Semakin mendekati akhir zaman, peralatan medis semakin canggih, permasalahan pun menjadi kian berkembang dan semakin kompleks. Pertanyaan seputar “pembatal puasa” masih saja bermunculan, terutama berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang belum pernah ada zaman dahulu. Pada edisi kali ini, dengan izin Alloh, kami melanjutkan pembahasan bagian kedua, melanjutkan pembahasan yang telah kami sampaikan pada edisi yang telah lalu.[2] Di antara permasalahan-permasalahan yang perlu kita ketahui hukumnya bagi orang yang berpuasa adalah:

1.   منظار المعدة (Endoscopy)

Endoscopy adalah suatu alat medis yang dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, terus ke lambung dan alat pencernaan, berfungsi untuk melihat kondisi dalam perut seperti luka-luka dan semisalnya, atau berfungsi untuk membantu mengeluarkan sesuatu dari dalam perut atau tujuan lainnya.[3]

Pendekatan Masalah

Ini adalah permasalahan yang tidak pernah dibahas pada zaman dahulu. Para ulama masa kini, sebelum menghukumi masalah ini, mereka membahas permasalahan yang mendekatinya, yaitu apakah memasukkan sesuatu apa pun ke dalam rongga termasuk pembatal puasa, walaupun sesuatu itu bukan makanan atau minuman?

Hukumnya

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.[4]

  • Pendapat pertama. Mayoritas para ulama berpendapat bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga manusia, bukan berupa makanan dan minuman[5], membatalkan puasa. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah[6], madzhab Malik, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali.[7]

Dalilnya, menurut mereka, pendapat ini didasari oleh hadits Nabi n\, beliau memerintahkan orang berpuasa supaya menghindari celak mata (HR. Abu Dawud 1/724), dan mereka memberi alasan bahwa celak mata akan masuk ke dalam rongga sehingga batal puasanya padahal celak mata bukan makanan dan bukan pula minuman.[8]

  • Pendapat kedua. Segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga manusia, jika bukan makanan atau minuman, tidak membatalkan puasa karena tidak dapat diqiyaskan kepada keduanya. Ini adalah pendapat al-Hasan bin Sholih, madzhab sebagian ulama Malikiyyah[9], dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[10]

Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, yaitu sesuatu (bukan makanan dan minuman) yang dimasukkan ke dalam rongga orang yang berpuasa tidak membatalkan puasa, dan pendapat ini dikuatkan oleh beberapa perkara, di antaranya:

  • Yang dimaksudkan memasukkan sesuatu ke dalam perut yang membatalkan puasa adalah makanan atau minuman, karena inilah yang ma’ruf (yang dipahami oleh manusia), bukan besi, batu, tanah, dan lainnya.[11]
  • Alloh melarang seorang yang berpuasa untuk makan dan minum bukan hanya karena masuknya makanan dan minuman itu ke rongganya, melainkan untuk menguji ketaqwaannya dan karena makanan itu mengenyangkan.[12]
  • Adapun hadits yang disebutkan, maka hadits itu adalah hadits dho’if (lemah) karena dalam sanadnya ada Abdurrohman bin Nu’man, perowi lemah—sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Ma’in—dan ditambah lagi ada perowi ayahnya Nu’man, dia perowi yang majhul (tidak dikenal) — sebagaimana dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi. (Lihat Silsilah Dho’ifah oleh al-Albani No. 1014)

Kesimpulan Tentang منظار المعدة (Endoscopy)

Sebagaimana keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa alat seperti ini hukum asalnya tidak membatalkan puasa, karena memasukkan alat ini ke dalam rongga bukan termasuk salah satu pembatal puasa, bukan termasuk makan dan minum, dan tidak bisa diqiyaskan kepada keduanya.[13]

Catatan

Akan tetapi, jika memasukkan alat ini ke dalam rongga disertai dengan bahan-bahan cair untuk mempermudah masuknya alat ini, maka yang demikian ini membatalkan puasa. Penyebab batalnya puasa adalah masuknya benda cair itu, bukan karena masuknya alat tersebut.[14]

2.   التخدير الموضعي (Bius Lokal)

Yaitu pembiusan pada bagian tubuh tertentu dengan suntikan obat yang dimasukkan ke bawah kulit sehingga sekitar bagian tubuh tersebut tidak akan merasakan sakit jika dibedah atau dioperasi, dan dia masih sadar ingatannya.[15]

Hukumnya

Bius lokal tidak membatalkan puasa. Alasannya, karena bius lokal sekadar memasukkan sedikit obat penghilang rasa sakit ke bawah kulit, tidak masuk ke dalam rongga, maka ini sama dengan hukum jarum suntik (الإبر العلاجية) yang tidak membatalkan puasa, karena ia bukan termasuk makanan, bukan minuman, tidak menggantikan keduanya, dan tidak bisa diqiyaskan kepada keduanya.[16]

3.   الكلي التخدير (Bius Total)

Yaitu pembiusan yang dilakukan dengan menghilangkan kesadaran secara keseluruhan untuk kepentingan medis, seperti pembedahan atau operasi.

Hukumnya

Para ulama masa kini berbeda pendapat tentang masalah ini, sebagaimana para ulama dahulu berbeda pendapat tentang hukum seorang yang berpuasa lalu kehilangan kesadarannya/pingsan.

Seorang yang kehilangan kesadarannya tidak lepas dari dua kemungkinan:

  • Kemungkinan pertama, hilang kesadaran sehari penuh (dari subuh sampai maghrib); maka jumhur ulama, di antaranya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, mengatakan bahwa puasa orang seperti ini batal[17]. Dalilnya, Sabda Nabi n\ dalam hadits qudsi tentang pahala puasa:

الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي

“Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang membalasnya, (berpuasa itu) meninggalkan hawa nafsu, makan dan minum hanya karena Aku.” (HR. Bukhori: 6938 dan Muslim: 1945)

Keterangan. Alloh menyandarkan “keharusan menahan hawa nafsu, makan, dan minum” pada orang yang sedang berpuasa, sedangkan seorang yang tidak sadar dari subuh sampai maghrib tidaklah menahan dirinya dari hal itu, maka dia sama dengan tidak berpuasa.

Sedangkan ulama madzhab Hanafi dan al-Muzani dari kalangan ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa puasanya sah,[18] dengan alasan karena dia telah meniatkannya; maka hukumnya sama dengan tidur. Akan tetapi, pendapat jumhur lebih kuat karena tidak sama antara tidur dengan orang yang kehilangan kesadarannya satu hari penuh. Orang yang tidur bisa dibangunkan kapan saja, berbeda dengan orang yang kehilangan kesadaran. Demikian pula, karena jika seseorang sekadar berniat lalu kehilangan kesadarannya (belum menahan diri dari pembatal-pembatal puasa sehari penuh), maka belum dikatakan berpuasa.[19]

  • Kemungkinan kedua, hilang kesadaran tetapi tidak sehari penuh (ada waktu sadar antara subuh sampai maghrib), maka di sinilah permasalahan yang banyak diperdebatkan para ulama.

−     Pendapat pertama. Puasanya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik.[20]

−     Pendapat kedua. Jika sempat sadar sebelum tergelincir matahari, lalu dia memperbarui niatnya, maka puasanya sah. Namun, jika sadarnya setelah tergelincirnya matahari maka puasanya batal. Akan tetapi, perincian seperti ini tidak terdapat dalil yang kuat. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah.[21]

−     Pendapat ketiga. Inilah pendapat yang terkuat, seorang yang berpuasa lalu hilang kesadaran tetapi tidak sehari penuh (ada waktu sadar antara subuh sampai maghrib), maka puasanya sah secara mutlak. Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad dan Imam Syafi’i.[22]

Hal ini dikuatkan karena orang seperti ini telah melakukan puasa yang disebutkan Nabi n\, yaitu “(berpuasa itu) meninggalkan hawa nafsu, makan dan minum serta pembatal yang lain”, dan dia telah melakukannya dengan sengaja (sadar) walaupun sesaat.[23]

Kesimpulan Hukum Bius Total Dalam Berpuasa

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa bius total yang menghilangkan kesadaran sehari penuh (dari subuh sampai maghrib) membatalkan puasa. Akan tetapi, jika tidak menghilangkan kesadaran sehari penuh (ada waktu sadar antara subuh sampai maghrib) maka tidak membatalkan puasa.

4.   Cuci Darah

Yaitu proses pencucian darah dengan menggunakan suatu alat medis, dan dilakukan dengan dua cara:

  • Pertama, menggunakan alat medis yang menyerap seluruh darah pasien, lalu alat ini bekerja membersihkan darah dari kotoran yang membahayakan, kemudian dikembalikan ke tubuhnya melalui urat leher.[24]
  • Kedua, cara lain digunakan dengan memasukkan alat seperti pipa ke dinding perut di atas pusar, lalu dimasukkan melalui alat ini ke dalam perutnya sekitar dua liter zat cair yang memiliki kadar glukosa sangat tinggi, lalu sementara didiamkan, kemudian ditarik kembali dan demikian diulang beberapa kali dalam satu hari sampai darah pasien bersih dari penyakit-penyakit yang mengganggu.[25]

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

  • Pendapat pertama, tidak membatalkan puasa. Mereka melandasi pendapatnya dengan tidak adanya dalil yang gamblang dan tidak dapat diqiyaskan dengan pembatal-pembatal yang jelas. Ini adalah pendapat Dr. Muhammad al-Khoyyath.[26]
  • Pendapat kedua, cuci darah membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Syaikh bin Baz dalam salah satu fatwanya[27], Syaikh Ibnu Utsaimin[28], Dr. Wahbah az-Zuhaili[29], dan keputusan Fatwa Lajnah Da‘imah.[30]

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua yaitu cuci darah membatalkan puasa, dengan alasan bahwa cuci darah mengharuskan adanya tambahan darah segar, bahkan ditambahkan pula bahan- bahan kimia yang dapat menggantikan makanan dan minuman. Akan tetapi, jika dalam cuci darah tidak ditambahkan hal lain kecuali cuci darah itu sendiri, maka tidak membatalkan puasa.[31]

Inilah yang dapat kami himpun dari beberapa permasalahan baru dalam hal pembatal puasa, mudah- mudahan pada kesempatan lain kami dapat melanjutkan pembahasan berikutnya, dan mudah- mudahan bermanfaat. Amiin.



[1]               Perhatian! Yang kami maksudkan di sini adalah perkara-perkara yang ada di zaman modern, tetapi belum tentu ia merupakan pembatal. Akan tetapi, kami bahas di sini untuk mengetahui hukum yang sebenarnya apakah ia pembatal puasa atau bukan. Sebagaimana pembahasan bagian pertama dahulu, kami sarikan pembahasan ini dari sebuah risalah berjudul Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh karya Dr. Ahmad bin Muhammad al-Kholil, cet. Dar Ibnul Jauzi, 1426 H, dan kami tambahkan dari referensi penting lainnya, semoga bermanfaat.

[2]               Yaitu pembahasan “Pembatal-pembatal puasa di zaman modern”, yang dimuat sekitar empat tahun yang lalu (Edisi Khusus, Bulan Romadhon/Syawwal 1427 (Oktober/November 2006)).

[3]               Lihat al-Mufaththiroth al-Mu’ashiroh hlm. 4 karya Syaikh Dr. Kholid al-Musyaiqoh, dan Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 39.

[4]               Penyebab perselisihan ini adalah sebagian ulama menyamakan sesuatu yang masuk ke dalam perut antara makanan atau minuman dengan sesuatu yang bukan makanan atau minuman. (Lihat perkataan ini oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid 2/153)

[5]               Sebagai contoh, seandainya seseorang yang berpuasa menelan sepotong besi atau sebutir kerikil, maka batal-lah puasanya.

[6]               Hanya, madzhab Abu Hanifah mensyaratkan untuk batalnya puasa itu jika sesuatu yang masuk ke dalam rongga itu benar-benar masuk dengan sempurna, tidak ada yang tersisa sebagiannya di luar atau tidak dikeluarkan kembali sesuatu itu. (Lihat Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 41)

[7]               Lihat Tabyinul Haqo‘iq 1/326 az-Zaila’i, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 6/317, asy-Syarhul Kabir 7/410, Syarhul Zarqoni ’alal Kholil 1/207, Bidayatul Mujtahid 2/153, dan Syarh Muntahal Irodat 1/448.

[8]               Lihat Syarhul Umdah oleh Syaikhul Islam 1/385.

[9]               Lihat al-Furu’ 3/46.

[10]             Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/528.

[11]             Lihat Mu’jam Maqoyis al-Lughoh 1/122 dan Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 45.

[12]             Lihat Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 44.

[13]             Inilah pendapat Syaikh Muhammad Bakhit (lihat ad-Din al-Kholish 8/457), dan Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumthi’ 6/383.

[14]             Demikianlah yang diingatkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumthi’ 6/383.

[15]             Lihat al-Mufaththiroth al-Mu’ashiroh hlm. 52–53.

[16]             Demikian dikatakan para ulama masa kini seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu Bakhith, Syaikh Muhammad Saltut, Dr. Fadhl Muhammad Abbas, dan keputusan Majma’ al-Fiqhi; dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat bahwa “sekadar jarum suntik tidak membatalkan puasa”. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah Syaikh Ibnu Baz 15/257, Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/220–221, ad-Din al-Kholish 8/457, al-Fatawa hlm. 136, at-Tibyan wal Ithof hlm. 109, Majalah al-Majma’ th. ke-10 hlm. 464, al-Mufaththiroth al-Mu’ashiroh hlm. 7, dan Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 52.

[17]             Lihat Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 53.

[18]             Lihat pendapat seperti ini dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 6/345 dan al-Mughni 3/343.

[19]             Lihat Syarh az-Zarqoni ’ala Kholil 1/203 dan Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 53–54.

[20]             Lihat al-Mufaththiroth al-Mu’ashiroh hlm. 8.

[21]             Lihat al-Fatawa al-Hoindiyah 1/197, al-Mufaththiroth al-Mu’ashiroh hlm. 8, dan Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 54.

[22]             Lihat al-Mughni 3/343 dan Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 54.

[23]             Lihat Syarhul Umdah kitab ash-Shiyam 1/47 dan Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 54–55.

[24]             Lihat Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 72.

[25]             Ibid.

[26]             Lihat Majalah al-Majma’ al-Fiqhi th. ke-10, 2/290, Mufathirot ash-Shiyam al-Mu’ashiroh hlm. 73, dan al-Mufaththiroth al-Mu’ashiroh hlm. 8.

[27]             Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah Syaikh Ibnu Baz 15/275.

[28]             Lihat Liqo‘ al-Bab al-Maftuh 10/188.

[29]             Lihat Majalah al-Majma’ al-Fiqhi th. ke-10, 2/378.

[30]             Fatwa No. 5693, tgl. 27-8-1406 H

[31]             Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah Syaikh Ibnu Baz 15/275.