengingkari ayat ini.
Berhati-hatilah Wak Kassim, barangsiapa mengingkari 1 ayat al-Qur’an saja berarti dia telah mengingkari al-Qur’an seluruhnya. Barangsiapa mengingkari al-Qur’an maka dia telah mengingkari siapa yg membawanya yakni Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan barangsiapa mengingkari beliau sama saja dengan mengingkari siapa yang telah mengutus beliau yakni Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wal ‘iyadzu billah!
@ Al Akh W. Kassim rohimahulloh
sebenarnya keragu-raguan antum telah terjawab oleh artikel Ustadz Abu Ubaidah di atas. hanya saja ada beberapa hal yang perlu ana tambahkan.
yang tampak dari komen antum adlaah antum merasa telah menggunakan antum dengan baik sedangkan para ulama yang menshohihkan hadits tersebut tidak menggunakan akalnya dengan baik.
Allohu akbar (jika memang demikian), berarti yang cocok untuk menjadi pewaris Nabi itu antum saja, bukannya ulama. hamba yang paling takut kepada Alloh itu antum, bukan ulama. yang darahnya beracun itu antum, bukan ulama. yang lebih berhak berbicara tentang Al Quran dan As Sunnah itu antum, bukan ulama.
yaa akhi, memang Alloh memerintahkan kita untuk mempergunakan akal dengan baik. antum memahami perintah “menggunakan akal”, tapi antum tidak memahami perintah “dengan baik”. yang antum lakukan adalah menggunakan akal dengan pemaksaan. bukankah ada hal-hal yang tidak mungkin untuk dijangkau oleh akal.
sebagaimana yang Alloh firmankan:
إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
Sesungguhnya manusia amat zalim dan amat BODOH, (QS. Al Ahzaab [33]: 72)
Alloh juga berfirman:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu TIDAK MENGETAHUI. (QS. Al Baqarah [2]: 216)
jika antum merasa akal adalah alat utama untuk memahami hukum2 Alloh, ana tantang antum untuk menjelaskan bagaimana hakikat ruh, kemudian buktikan penjelasan antum itu.
@ W. Kassim
tantangan dari ana, jika antum berjenis kelamin laki-laki, maka jelaskan kenapa Alloh menciptakan antum berjenis kelamin laki-laki?
Akhi W. Kassim, semoga Allah memberinya hidayah kepada jalan yang benar.
1. Sebenarnya saudara belum menjawab pertanyaan2 saya dalam jawaban sebelumnya. Saya meminta kepada anda bukti-bukti anda memalsukan hadits ini, siapa ulama yang berpendapat demikian dan di kitab apa. Maaf, makalah kami adalah makalah ilmiyyah, maka hendaknya disanggah juga secara ilmiyah, bukan dengan sekadar akal-akalan semata. “Datangkanlah kepada kami hujjah kalian jika kalian adalah orang yang benar”.
2. Ucapan saudara “Walaupun ada ratusan atau ribuan perawi hadits, saya tetap tidak bisa menerimanya sebagai hadits shohih”. Subhanallah, seperti inikah sikap seorang muslim?! Bukankah ini adalah suatu kesombongan wahai hamba Allah? Bandingkan hal ini dengan ucapan Imam Syafi’i: “Setiap masalah yang ternyata ada hadits shohih dari Nabi yang menyelisihi ucapanku maka saya mencabutnya baik di saat hidupku atau sesuadah matiku”. (Tawali Ta’sis hlm. 108)
Sungguh, ucapan anda ini sangat berbahaya sekali, karena telah menolak hadits shohih dari Nabi. Dahulu Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Barangsiapa menolak hadits Nabi, maka dia di ambang kehancuran”. Maka selamatkanlah dirimu wahai saudaraku dari kebinasaan, karena kami tidak menginginkan dirimu termasuk orang yang binasa.
3. Sangat jelas sekali anda terlalu berlebihan kepada akal, sehingga menjadikan akal sebagai hakim dalil, cara seperti ini adalah cara yang sangat keliru. Benar, Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal dan Allah telah memuliakan akal, namun bukan berarti kita memposisikan akal lebih dari kedudukannya. Imam Ibnu Qoyyim berkata: “Mempertentangkan antara akal dengan naql (dalil) merupakan sumber kerusakan di alam semesta, hal ini sangat bersebrangan dengan dakwah para Rosul sebab mereka mengajak umatnya untuk mendahulukan wahyu di atas pendapat dan akal, maka terjadilah pertarungan antara pengikut Rosul dan para penentangnya. Para pengikut Rosul mendahulukan wahyu di atas pendapat dan akal, adapun pengikut Iblis dan sejawatnya maka mereka mendahulukan akal di atas wahyu.”(Mukhtashor Showaiq Mursalah 1/209). Maka pilihlah jalan yang engkau inginkan bagi dirimu, apakah ingin menjadi pengikut rasul ataukah pengikut Iblis?
3. Ucapan saudara “Saya baru bisa mempercayai hadits sekiranya ada yang menjelaskan bagaimana Tuhan turun…” Saudaraku, apakah anda pernah mendengar ucapan Imam Malik ketika ditanya tentang bagaimana istiwa’nya Allah? lalu beliau menjawab: “Istiwa’ itu diketahui artinya, bagaimananya adalah tidak diketahui, mengimaninya hukumnya wajib dan bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”. Saudaraku, kita tidak dituntut untuk mengetahui bagaimananya tetapi kita dituntut untuk mengimaninya saja. Bukankah anda beriman Allah itu ada? Tapi apakah anda tahu bagaimana Dzat Allah? Bukankah anda percaya surga dan Neraka itu ada? Tapi apakah anda pernah melihat bagaimananya? Percayalah, sehebat apapun akal manusia tetapi pasti ada batasnya, sebagaimana kata Imam Syafi’i: “Akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan memiliki batas”. Bukankah mata bisa memandang bintang di langit? Tapi apakah dia tahu berapa jumlah bintang dan dari apa dia terbuat? Kalau yang bisa kita lihat saja kita tidak mengetahui perincian hakekatnya maka bagaimana dengan masalah ghoib?!! Pahamilah.
@W. Kassim: jangankan agama, dalam sains pun banyak misteri yang belum terpecahkan karena pengetahuan manusia yang belum menjangkau seperti tentang misteri pembangunan piramida atau bagaimana coral castle dapat dibuat oleh seorang manusia saja. lubang hitam di angkasa yang hingga saat ini ilmuwan belum bisa memecahkannya. apalagi tentang Allah yang Dialah Pencipta alam semesta ini beserta segala misteri yang ada. kita gak bisa membayangkannya dengan pengetahuan kita yang ada. kita tuh gak bisa ngeliat dengan logika seperti itu. ana sendiri yakin hadits itu masuk akal dan ilmiah tapi tingkat ilmiahnya luar biasa tidak dijangkau oleh kita. kita bisa menerimanya dengan dalil dan menyerahkannya kembali kepada asal berita. Wallahu A’lam
Cukuplah ayat ini menjadi gambaran bagi pak W.Kassim :
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” QS Ali Imron ayat 7.
Lalu kalau anda katakan : “Orang Islam akan terus ketinggalan jika mereka tidak mahu menggunakan akal.”
Oke pak, skrg saya tanya pada anda, bisakah anda tafsirkan dengan akal anda makna ayat Alif Laam Miim pada surat Al Baqoroh ayat 1??? Lalu Alif Laam Miim Shood pada surat Al A’roof ayat 1???
Saya tunggu jawabannya ya pak.
Kepada admin, komennya pak Kassim mohon jangan dihapus, beliau ingin berdiskusi dan sptnya beliau perlu diluruskan dari aqidah terlalu memuja akal.
Salam Pak Tommy,
Kita bicara tentang hadis, bukan Quran. Apakah hadis juga ada ayat mutasyabihat?
Salam Pak Taslim,
Jangan lari dari judul perbincangan – hadis nuzul
Ibnu Abi Irfan,
Mungkin ulamak itu tidak tahu ilmu geography bahawa bumi itu bulat dan sentiasa ada bahagiannya yang berada pada sepertiga malam yang akhir.
Kalau demikian Tuhan tidak perlu mundar mandir naik turun ke langit bumi. Tuhan terpaksa menetap dilangit bumi sepanjang masa.
Salam
bukankah Hadits itu semisal dengan Al Quran? sama2 merupakan wahyu yang diwahyukan kepada Muhammad.
apakah antum akan mengimani Al Quran saja dan membuang Al hadits?
Abu Kalimasada,
Saya tidak mengingkari kata-kata Nabi. Saya cuma tidak percaya hadis begitu bisa keluar dari mulut Nabi.
Kalau hadis nuzul itu benar diucapkan Nabi dan yang diucapkannya itu adalah wahyu, maka berarti hadis nuzul itu adalah dari Tuhan. Maka Tuhanlah yang tidak tahu bumi ini bulat.
Ibnu Abi Irfan,
Hadis itu semisal/sama dengan Quran?
Saya mohon perlindungan Allah dari kesesatan begitu.
Salam Ustaz Yusuf Abu Ubaidah,
Apa yang ilmiahnya pada hadis nuzul itu?
Adakah cerita karut Tuhan turun tiap malam waktu sepertiga malam akhir itu ilmiah? Tentu tidak, bahkan ia sesuatu yang amat melucukan!!!
Maka untuk menolaknya juga tidak perlu cara ilmiah.
Dari tulisan ilmiah ustaz Yusuf: “Dahulu Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Barangsiapa menolak hadits Nabi, maka dia di ambang kehancuran”.
Kita lihat yang sudah hancur, lemah, miskin adalah umat negara-negara islam. Contoh paling dekat Indonesia. Adakah itu bukti mereka menolak hadits?
W Kassim menulis: Saya tidak mengingkari kata-kata Nabi. Saya cuma tidak percaya hadis begitu bisa keluar dari mulut Nabi.
Kalau hadis nuzul itu benar diucapkan Nabi dan yang diucapkannya itu adalah wahyu, maka berarti hadis nuzul itu adalah dari Tuhan. Maka Tuhanlah yang tidak tahu bumi ini bulat.
——————————
Lho piye wong iki? Hadits Nabi itu ya kata-kata Nabi yg tidak lain adalah wahyu. Bisa-bisanya anda bilang tidak mengingkari tapi tidak percaya, tanya kenapa? Jangan akal-akalan, ah.
Pokok masalahnya sudah jelas,
1. anda lebih percaya kpd akal anda daripada berita valid [hadits shohih] yg datangnya dari Nabi
2. shgg hadits nuzul tsb menurut anda tidak masuk akal. Dan akal anda sbg manusia -tidak bisa diingkari- sangat terbatas. Jika memang menurut akal anda hadits tsb tidak logis, maka yg layak untuk tidak dipercaya adalah akal anda.
——————————————————
W Kassim menulis: Hadis itu semisal/sama dengan Quran?
——————————————————
Subhanalloh!
Logika anda ini mmg logika tahi ayam. Telor ayam dan tahi ayam sama-sama dari ayam tetapi samakah telor dengan tahi?
Jangan mengeneralisir sesuatu yg spesifik lah.
Mending jawab dulu saja pertanyaan saya sebelumnya sebelum anda ngelantur kemana-mana.
[Afwan Ustadz Yusuf, semoga kata-kata saya ini jadi jamu/pil pahit buat W Kassim yg sedang sakit ini]
Salam Abu Kalimasada,
Kayaknya tuan susah untuk memahami tulisan saya.
Yang menulis “Hadis itu semisal dengan Quran” adalah teman anda Ibnu Abi Irfan, bukan saya. Saya cuma mengutipnya. Maka itu saya mohon perlindungan Allah dari kesesatan menganggap hadis itu semisal Quran.
Kelihatannya tuan senang sekali dengan tahi ayam, ketimbang telornya. Apakah ini juga ajaran hadis?
Abu Kalimasada,
Kalau saya percaya hadis itu keluar dari mulut Nabi, sudah pasti saya menerimanya sebagai hadis sohih.
Kata-kata anda jadi jamu/pil pahit buat saya, tidak saya makan kerana takut ia bercampur tahi ayam kegemaran anda.
Salam hormat dan permohonan maaf dari saya.
Oke pak Kassim,
Jadi anda menolak menafsirkan ayat al Qur’an yg saya bawakan dengan anda beralasan kita bicara tentang hadits…Padahal kaidah dasar paham hadits adalah paham Al Qur’an terlebih dahulu, dan mengimani ayat2 mutasyabihaat.
Skrg begini pak, agar kita pemikiran kita sejalan dengan alur diskusi coba skrg pak Kassim bawakan tafsir hadits nuzul tersebut melalui pemikiran para ulama salaf seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi yg mensyarah hadits tersebut pada Fathul Baari dan Syarah Shahih Muslim, dan tidak dengan tafsiran pak Kassim. Bisa ya pak…Kita tidak bicara Al Qur’an, oke saya turuti kemauan bapak. Kita bicara hadits dengan pemahaman para ulama.
Mas W Kassim yg pemuja akal ternyata tidak berakal, saya juga punya akal ingin menggunakan akal saya utk memahami tentang ucapan anda yg berbunyi ” Kalau saya percaya hadis itu keluar dari mulut Nabi, sudah pasti saya menerimanya sebagai hadis sohih ” mas w kassim dari sini akal saya mengatakan bahwa akal anda memaksakan diri sekarang hidup dijaman Rasulullah dan ini jelas buktinya anda tdk berakal atau seorang yg sangat sombong bangga kesombongannya. Awalnya sy pikir anda orang mengerti tentang agama krn begitu galaknya diawal komentar anda protes ke moderator,
seakan anda ingin jadi juru penyelamat … saya yg baru belajar agama yg hanif ini krn ingin selamat ( sblmnya spt anda kali) setelah tak baca komentar-2 anda mengingatkan saya diwaktu jauh dari iman
Saya sangat percaya dgn hadist Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Mengenai apa yg anda pikirkan tentang perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat lain itu hal mudah bagi Allah dan mengenai Bagaimananya Allah caranya, itu urusan Allah masalahnya hal ghaib, akal kita tdk sampai dan cukup meng imani saja.
Anda tolong jelaskan dgn akal : Surat Al An’aam ayat 59 dibawah ini shg saya jelas Bagaimananya Allah dan bisa saya terima dgn akal saya juga. Kalau sekarang sebelum anda jelaskan saya cukup mengimani saja kerana ini masalah ghaib, Allah maha mengetahui dan maha sempurna.
6. Al An’aam
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
59. Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”
@Kassim yg semoga Allah Ta’ala menunjuki anda,
ya akhi, apa antum percaya pada kekuasaan Allah Azza wa Jalla Yang Maha Segalanya?
Jawab dulu pertanyaan ini ya akh, baru kita beralih ke Qur’an dan hadits…
Untuk akhi w. Kassim.
1. Anda mengakui sendiri bahwa bantahan anda tidak ilmiyah, yaitu dalam ucapan anda “Maka untuk menolaknya pun tidak perlu ilmiyah”. Maka saya sarankan kepada saudara untuk lebih mempelajari lagi. Barangkali ini adalah komentar terakhir saya. Dan bila anda berkomentar lagi tanpa bukti ilmiyah, maka saya mohon maaf bila saya meminta kepada admin untuk tidak mencantumkan komentar antum, karena kami tidak ingin membuang-buang waktu dengan perdebatan yang tidak ilmiyah.
2. Sepertinya syubhat yang melekat di pikiran saudara untuk menolak hadits ini adalah karena bumi ini bulat sehingga mustahil karena Allah turun seprtiga malam terakhir, bahkan anda berani mengatakan mungkin ulama tidak mengetahui geografi bumi itu bulat, bahkan lebih konyol lagi anda sampai mengaka..maka Tuhanlah yang tidak tahu bahwa bumi ini bulat. Astaghfirullah, kok ada ya orang muslim ngomong kayak gini?! Jujur, geli bulu kudukku membaca ucapan kotor seperti itu. Bagaimana anda mengatakan bahwa ulama tidak mengetahui bahwa bumi itu bulat, sedangkan mereka telah bersepakat kalau bumi itu bulat sbelum anda dilahirkan oleh ibu anda ke muka bumi. Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya “Al-Fishol fil Milal wa Nihal” Juz 2 hal 97: “Pasal penjelasan bulatnya bumi. Tidak ada satupun alim dari imam kaum muslimin -semoga Allah meridhoi mereka- yang mengingkari bulatnya bumi, dan tidak dijumpai bantahan satu kalimatpun dari salah seorang mereka, bahkan Al-Qur’an dan hadits telah menguatkan tentang bulatnya bumi…”
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa Juz 6 hal. 586 menjelaskan bahwa ijma’ (kesepakatan) ini telah dinukil oleh mayoritas para ulama’ kaum muslimin seperti Abul Husain Ahmad bin Ja’far Al-Munadi, Imam Abu Muhammad bin Hazm, Abul Faroj bin Jauzi. Para ulama tersebut menyandarkan pendapatnya dari para sahabat dan tabi’in. Mereka juga berdalil dengan Al-Qur’an dan Hadits”.
Nah, apakah setelah ini anda masih mengira bahwa ulama tidak mengerti geografi bumi itu bulat?!! Ataukah -maaf- anda yang asal bunyi tanpa bukti?!!
Adapun ucapan anda “maka Allah yang tidak tahu bahwa bumi ini bulat”. Ya kaumku, apa yang harus kita lakukan terhadap orang yang mengatakan ucapan kotor bahkan kufur ini?!! Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
3. Syubhat yang melekat di pikiran anda ini adalah karena menggambarkan sifat turun bagi Allah itu seperti turunnya makhluk yang perlu pindah, gerak dll, sehingga anda memustahilkannya. Sudah sering saya katakan berkali-kali kepada anda: “Hilangkanlah pikiran seperti ini!! Jangan gambarkan Allah seperti makhluk!! Kewajiban kita hanya iman, adapun bagaimananya serahkan kepada Allah!!! karena tidak ada yang serupa dengan Allah sesuatupun. Dan anda juga belum menjawab pertanyaan saya dan semoga sekarang anda menjawabnya tanpa belok ke mana-mana: Apakah anda pecaya Allah itu ada? Tapi apakah anda tahu bagaimana Dzat Allah itu? Jawablah!!! Saya tidak perlu mengulang bantahan lagi yang sudah saya paparkan sebelumnya.
3. Ucapan anda mengomentari ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Barangsiapa menolak hadits Nabi maka dia di ambang kehancuran”. Anda berkata: Apakah itu bukti semi kehancuran negeri seperti indonesia ini karena menolak hadits. Kami jawab: Ya, tidak mustahil kalau sebab kemunduran dan kekacauan adalah karena adanya sebagian rakyat Indonesia yang menolak hadits shohih seperti anda ini -kecuali kalau anda mau bertaubat-.
Saudaraku, menolak hadits shohih sangat berbahaya sekali, sampai-sampai dahulu para ulama menghukumnya agar dibunuh. Imam Syafi’I bercerita: “Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi tentang undian, lalu dia mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya dating kepada Abul Bakhtari seraya aku katakana padanya: “Aku mendengar al-Marrisi mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Lalu dia mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (kunyah Imam Syafi’i), datangkanlah saksi lainnya lalu saya akan membunuhnya”. Dalam lafadz lainnya: “Datangkanlah saksi lainnya, niscaya saya akan mengangkatnya di atas pohon lalu menyalibnya”. (Diriwayatkan Al-Khollal dalam As-Sunnah 1735 dan Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya 7/60 dengan sanad yang shohih).
Maaf, bukan maksud kami meminta agara anda dihukum mati. Tapi hanya menjelaskan bahwa hukuman bagi orang yang menolak hadits sangatlah berat menurut ulama. Kami tetap mengharap dan berdoa agar anda mendapat hidayah karena kami yakin bahwa orang-orang seperti anda mengatakan seperti itu hanyalah karena kejahilan semata. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua. Amiin.
Seluruh permukaan bumi akan selalu pada keadaan dan waktu sepertiga malam secara berurutan , kalau Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir berarti Dia gak pernah naik langit ke langit bukan dunia, wallahu a’lam bishawab.
Sebetulnya dalam mengabulkan sesuatu atau tidak mengabulkan sesuatu Allah tidak perlu turun atau naik, dengan kehendak Nya, di manapun (tempat menurut Allah) Allah maha Kuasa untuk berbuat apapun, Innallaaha ‘alaa kuli syai-in qadiir
سبحانك اللهم و بحمدك أشهد أن لاإله إلا أن أستغفرك و أتوب إليك
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’ala ber istiwa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak berada/menetap di atas Arasy, Dialah yg menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain, sudah pasti Dia tidak mampu mencipta dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum dicipta Arasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”.
Amat jelas di atas bahwa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam (duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafii:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
terjemahnya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari zaman azali) dan tempat (sewaktu) belum diciptanya (tempat), kemudian Allah menciptakan tempat dan Dia tetap dengan sifat-Nya yang azali itu sebagaimana sebelum terciptanya tempat, tidak mungkin Allah (mengalami) perubahan (dg butuh tempat). Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 hal. 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifa’i dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahwa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya (Imam Ahmad) Kitab Fatawa Haditsiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknanya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif (bentuk) tidak diterima akal, dan iman dengannya wajib, dan bertanya tentangnya (bagaimana istiwanya Allah) adl bid’ah (dlolalah).
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)
Kesimpulan:
dengan memperhatikan fatwa ke 4 imam madzhab Ahlussunnah wal jama’ah di atas, maka jelas aqidah mereka adalah aqidah yg benar dan lurus, menolak tajsim dan menolak pemberian sifat yang seperti makhluk-Nya seperti bertempat atau ada di arah tertentu.
Allah sudah ada sejak zaman azali (zaman sebelum terciptanya seluruh makhluk) dan kelak Allah tetap ada saat kiamat (zaman musnahnya seluruh makhluk), maka bisa kita pahami di zaman azali dan saat kiamat, langit dan arsy tidak ada, dan Allah tetap ada, mustahil bagi Allah mempunyai sifat butuh terhadap makhluk, seperti butuh tempat yaitu ‘Arsy, kalau Allah butuh tempat, maka tdk bisa disebut Tuhan, karena dg butuh akan tempat menunjukkan Dia lemah, dan mustahil Tuhan bersifat lemah.
semoga kita semua selalu dalam aqidah yang benar dan lurus, tidak sampai terpengaruh dg aqidah sesat mujassimah wahhaby yg menganggap Allah bertempat di atas ‘Arsy atau bertempat di atas langit. karena aqidah ini aqidah sesat, sangat mustahil langit dan Arsy yg merupakan makhluk Allah yg kecil dan terbatas (bagi Allah) menjadi tempat Dzat Yang Maha Besar, Yang Ke-besar-an-Nya tidak terbatas.
Asy Syafi’i berkata : “Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”
Amin ya akh Nawawi…
Semoga kita semua jg terhindar dari akidah asy’ariyah yg menyebutkan bahwa Allah Ta’ala ada dimana-mana…Amin ya Robbal alamin