Operasi Ganti Kelamin

 

Mukadimah

Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dengan bentuk sebaik-baiknya dan menjadikan di antara mereka ada yang pria dan ada yang wanita. Semua itu terjadi dengan keadilan dan hikmah-Nya. Allah berfirman:

لِّلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَـٰثًۭا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ ﴿٤٩﴾ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًۭا وَإِنَـٰثًۭا ۖ وَيَجْعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٌۭ قَدِيرٌۭ ﴿٥٠﴾

Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. (QS al-Syūrā [42]: 49–50)

Maka kewajiban bagi manusia adalah ridho dan menerima dengan keputusan Allah dan meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa apa yang Allah pilihkan baginya adalah yang terbaik bagi dirinya.

Sungguh ironis bahwa ada segelintir orang yang nyeleneh (ganjil) dan memiliki kelainan merasa kurang puas dengan keputusan Allah tersebut. Mereka berusaha untuk mengubah jenis kelaminnya, entah karena merasa rendah diri dengan jenis kelaminnya, pergaulan yang salah, meniru gaya dan mode barat, kemauan hawa nafsu, kebebasan hak, atau faktor-faktor lainnya. Akibatnya, semakin banyak bermunculan manusia-manusia aneh bernama “waria” [1] yang disponsori oleh berbagai media!! Di antara para waria tersebut ada yang masih berkelamin asli dan ada yang telah mengganti kelaminnya dengan operasi.

Bagaimanakah sebenarnya pandangan agama terhadap operasi ganti kelamin seperti itu? Adakah di antara modelnya yang diperbolehkan? Tulisan singkat berikut ini merupakan sebuah upaya untuk menemukan jawabannya.

Gambaran Masalah

Maksud pembahasan ini adalah operasi kelamin yang mengubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau dari perempuan menjadi lelaki. Operasi ini terbagi menjadi dua jenis:

1.    Mengubah kelamin laki-laki menjadi perempuan, yaitu dengan menghilangkan organ kelamin yang dimiliki lelaki berupa zakar dan testis (buah zakar), lalu para dokter membuatkan rahim dan membesarkan payudaranya.

2.    Mengubah kelamin perempuan menjadi laki-laki, yaitu dengan menghilangkan dua payudaranya, dan mengangkat rahimnya, lalu membuatkan alat kelamin laki-laki baginya.

Operasi kelamin tersebut telah menyebar pada dekade terakhir di negara-negara barat. Faktor penyebabnya, para penderita penyakit ini tidak menerima dan tidak suka akan jenis kelamin yang telah ditetapkan Allah untuknya baik karena salah pendidikan dan salah pergaulan sejak kecil atau sebab-sebab lainnya.[2]

Pandangan Syariat Islam Tentang Operasi Kelamin

Syariat Islam menilai jenis operasi (ganti kelamin) ini termasuk operasi yang haram dikarenakan beberapa argumen sebagai berikut:[3]

1.    Operasi ini termasuk mengubah ciptaan Allah

Allah Taala berfirman tatkala menceritakan ucapan Iblis — semoga Allah melaknatnya:

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلْأَنْعَـٰمِ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ ٱلشَّيْطَـٰنَ وَلِيًّۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًۭا مُّبِينًۭا ﴿١١٩﴾

“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” Barang siapa yang menjadikan setan pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS al-Nisā’ [4]: 119)

Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah. Dan tidak diragukan bahwa operasi jenis kelamin termasuk mengubah ciptaan Allah.[4]

2.    Operasi termasuk larangan tasyabbuh kepada lawan jenis

Dalil larangan ini adalah hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalan Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai lelaki. (HR al-Bukhari: 4/38)

Hadis ini menunjukkan haramnya dan terlaknatnya kaum laki-laki menyerupai perempuan dan juga sebaliknya. Jenis operasi ini termasuk dosa besar[5] karena seorang laki-laki ketika meminta operasi ini bermaksud hendak menyerupai perempuan, dan begitu pula sebaliknya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Hikmah terlarangnya hal ini (menyerupai lawan jenis) adalah karena mengeluarkan sesuatu dari sifat yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Mahabijaksana. Hal ini diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang menyambung rambut palsu, ‘Wanita yang mengubah ciptaan Allah.’ ” [6]

Apa yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di atas mencakup juga masalah kita sekarang ini, karena hal ini merupakan sarana menuju keharaman. Dengan demikian maka membantunya termasuk tolong-menolong dalam dosa dan keharaman.

3.    Operasi ini mengandung pelanggaran syariat tanpa udzur

Sebab, di dalam proses operasi dokter membuka aurat laki-laki dan wanita—yang jelas diharamkan oleh syariat—padahal tidak ada kebutuhan mendesak. Dengan demikian, kita harus kembali kepada hukum asal keharamannya dan keharaman setiap sarananya.

4.    Operasi ini melawan ketentuan Allah

Persaksian para ahli kedokteran bahwa operasi tersebut tidak ada satu pun faktor pendorongnya dari segi kedokteran, kecuali hanya keinginan untuk melawan ketentuan Allah yang menetapkannya sebagai laki-laki atau wanita.[7]

5.    Operasi ini termasuk larangan mengebiri

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli fikih Hijaz dan Kufah bahwasanya mengebiri anak Adam tidak halal dan tidak boleh karena termasuk merusak.” [8] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mengebiri hukumnya haram tanpa ada perselisihan, ditambah lagi adanya beberapa bahaya seperti menyiksa diri, menghilangkan kelelakian, mengubah ciptaan Allah, kufur nikmat karena kelelakian itu adalah nikmat yang besar, kalau seandainya hal itu dihilangkan berarti menyerupai perempuan dan memiliki kekurangan.” [9]

Kalau mengebiri yang berkaitan dengan satu organ tubuh (zakar) saja diharamkan, lantas bagaimana dengan operasi yang mengubah jenis kelamin semua anggota tubuh manusia. Tentu saja hal itu lebih tidak boleh dan lebih haram hukumnya. Oleh karena itu, tidak boleh dokter atau siapa pun baik laki-laki maupun perempuan melakukan operasi ini. Wallahu A’lam.

6.    Operasi ini termasuk penipuan

Penipuan jelas diharamkan dalam Islam, sedangkan perubahan jenis kelamin termasuk penipuan yang sangat nyata. Bagaimanakah seandainya ada seorang yang ingin melamarnya padahal dia tidak tahu hakikatnya?! Apalagi wanita (pria yang berganti kelamin menjadi wanita, Red.) biasanya dalam kondisi seperti itu tidak bisa melahirkan, bukankah ini suatu penipuan?!

7.    Operasi ini membawa bahaya yang sangat banyak

Dalam ajaran Islam, kita dilarang untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain. Operasi ini dengan fakta kedokteran sangat berbahaya dan tidak memberikan manfaat. Apalagi hal itu juga akan mempersulit seseorang dalam masalah kewajiban agama, sebab dalam Islam ada beberapa kewajiban yang berbeda antara lelaki dan perempuan.

Dengan argumen-argumen di atas, operasi kelamin jenis ini tidak diragukan lagi keharamannya. Maka tidak boleh siapa pun bantu-membantu di dalamnya.

Adakah Operasi Kelamin yang Boleh?

Apa yang kami paparkan di atas adalah bagi seorang yang sehat dan jelas status kelaminnya. Namun, bagaimanakah dengan seorang yang tidak jelas kelaminnya baik dengan memiliki alat kelamin pria dan wanita sekaligus, tidak memiliki alat pria dan wanita sama sekali, dan sebagainya. Mereka dalam kitab fikih biasa disebut dengan khunsa (Arab: خنثى /khuntsā/) ‘banci’. Orang yang model seperti ini ada dua keadaan:

1.    Seorang yang memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol untuk digolongkan kepada salah satu jenis kelamin baik pria atau wanita.

2.    Seorang yang tidak memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol untuk digolongkan kepada salah satu jenis kelamin baik pria atau wanita.

Bagaimana pandangan agama terhadap dua golongan ini?! Jawabannya, melakukan operasi kelamin untuk dua golongan ini adalah boleh, berdasarkan argumen-argumen berikut:

1.    Dua macam tadi termasuk penyakit yang diperbolehkan syariat Islam untuk diobati berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menganjurkan pengobatan dan menghilangkan penyakit. Dan ini sama sekali bukanlah termasuk mengubah ciptaan Allah karena tujuannya bukanlah untuk kepentingan selera hawa nafsu melainkan untuk menghilangkan kecacatan dan mengembalikan badan kepada bentuk yang positif.

2.    Syariat Islam datang dengan membawa maslahat dan menghilangkan mudarat sebagaimana hal ini termasuk kaidah dasarnya yang sangat agung. Dan sebagaimana dimaklumi bersama bahwa membiarkan dua golongan tadi dalam penyakit mereka tanpa pengobatan berarti membiarkan mereka dalam mudarat, kesusahan, dan beban mental, sebab khunsa (banci) adalah cacat dalam pandangan manusia dan dalam hukum fikih. Oleh karena itu, para fukaha menyebutkan bahwa budak yang banci adalah cacat sehingga boleh untuk dikembalikan[10] dan mereka juga menegaskan bahwa apabila salah seorang dari pasangan suami istri terbukti banci maka boleh bagi yang lain untuk mundur dari pernikahan.[11]

3.    Syariat Islam terkadang memberikan kewajiban tertentu pada jenis kelamin tertentu, seperti mewajibkan bagi kaum lelaki untuk salat Jumat, jihad, dan sebagainya, sebagaimana mewajibkan bagi perempuan untuk berjilbab dan sebagainya. Maka orang yang khunsa akan bergantung hukumnya dan tidak jelas, berbeda halnya apabila diobati dan dipositifkan maka akan jelas perkaranya.

Namun, perlu diperhatikan bersama bahwa perbolehan operasi jenis ini terikat dengan beberapa persyaratan sebagai berikut:

1.    Adanya penelitian dari para ahli kedokteran terlebih dahulu tentang kebenaran adanya kebancian pada pasien tersebut karena bisa jadi hanya sekadar sebagai alasan saja.

2.    Operasi ini hanyalah cara satu-satunya, tidak ditemukan cara selain operasi. Jika memang ditemukan cara lain maka cara itulah yang diprioritaskan.

3.    Menurut dugaan kuat operasi ini membawa hasil yang positif sebagaimana diharapkan yaitu kejelasan status jenis kelamin pasien setelah operasi.[12]

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1.    Mengubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya adalah haram. Maka tidak boleh bagi dokter untuk membantu operasi ini.

2.    Seorang khunsa (banci) yang jenis kelaminnya ada yang lebih jelas atau tidak jelas maka boleh disempurnakan menjadi positif setelah melalui penelitian para dokter.[13]

Demikianlah pembahasan yang dapat kami utarakan. Semoga bermanfaat.

 

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Artikel www.abiubaidah.com

Daftar Referensi

1.    Al-Jirāhah al-Tajmīliyyah. Dr. Shalih bin Muhammad al-Fauzan. Dar Tadmuriyyah, KSA, cet. pertama, 1428 H.

2.    Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah. Dr. Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Maktabah Shahabah, Emirat, cet. ketiga, 1424 H.

3.    Al-Ahkām al-Thibbiyyah al-Muta’alliqah Bi al-Nisā’. Dr. Muhammad Khalid Manshur. Dar Nafais. Yordania, cet kedua 1424 H.

4.    Taghyīr Khalqillāh. Dr. Zarwati Rabih, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. pertama, 1428 H.

5.    Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. KH Ma’ruf Amin dkk. (ed), edisi ketiga, cetakan CitravisiADVERTSIGN. Jakarta 2010.



[1]     Waria (akronim): wanita pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, 2005)

[2]     Jirāhah al-Tajmīl Bayna al-Mafhūm al-Thibbiy wa al-Mumārasah karya dr. Majid Abdul Majid Thahbub hlm. 424

[3]     Disadur dari Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah hlm. 134–136, al-Ahkām al-Thibbiyyah al-Muta’alliqah Bi al-Nisā’ hlm. 203–205, al-Jirāhah al–Tajmīliyyah hlm. 537–543. Dan dalam penerjemahan ini kami dibantu oleh saudara kami, Shofwu Mikwanil Muttaqin bin Aunur Rafiq — jazāhu-Allahu khayran.

[4]     Lihat masalah ini secara luas dalam Taghyīr Khalqillah karya Dr. Zarwati Rabih.

[5]     Karena ancaman dengan laknat termasuk patokan dosa besar. (Lihat Tafsīr al-Qurthubiy: 5/160, Majmū’ al-Fatāwā karya Ibnu Taimiyah: 11/650-651, al-Kabāir karya al-Dzahabi hlm. 7)

[6]     Fath al-Bāriy karya Ibnu Hajar: 1/333

[7]     Berkata dr. Majid Abdul Majid Thahbub — setelah menjelaskan tentang alasan-alasan yang diajukan oleh orang-orang yang meminta operasi tersebut, “Tidak ada keraguan lagi bagi saya bahwa operasi tersebut hanyalah melawan ketentuan Allah yang menentukan jenis kelamin manusia.” (Jirāhah al-Tajmīl Bayna al-Mafhūm al-Thibbiy wa al-Mumārasah hlm. 424)

[8]     Tafsīr al-Qurthubiy: 5/391

[9]     Fath al-Bāriy: 9/119

[10]    Lihat Rawdhah al-Thālibīn: 3/461, al-Asybah wa al-Nazhāir hlm. 424 dan al-Mughniy: 6/236.

[11]    Lihat Mughni al-Muhtāj: 3/203, al-Mughniy: 10/59, Kasyaf al-Qanā’: 5/110!

[12]    Lihat al-Jirāhah al-Tajmīliyyah hlm. 544–564 dan al-Ahkām al-Thibbiyyah hlm. 207–208!

[13]    Kesimpulan ini merupakan fatwa MUI pada 12 Rajab 1400 H sebagaimana dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 561, keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islāmiy di Mekah, 13–20/7/1409 H, keputusan Dar al-Iftā’ al-Mishriyyah, dan keputusan muktamar Islam tentang kedokteran 20/8/1407 H.