Kedustaan Ibnu Bathuthoh  Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Kisahnya

Seorang pelancong yang bernama Ibnu Bathutah pernah bercerita dalam Rihlahnya hal. 112-113: “Dahulu di Damaskus ada seorang tokoh ulama besar dari kalangan Hanabilah, dia pandai berbicara dalam setiap bidang. Namun pada otaknya ada sesuatu yang tidak beres. Penduduk Damaskus sangat mengagungkannya… hingga ceritanya: “Saya pernah menghadiri ceramahnya pada hari jum’at ketika dia sedang memberi pelajaran di hadapan umum di atas mimbar Jami’. Banyak pelajaran yang disampaikannya saat itu, diantaranya dia berkata: “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia serupa dengan turun saya ini”. Lalu dia turun satu tingkat di jenjang mimbar. Melihat hal itu, seorang ulama ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Zahra’ membantah dan mengingkarinya. Tetapi orang-orang langsung bangkit pada orang tersebut (Ibnu Zahra) dan memukulinya dengan tangan dan sandal dengan pukulan yang bertubi-tubi hingga sorbannya jatuh”.

 Kisah Dusta

Kisah ini banyak dibawakan oleh para pencela Ibnu Taimiyyah seperti KH. Sirajuddin Abbas dalam buku I’tiqod Ahlu Sunnah wal Jamaah hal. 268 dan bukunya 40 Masalah Agama 2/215-217.

Kedustaan kisah ini sangat nyata sekali bagi orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah untuk menerima kebenaran. Hal itu ditinjau dari beberapa segi:

Pertama: Kisah ini hanya dinukil oleh Ibnu Bathuthah saja. Sungguh suatu hal yang sangat aneh. Bukankah yang hadir di majlis saat itu adalah orang banyak? Lantas mengapa para murid beliau tidak menukilnya?! Bahkan, mengapa para musuh beliau juga tidak ada yang menukilnya?!

Kedua: Madzhab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang masalah nuzul (turunnya Allah ke langit dunia) sangat jelas dan gamblang, beliau berkata: “Demikian juga apabila ada seseorang yang menyerupakan sifat-sifat Allah serupa dengan sifat makhluk-Nya, seperti mengatakan: Istiwa” Allah serupa dengan istiwa” makhluk-Nya atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka orang ini mubtadi” (ahli bid”ah), sesat dan menyesatkan. Karena Al-Qur”an dan As-Sunnah serta akal menunjukkan bahwa Allah tidak serupa dengan makhlukNya dalam segala segi”. [1]

Beliau juga berkata setelah membawakan hadits turunnya Allah ke langit dunia: “Para salaf, para imam, dan para ahlu ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar, tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits yang sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf meyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”.[2]

Ketiga: Ibnu Bathutah secara jelas menceritakan dalam Rihlahnya 1/102 bahwa dia memasuki kota Damaskus pada tanggal 9 Ramadhan 728 H, padahal Syaikhul Islam pada waktu itu berada dalam penjara, karena beliau masuk penjara pada tanggal 6 Sya’ban 728 H dan beliau tidak pernah keluar penjara hingga hari wafatnya yaitu pada tanggal 20 Dzul Qo’dah 728 H.[3]

Lantas,  bagaimana mungkin Ibnu Bathutah melihatnya sedangkan saat itu Ibnu Taimiyyah sudah 33 hari berada di penjara?! Apakah mimbarnya bisa pindah di penjara saat itu?! Sungguh ini merupakan kedustaan atas Ibnu Taimiyyah dan masih banyak lagi kebohongan-kebohongan terhadap beliau sehingga benarlah apa yang beliau katakan: “Saya tahu bahwa ada suatu kaum yang berdusta atas nama saya sebagaimana seringkali mereka berdusta kepadaku” . [4]

(Dinukil dari kitab penulis “Waspada Terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata” dan “Membela Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari Kebohongan”).

[1]  Majmu’ Fatawa 5/252.

[2])  Syarah Hadits Nuzul Hal. 69-70.

[3] Demikian diceritakan oleh murid-muridnya, orang yang paling tahu tentang perjalanan beliau seperti Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Badayah wa Nihayah 14/135 dan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Thabaqatul Hanabilah 2/405.

[4] Sebagaimana dinukil oleh muridnya Ibnu Abdil Hadi dalam Al-Uqud Ad-Durriyyah hal. 209. Lihat At-Tashfiyah wa Tarbiyah hal. 68-69 oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dan Qhashashun La Tatsbutu hal. 66-69 oleh Syaikh Yusuf Al-‘Atiq.