Kajian Umum: Hakikat Perayaan Maulid Nabi
Hadirilah Kajian Umum bersama Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi, dengan informasi sebagai berikut:
- Tema: Hakikat Perayaan Maulid Nabi
- Hari, Tanggal: Ahad, 14 Februari 2010
- Waktu: 08.00-12.00 WIB
- Tempat: Masjid Ma’had Al-Ukhuwah, 200 meter selatan alun-alun kota Sukoharjo.
Penyelenggara: Radio Suara Qur’an 94.4 FM
Informasi: 085.293.155.252
—administrator—
Setelah kita membaca dalil-dalil diperbolehkannya tawassul/tabarruk kepada Nabi saw., para sahabat dan kaum sholihin, marilah kita sekarang meneliti makna dan hikmah peringatan maulidin Nabi saw. (peringatan kelahiran Nabi saw.) dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya. Menurut riwayat pertama kali yang mengadakan acara peringatan-peringatan hari kelahiran dan kewafatan adalah pada pertengahan abad kedua tahun Hijriyah pada zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa Al-Kadhim dan diteruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat Hijriyah. Mereka memperingati hari kelahiran dan kewafatan Nabi saw., Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah ra., Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu Thalib r.a dan orang-orang sholeh lainnya.
Mengapa Kita Memperingati Maulid Nabi SAW?
Dalam sudut pandang yang proporsional, Dr. Muhammad Alawi Al Maliki Al Hasani, seorang ahli fiqh bermazhab Maliki, memandang bolehnya memperingati maulid Nabi saw. dengan diisi kegiatan yang bertujuan mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi saw. dan memperdengarkan pujian-pujian terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan, menyenangkan dan memberi kegembiraan terhadap umat Islam. Tetapi beliau menekankan jangan ada pengkhususan peringatan pada malam hari tertentu, karena itu termasuk katagori bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Itulah kenapa di Indonesia acara ini masih terus bergema hingga 3 bulan berikutnya.
Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan hari kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah pada hari itu, atas nikmat diciptakan dirinya di muka bumi dengan membawa misi rahamatan lil’alalmin, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari Senin dalam setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, (ذلك يوم فيه ولدت). “Itu hari, saya dilahirkan.”
Terkait argumentasi bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melaksanakan maulid, Dr Muhammad Alawi Al Hasani mengatakan: “Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh generasi awal Islam, tidak otomatis menjadi bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Justru perlu dikembalikan kepada persoalan aslinya, yaitu sesuatu yang membawa mashlahat secara syar’i menjadi wajib hukumnya, sebaliknya sesuatu yang menjerumuskan kepada haram, maka hukumnya haram.”
Menurut padangan Dr. Muhammad Alawi Al Hasani, jika memperingati maulid Nabi membawa mashlahat secara syar’i, maka hukumnya dianjurkan, karena di dalamnya ada kegiatan dzikir, sedekah, memuji Rasul (dalam acara Maulid kaum muslimin banyak bershalawat kepada Nabi Saw), memberi makan fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang diperbolehkan karena membawa manfaat. Wallhu a’lam.
Saya ingin tahu, adakah dalil shahih dari Rasulullah dan para sahabat bahwa mereka merayakan hari ultah (maulid) Rasulullah?
Tolong jgn mengalihkan dengan perkataan ulama ini itu, tolong sebutkan dalil shahihnya saja bahwa para sahabat merayakan maulid Rasulullah.
Kalaulah dalil puasa senin kamis spt yg disebutkan pada komen diatas dijadikan dalil untuk memperingati maulid, maka seharusnya peringatan maulid diadakan setiap hari senin dong, bukan tiap tahun. Bagaimana ini ya akhi?
Dari hamba yg masih ingin belajar.
Rasulullah mengagungkan hari kelahirannya, bukan tanggal kelahirannya.
jika para sahabat tidak menjadikan hadits Rosululloh bersyukur di hari kelahirannya dengan berpuasa sebagai dalil mengadakan acara maulid, maka kita juga tidak boleh berdalil dengannya untuk mengadakan acara tersebut.
maulid merupakan amalan yang diada adakan dalam agama ini.ia bukanlah bagian dari agama islam.tapi ana mau tanya,bolehkah kami para pelajar menghadiri acara maulid sekolah?sebab para guru mewajibkan untuk ikut dalam acara ini.mohon nasehaynya.
untuk saudara ‘Hamba yg dhoif” para ulama jelas jauh lebih mengerti & faham dalam hal mengambil dalil daripada anda yang mengatakan “Kalaulah dalil puasa senin kamis spt yg disebutkan pada komen diatas dijadikan dalil untuk memperingati maulid, maka seharusnya peringatan maulid diadakan setiap hari senin dong, bukan tiap tahun.” dan para ulama yang membolehkan memperingati maulid nabi Muhammad SAW itu banyak sekali jumlahnya dan mereka adalah orang – orang yang jauh lebih faham dan mengerti tentang agama daripada kita/anda yang bodoh.
Mas Abdurrahman, syukron…tolong baca komen saya pada paragraf yg akhir…”Dari hamba yg masih ingin belajar.”
Jadi, tolonglah aku yg dhoif ini dijelaskan adakah dalil hadits dan atsar yg shahih bahwa Nabi dan para sahabatnya merayakan hari kelahiran Nabi?
Terima kasih
Assalamu’alaykum , ustadz tolong di telaah buku dari tim basail nu jember yang berjudul : membantah kebohongan buku mantan kyai nu, di buku ditulis dalil2 tawasul dibolehkan dengan orang mati, karena sy baca disana kebanyakan ditulis derajat hasan, apa memang benar takwil hadisnya seperti itu sesuai pandangan ulama ahlussunnah wal jamaah
@ Umar
>>> Mudah-mudahan Ustadz Abu Ubaidah memiliki kelonggaran waktu untuk membahas saran Anda tersebut.
>>> Namun, -sekadar informasi-, yang kami ketahui bahwa Bapak Ustadz Mahrus Ali -hafizhohullah- sudah menyusun counter balik untuk buku tersebut. Kita tunggu saja waktu terbitnya.
Mudah-mudan Allah membimbing segenap kaum muslimin.
tolong kalo tidak menguasai masalah tidak asal komen,
seperti contoh:
-hamba yg dhoif said
“Saya ingin tahu, adakah dalil shahih dari Rasulullah dan para sahabat bahwa mereka merayakan hari ultah (maulid) Rasulullah?”
dijawab :
-abdurrahman said
“para ulama yang membolehkan memperingati maulid nabi Muhammad SAW itu banyak sekali jumlahnya dan mereka adalah orang – orang yang jauh lebih faham dan mengerti tentang agama daripada kita/anda yang bodoh.”
Terimakasih
@ Al Akh Ibrahim: na’am…ana setuju. setahu ana yang awwam ini, sebagai seorang muslim, jika kita ditanya tentang landasan amal yang kita kerjakan, kita harus menyebutkan Al Quran dan As Sunnah, bukan perkataan si fulan bin fulan.
kalaulah al akh abrurrahman mengatakan: “para ulama yang membolehkan memperingati maulid nabi Muhammad SAW itu banyak sekali jumlahnya dan mereka adalah orang – orang yang jauh lebih faham dan mengerti tentang agama daripada kita/anda yang bodoh.”, maka kita jawab, bukankah ada juga (mekipun sedikit) ulama yang mengharamkannya. kenapa kita tidak mengambil pendapat mereka, karena boleh jadi pendapat yang ditinggalkannya ini lebih mencocoki As Sunnah. apakah al akh Abdurrahman menganggap ulama yang mengharamkan perayaan maulid nabi itu orang2 yang bodoh???
@Al Akh Abi Ihsan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
apa yang menghalangi para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in untuk mengadakan acara perayaan maulid nabi? jika tidak ada dan mereka tidak mengerjakannya, maka itu bukan maslahat. itulah timbangannya apakah sesuatu itu maslahat atau bukan.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqoroh [2]:216)
Na’am akhi2 sekalian. Jadi, bagaimana ini akhi abdurrahman dan akhi abi ihsan? Adakah dalil langsung yg shahih dari Rasulullah dan para sahabat lalu para tabi’in bahwa mereka merayakan maulid Nabi?
Aku yg dho’if ini sedang menunggu jawaban.
Yang menurut manusia itu baik ( contoh : perayaan maulid ) belum tentu baik menurut Alloh. Padahal pada saat itu ( Nabi dan para sahabat ) ada pendorong dan tidak ada penghalang untuk merayakan maulid, akan tetapi mereka tidak melakukannya , kenapa? karena Alloh tidak mensyariatkannya. Kalaulah hal itu baik tentu mereka ( salaf shalih ) sudah mendahului kita.
Temukan aku di Facebook. abufairouz@rocketmail.com
Sangat banyak kalangan muslimin akhir2 ini yg tidak memahami apa itu dalil. Minta dalil sana sini, tapi dia tidak tau bagaimana beristidlal.
Jadi, bagaimana akhi ashfi…adakah dalil dari Rasulullah dan para salafus sholeh bahwa mereka merayakan maulid?
Aku yg dho’if ini tidak bisa beristidlal, jadi tolong dijelaskan…
makanya jangan belajar ma buku sama aja belajar ama setan,,,,maulid bid’ah?tanya aja ama ulama2 non wahabi,,pasti jawabannya boleh karena mereka mendapatkan langsung dari guru,,gurunya berguru kepada guru, dan sanadnya bisa ditelusuri.kalo tanya ma ustad wahabi,jawabnya bid’ah,karena sanadnya hanya buku dan sanadnya hanya pustaka yang mentok pada ulama2 tertentu aja yang sejalur ma faham wahabi,dan parahnya lagi,kadang suka menukil2 sekehendak hati……waduh……………..parah
Anda tidak menjawab esensi permasalahan…
Yg ditanyakan adakah dalil shahih dari Rasulullah bahwa kita diperintahkan untuk merayakan maulid Rasul??? Untuk merayakan hari kelahiran beliau??? Bukan dalil dari para ulama. Maaf, kita kesampingkan dulu pendapat para ulama ya akh, klo ditanya dalil dari para ulama tentu banyak dari mereka yg membolehkan maulid, namun disini esensi permasalahan kita persempit dahulu menjadi : adakah dalil shahih dari perbuatan Rasulullah dan para sahabatnya bahwa mereka merayakan maulid Nabi???
Ayo, buktikan kapasitas keilmuan anda, katanya punya sanad guru yg bersambung sampai Ja’far Ash-shoddiq hingga Rasulullah. Jgn bisanya hanya berbicara sanad guru tp anehnya komennya mutaaar muteer hanya seputar wahabi, ga nyambung ama artikel. Apakah guru2 anda hanya mengajarkan bagaimana mencela wahabi???
kaum wahabi emang suka memelintirkan pendapat dari para ulama,,mereka mengesampingkan karena mereka menggali ayat2 sesuai dengan kehendak hati mereka secara lahiriah saja.Ya,,wahabi emang patut dicela,karena mereka banyak meresahkan masyarakat,terutama yang ada di indonesia yang sebagian besar menganut faham asya’ari
minta dalil tauhid dibagi 3 donk….bukankah itu bid’ah.ckckckkkkkkk
kalo anda minta dalil maulid,,saya minta juga dalil mengenai dibukukannya al-qur;an,hadis dan buku2 yang anda pelajari.apakah ada?atau anda katakan semua itu bid’ah,,kata2 yang sering kaum anda lontarkan
si kuya emang kuya itu, gak usah diladenin paling-paling gak lulus SD orangnya. Komentarnya die di postingan mana saja kagak pernah nyambung.
Satu pantun buat die …
Jaka sembung bawa golok
…..
Dalil tauhid uluhiyah :
-Allah berfirman : “Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
-Allah berfirman: “Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
-Allah berfirman: “Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
-Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Musa telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Al Mubarak telah mengkhabarkan kepada kami Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahi’ah dari Qais bin Al Hajjaj berkata, dan telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman telah mengkhabarkan kepada kami Abu Al Walid telah menceritakan kepada kami Laits bin Sa’ad telah menceritakan kepadaku Qais bin Al Hajjaj -artinya sama- dari Hanasy Ash Shan’ani dari Ibnu Abbas berkata: Aku pernah berada di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada suatu hari, beliau bersabda: “Hai nak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat; jagalah Allah niscaya Ia menjagamu, jagalah Allah niscaya kau menemui-Nya dihadapanmu, bila kau meminta, mintalah pada Allah dan bila kau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. (HR Tirmidzi no. 2440 dengan sanad shahih dan diriwayatkan dari beberapa jalan, kesemuanya bersumber dari Abdullah bin Abbas).
Dalil tauhid rububiyah :
-Allah berfirman : ’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
-Allah berfirman : “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. (QS Al Baqoroh ayat 131)
-Allah berfirman : “Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.”
(QS Ali Imron ayat 51).
-Allah berfirman : “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al An’aam ayat 162)
Dalil tauhid asma’ wa shifaat :
-Allah berfirman : “Hanya milik Allah asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al A’raaf ayat 180).
-Allah berfirman : “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS Al Isroo’ ayat 110)
-Allah berfirman : “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hasyr ayat 24).
Saya sudah berbaik hati menyampaikan dalil2 tauhid. Sok atuh, kita kembali pada esensi permasalahan kita, yaitu Maulid. Jgn lari2 ke masalah pembagian tauhid menjadi 3. Dan saya harap jgn lari2 lg ke masalah lain. Klo anda masih mutar muter ga jelas, yah mungkin hanya sampai disitulah hujjah anda yg ga keruan.
doif,,yang saya tanya pembagian tauhidnya,,bukan dalilnya.dalil itu emang dipake untuk mengtauhidkan Allah,bukan membagi tauhid menjadi 3 bagian.
Belajar copy paste dari situs wahabi nih yehhhhh
Ane bukan ahli hujjah,karena bagi saya apa yang saya pelajari bener setidaknya menurut ajaran yang engkong gue pegang,engkong-engkongnya gue,engkong2nya gue lagi.
Wahabi emang kayak gitu kelakuannya,,,ih..akut letularan virus yang namanya wahabi…tanduk setan dari nejb
tanduk setan dari nejb?
itu sih dalil mengesakan allah ta’ala,bukan dalil tauhid dibagi 3..aya-aya wae..itumah klaim wahabi aja ckckkk..takut ketularab virus wahabi,,,,,,,,
tukang membid’ahkan sesuatu,,seperti maulid,tawasul,tabaruk,dll..itu sama aja menggurui ulama salaf sendiri.makanya coy,belajar jangan ama buku tanpa guru,apalagi belajar via web.mendingan ngaji iqro aja,cara sholat yang bener,pelajari al-quran dan hadist dengan baik dan benar jangan setengah2.ok cuy
Terima kasih atas sarannya, namun saya sarankan jg pada antum ya untuk menguasai inti dari diskusi. Beginikah yg diajarkan guru antum yg katanya mempunyai sanad guru hingga ke Rasulullah??? Kok bisanya cuma muter2 ga jelas menjelek2an wahabi? apa guru2 antum itu tidak punya ajaran lain selain menjelekkan wahabi??? Malu sama sanad cuy…Katanya hafal 300rb hadits tp bisanya cuma menjelek2an org lain???
Hehehe maaf ya cuy, saya tidak ingin berdiskusi dengan org bodoh yg sukanya hanya muter2 tidak menjawab inti diskusi…selamat tinggal dan silahkan tenggelam didalam umpatan2 antum sendiri….Tolong antum belajar lagi akidah dan adab ama penghafal 300rb hadits itu yah…
Wallahul Musta’an
*Beginilah contoh fanatiker habaib dalam berdiskusi dengan saudaranya sesama muslim, ikhwan2 sekalian bisa liat dari etikanya dalam berkomentar. Ditanya mana dalil shahihnya dari Rasulullah dan para sahabat, tetapi omongannya lg2 wahabi…*
Bung hamba, sepertinya bung baru tahu ya, memang seperti itulah mereka. Diajak diskusi cuma muter muter. Habis itu cuma mencaci maki wahhabi. Heran katanya berguru pada guru yang bersanat sampe Rasulullah, tapi kok akhlaknya cuma caci maki sesama Muslim ya??? Dalam diskusi, biasanya mereka comot satu dalil habis itu diceritain panjang lebar pake pemahaman sendiri. Bacanya aja udah mumet.
Kemudian sukanya bangga banggain sanat sang guru. Sungguh telah terjadi pembodohan tentang agama di negeri ini. Agama itu ilmu, gak cuma cuma ngaku sanat ini sanat itu. Capek ulama terdahulu menyusun kitap untuk dibaca, dipelajari Dan diajarkan. Ini malah dibikin dokrin yang ngajar hanya yang punya sanat saja. Entah iya punya sanat apa tidak, ibadah saja bid’ah, sanat apa an tuh…
Buat Kuya: ini perkataan Ulama’ tentang maulid yang anda minta, selamat membaca. kalau anda meresa bangga dengan paham asya’iroh, maka kami sangat berbangga dengan ittiba’ kepada Rosululloh Shallallahu ‘alaihi Wasalam.
[1]. Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya “Iqtidlous Sirotul Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim”, hal: 295 tentang Maulid Nabawy: “Tidak pernah dilakukan oleh as-salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf (ulama terdahulu) -semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama terdahulu dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan”. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab “Al Fatawa Al Misriyah” 1/312.
[2]. Pernyataan Al- Allamah Al- Imam As Syaikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid”.
[3]. Beberapa ulama berpegangan dengan pernyataan Al-Fakihany dalam bukunya ini, diantaranya :
[a]. Al Maliky dalam Hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor As-Syaikh Kholil Al- Maliky”, 7/168, dalam pembahasan Al-Washiyah, beliau menyatakan: “Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al-Fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.
[b]. Dan diantara mereka Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik”, 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata “Kalau Allah menyembuhkan sapi-ku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan : “Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rosulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disunnahkan”.
[4]. Ungkapkan pengarang kitab “Al Mi’yar Al Maqhrib” dalam nukilannya terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib “Ustadz Abu Abdillah Al-Hiar” terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang seseorang yang mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian orang tersebut meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?, berdasarkan apa yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam tersebut adalah Bid’ah, mewakafkan pohon tersebut adalah satu sebab masih berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut dalam agama, kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di zamannya dilakukan dengan tatacara kaum fakir(), sebagai mana dalam ungkapan beliau: “cara-cara mereka pada saat ini telah mencemari agama, karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya menyanyi dan bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah, sedangkan kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara mereka banyak yang tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan kepadanya dalam sehari-hari, sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan untuk menyesatkan orang awam kaum muslimin, dengan menghiasi kebatilan kepada mereka, mereka telah memasukan kedalam agama Allah sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi dan bersorak-sorai adalah termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka menganggap hal yang demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu kebohongan dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka untuk memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang, maka apa yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak menurut cara yang benar (disyari’atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi orang yang berwakaf tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang dianjurkan dalam syari’at, kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah ia ambil untuk dirinya sendiri, semoga Allah menuntun kita selalu untuk mengikut sunnah nabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan mengikuti para salaf sholih karena keselamatan terdapat dalam langkah mereka”.
[5]. Ungkapan Syaikh Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syaikh Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda’wah kepada kebenaran, inilah ungkapan beliau tersebut: “Sang imam Muhammad bin Abdul Wahab melarang kebiasaan orang-orang di negri tersebut dan daerah lainnya dari membesarkan hari maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya, yang tidak ada dalil yang memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak pula keterangan dan hujah syar’iyah, karena hal yang demikian adalah menyerupai umat nasroni (kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik secara waktu maupun tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari’at penghulu segala rasul (agama Islam)”, di kutip dari “Kumpulan risalah dan masalah para ulama Nejed”, hal: (4 / 440).
[6]. Jawaban Syaikh Abdur Rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang dikemukakan kepada beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan berkorban, yang mereka sebut “nafilah”, dan apa yang dilakukan pada tanggal 27-Rajab mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut, kemudian amalan malam nisfu sya’ban seperti itu juga, apakah hal tersebut haram dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi pemerintah dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam terhadap hal tersebut?, beliau menjawab: “Semua hal tersebut adalah Bid’ah, sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata.
“Artinya : Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami ini (agama ini), sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut adalah ditolak”.
Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan.
“Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru dalam agama ini, sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah itu adalah sesat”.
Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau larangan serta mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas (pelaksanaan maulid), tidak pernah disuruh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi’in, telah disebutkan dalam hadist yang shohih.
“Artinya : Barang siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami maka amalan tersebut ditolak”.
Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung diatas tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makanya ditolak dan wajib diingkari, karena ia termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.
Sebagaiman firman Allah Subahanhu wa Ta’ala.
“Artinya : Apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang membuat syari’at agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah”. [Asy-Syuura: 12].
Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan orang-orang bodoh tampa petunjuk dari Allah, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih mengetahui”. [Dinukil dari Kumpulan risalah dan masalah para ulama Nejed bagian II. ha l: 4/357-358].
[7]. Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Latif ketika beliau di tanya tentang hukum mengeluarkan harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab : “Perbuatan maulid adalah perbuatan bid’ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan harta untuk perbuatan tersebut adalah bid’ah yang diharamkan, dan orang yang melakukannya adalah berdosa, maka wajib dicegah orang yang melakukannya”. [Dinukil dari “Ad-Durar as-sunniyah”, hal : 7/285].
[8]. Jawaban Imam Asy-Syatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab : “Adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini”. [Dikutip dari Fatwa Asy-Syatiby, no: 203, 204]
[9]. Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam Khadhar Al-Qusyairy dalam kitabnya “As-sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash sholawaat”, hal : 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul Awal dan bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. “Tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi’ul Awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini memang bulan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi’in serata para ulama yang hidup setelah mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid’ah kemudian diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.
[10]. Perkataan Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal”, hal : (2/11, 12) setelah ia menyinggung kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang dizamanya dalam melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan tersebut, sekalipun tidak terdapat dalam pelaksanaan maulid tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan bersama saja dengan maksud melaksanakan maulid, bersamaan dengan itu mengajak teman-teman, maka hal tersebut tetap merupakan bid’ah walaupun hanya sebatas niat saja, karena hal tersebut adalah menambah-nambah dalam urusan agama yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf yang silam, mengikuti salaf adalah lebih utama dan wajib dari pada menambah niat yang melanggar terhadap apa yang mereka lakukan, mereka adalah manusia yang sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lebih cinta kepadanya dan kepada sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah mereka orang yang pertama sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah mengetahui bahwa mengikut mereka dalam segala sumber dan keputusan.
Sebagaiman yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al Makky dalam sebuah karangannya sungguh telah disebutkan dalam hadist.
“Artinya :Tidak akan terjadi hari kiamat sampai yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dianggap ma’ruf”.
Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada berikut ini: mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah ketaatan, barang siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah lalai dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.
Ibnul Hajj menambahkan lagi : Sebagian penyair telah menceritakan keadaan zaman kita ini dalam syair mereka:
Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka,
Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang mungkar,
Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan
Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan masing-masing,
Anak ku sebagian orang telah menyerupai binatang,
Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan melihat,
Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa hartanya,
Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa,
Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia,
Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.
Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, hal: 25 : “Berbagai macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga sebagian mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih buhkary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist merupakan ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam bentuk yang digambarkan syara (agama)”.
[11]. Perkataan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “I’lamu Al Muwaaqi’in”, hal: (2/ 390-391). “Jika ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa Rasulullah tidak melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti perbuatan tersebut tidak ada”.
Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengetahui petunjuk dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta apa yang beliau sampaikan, kalau pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang berpendapat dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama, dan datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang sama juga, dan seterusnya, maka terbuka lebarlah pintu bid’ah, setiap orang yang melakukan bid’ah akan berkata : Dimana anda mengetahui bahwa hal ini tidak dilakukan Rasulullah”.
[12]. Jawaban Al Hafizh Abu Zur’ah Al-Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulid apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?. Ia menjawab: “Memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan”. Lihat Tasyniiful Azan, hal: 136.
[13]. Fatwa Abu Fahdal Ibnu Hajar Al-Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As-Suyuthy dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid”, di situ Ia katakan: “Asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. Lihat “Al-Hawy lil Fatawa”, hal: 1/196.
[14]. Fatwa Syaikh Zhohiruddin Ja’far Al Tizmanty tentang hukum maulid: “Melakukan maulid tidak pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari salafus sholih, sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati dan mencintai nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana kecintaan dan penghormatan salah seorang diantara mereka terhadap nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak terjangkau oleh kita sekarang ini, walau hanya secuil”. Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At Thobaahk dan Al Tizmanty oleh pengarang kitab “Subulul huda war rosyad Fi sirah khairil-ibad”, hal: 1/441-442
[15]. Di antara dalil bahwa salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam menentukan hari lahirnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu Abdillah Al-Hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab Al Mi’aar, hal: 7/100. Yang berbunyi : “Dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama) tidak pernah membedakan antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan mereka dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan Ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi’ul Awal, kemudian mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat pendapat, kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari lahirnya nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut.
[16]. Ditambah lagi dibalik itu semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bertepatan dengan hari kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama dari bersedih pada hari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian ulama diantara mereka Ibnul Hajj dan Al Fakihaany.
Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab Al-Madkhal, hal: (2/15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: “Yang sangat mengherankan kenapa mereka bergembira-ria untuk kelahiran nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam! sedangkan kematiannya bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kaum muslimin itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku”. Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa musibah yang sebenarnya adalah kematian beliau, menjadi hilang segala musibah yang menimpa seseorang dalam kondisi apa pun, tanpa meninggalkan kesedihan.
Sangat indah kata-kata sajak yang dituturkan oleh Hassaan dalam kematian Rasulullah:
Hitam kelam pandangan ku,
Hitam atas kepergian mu,
Ku relakan kematian selain mu,
Kecemasanku hanya atas kepergian mu.
Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya “Al Maurid fi ‘Amalil Maulida” : Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut”.
[Disalin dari buku “Maa hukmul Ihtifal bi maulidin Naby”, ditulis oleh Imam Syaukani, editor Abu Ahmad Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad bin Hamuud Al Musyaiqih, diterjemahkan oleh Ali Musri Lc, Aspri Rahmat Lc, Arifin Badri Lc, dan M. Nur Ihsan Lc.]
orang yang ketularan virus tolol wahabi yang taklid buta ma tukang jam .hahahaaa…..padahal,gurunya hanya buku aja.makanya jadinya kayak gini,berpenampilan intelek,baca al-fatihah aja mbelo hahahaaa
mendingan belajar ama habib daripada ama tukang jam ckckckkkkkkkk
@ Ayyuhal ikhwan salafi
tidak apa-apa. orang seperti kuya adalah ujian Alloh bagi kita. Alloh tidak akan menghinakan kedudukan seorang hamba karena hinaan manusia. barangsiapa yang dihinakan oleh Alloh, tiada seorangpun yang dapat memuliakannya. barangsiapa yang dimuliakan oleh Alloh, maka tiada seorangpun yang dapat menghinakannya.
begitu banyak manusia yang menuduh dan mencela para imam seperti Ibnu Hambal, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Abdil wahhab, Al Albani, Ibnu Baz, Al Utsaimin dll. apakah setelah itu kedudukan mereka menjadi rendah dan hina? tidak, justru karena tuduhan dan celaan itulah kedudukan mereka dinaikkan Alloh.
wallohu ‘alam, ini adalah pandangan ana yang masih awwam. mohon diluruskan jika keliru.
Sptnya dialog di kolom komen ini udh keluar dari inti permasalahan.
@admin, afwan ana mohon kebaikan antum untuk turun tangan memoderasi komen2 yg sangat tidak menonjolkan etika diskusi secara beradab termasuk komen2 yg keluar dari inti masalah maulid. Ana heran, dalil shahih perayaan maulid saja blm terjawab kok tau2 minta dalil pembagian tauhid jadi 3? kok tau2 minta dalil pembukuan Qur’an, hadits?
Nah… Sekarang acara iklan dari Kuya udah lewat, yuk kita nuntut ilmu lagi.
Makasih ya mas kuya, atas hiburannya. Sering mampir. Tapi kalo gak paham karena gak belajar di tempat yang benar, mending diam ya. Mending belajar pada tukang jam namun lurus pemahamannya dari pada yang sibuk ngurusin nasab, tapi masih menerima sedekah, beribadah yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah dan membodohi umat dengan isu Wahhabi.
benar Al Akh tono…
situs ini bukan tong sampah yang menampung kotoran. sebaiknya komen2 dari kuya diblock saja, karena kita sudah tahu seperti apa musuh2 dakwah salafi. kira2 seperti itulah gambaran pada umumnya.
wah,,kaum wahabi kebakaran jenggot nih…pencela sesekali perlu juga dicela….awas,,,,tangan2 setan dari nejb bermunculan
Kuya, anda minta ditampilkan perkataan ulama tentang maulid. tuh dah ana tampilkan! gimana tanggapan anda? iya tangan setan dari nejd banyak bermunculan. karena nejd yang dimaksud Rosululloh adalah daerah iraq dan sekitarnya… tuh lihat syi’ah dan orang orang yang anda ambil ilmunya. he anda pasti heran ko bisa nejd yang dimaksud adalah daerah iraq dan sekitarnya? Mau pintaarrr…??? Makanya Belajaaarrr!!!!
heheee……..udah tau nejb yang dimaksud adalah musailamah dan abdul wahab,,ngeles lagi,,ckckckkkkkkk
sah,,yang anda tampilkan kan perkataan ulama2 mazhab anda yang anda agung2i,,ckckkkkk,,ya jelaslah gak ngehalalin itu,,aya-aya wae….sama aja gue miinta pendapat ma orang brazil,,siapakah juara piala dunia tahun ini..ya jelas mereka bilang brazil…aya-aya wae…..
Sah,,ikutan nukil pendapat yang bisa dipercaya ah..
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari
ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah
beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dengan makanan makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku
atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.
Dan masih banyak lagi ulama-ulama yang memperbolehkan maulid nabi.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas
meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Nah akh kuya, kan bisa tuh berdiskusi dengan baik2…kenapa tidak dari kemarin2?
Oke, anda telah mengemukakan dalil dari para ulama yg membolehkan maulid. Skrg kita beralih ke permasalahan sbnrnya, adakah dalil yg shahih dari Rasulullah dan para sahabatnya mengenai perbuatan mereka yg merayakan maulid?
Lalu gini akh kuya, saya penasaran ya dengan keyakinan sebagian saudara2 muslim kita (entah ini ajaran siapa yg memulai) bahwa arwah Rasulullah turut hadir didalam pembukaan sholawat fatih ketika acara maulid baru dimulai (atau entah sholawat nariyah ya klo tidak salah), jadi para hadirin diwajibkan berdiri, afwan ini dalil darimana ya akh?
Anda membawakan pendapat dari para imam dan saya baca bahwa kebanyakan mereka berdalil dengan adanya kebaikan didalam perayaan maulid spt menyantuni anak yatim, pembacaan al qur’an, pembacaan sirah nabawiyah tetapi saya tidak menemukan mereka berdalil dengan kehadiran arwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pun dari mereka tidak ada yg berdalil dengan keharusan hadirin berdiri untuk menghormati arwah Rasul yg hadir, pdhl kita tahu Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah ‘abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya).” (HR Bukhari, Ahmad & Ad-Darimi).
Sok, monggo dilanjutkan diskusinya. Saya harap dengan akal dan hati yg jernih dan tanpa iri dengki.
Ayat Al Quran atau Al Hadits yang tidak dijadikan dalil oleh para sahabat, maka itu bukan dalil.
apakah para sahabat berdalil dengan hadits2 itu untuk mengamalkan perayaan maulid nabi?
cckckkkkk…bi/fi/bi..aya2 wae lo mah
sebagian saudara2 muslim kita (entah ini ajaran siapa yg memulai) bahwa arwah Rasulullah turut hadir didalam pembukaan sholawat fatih ketika acara maulid baru dimulai (atau entah sholawat nariyah ya klo tidak salah), jadi para hadirin diwajibkan berdiri.
tolong dong bi/fi/laf,beriin fakta atau pendapat yang menyatakan hal tersebut,atau itu cuman pendapat antum aja yang tidak mengerti maknanya.
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana
penghormatan yang dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum Anshar “Berdirilah untuk tuan kalian” (Shahih Bukhari hadits No.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’ab bin Malik ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang
berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tidak apa-apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun ada pula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan.
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa–apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir
dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan hal ini, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan denganhukum dhohir,
Semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw. J a u h b e r b e d a b i l a k i t a y a n g b e r d i r i penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut
risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.
Di r iwaya tkan bahwa Imam Al ha f idh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang
padanya dibacakan puji – pujian untuk Nabi saw, lalu diantara syair – syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam–imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan
mereka itu sebagai panutan.
Dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa “Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist
Shahih Muslim No.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah”.
Da n b e r k a t a p u l a Imam As s a k h awi y rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137).
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan para muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji – pujian pada Allah dan Rasul saw yang sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka
pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas– jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an
(secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai). Sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua
yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
Bi/Fi/Laf..udah faham,,sekarang ane tanya donk,,tulisan tadi kan ada kata2 bid’ahnya ckckckkk…biasanya itu bahasan yang paling antum dan kaum antum doyan…Tulisan Qur’an yang dibukukan,apa itu gak bid’ah?????
atu agi donk bi,,ada gak dalil yg shahih dari Rasulullah dan para sahabatnya yang melarang mengenai perbuatan merayakan maulid?
Wah bangkuya, ahirnya mengeluarkan jurus jurusnya nih. Anda minta ditampilkan perkataan ulama’ yang menolak acara maulid. udah saya tampilkan dari tulisan ulama’ (Imam Syaukani). kemudian anda mengatakan seolah olah ulama’ yang menolak adalah ulama’ versi kita saja. dan yang anda tampilkan adalah ulama’ yang benar menurut anda. jadi seolah olah ulama’ yang anda tampilkan bukan ulama’ kita. ketahuilah ulama’ yang membolehkan maulid itu juga ulama’ kita semua. akan tetapi setiap perselisihan yang ada diantara ulama, haruslah kita teliti mana yang benar, mana yang salah. bukankah yang menjadi tolak ukurnya kita dalam ibadah adalah Al-Qur’an dan Hadits? nah cara pemahamannya-pun harus sesuai dengan Qur’an dan Hadits. yaitu pemahaman Rosululloh dan para Sahabat. saya tanya, adakah mereka merayakan maulid?
dan kalau anda bilang tidak ada ulama’ muhadits yang menetang maka itu suatu kebohongan, anda tidak kenal Imam Syaukani, Asy-Syatibi, dan mereka yang disebutkan diatas?. dan kalau pemotongan perkataan Ibnu hajar itu dilakukan oleh Imam Syaukani, hanya untuk menunjukkan bahwa amalan itu pada dasarnya Bid’ah, aduh, antum dengerin kajiannya Ustadz Abu Ubaidah diatas dulu aja, ntar coba anda bahas secara ilmiyah mana yang salah dari perkataan Ustadz.
dan untuk masalah nejed dalam hadits, coba antum baca juga tulisan Ustadz diweb ini juga, https://abiubaidah.com/kritikhadits-wahabi.html/ . Nanti akan anda temukan termasuk yang mengatakan nejd dihadits adalah iraq adalah Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/47. kalau anda tidak mau mbaca atau ndegerin kajian, dan komen-nya cuma gitu gitu aja, ya mending nggak usah komentar aja, lha buat apa? nambah ilmu nggak!! nambah bodo mungkin….
Hudzaifah bin Al Yaman berkata: “Semua ibadah yang tidak dikerjakan oleh para sahabat, maka jangan mengerjakannya. Sesungguhnya generasi awal tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (mengada-adakan bid’ah).”
maulidan masuk ke dalamnya.
Hmm tepat seperti dugaan saya, anda mendapat jawabannya dari habib Mundzir ya. Akh, saya tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan. Coba simak ini :
Ketika semua berdiri
sambil membacakan sholawat nabi
tiba-tiba tubuh ini bergetar
tiba-tiba mata ini berbenar
berkaca-kaca
oh Nabiku Muhammad
Engkau hadir dalam majelisku
Tak kuasa haru datang
tak kuasa air mata ini meleleh
haru semua
rindu terbayar
untuk sementara waktu
Yaa Nabii salam… alaika…
Yaa Rasul salam… alaika…
Yaa habib salam… alaika…
Shalawatullahu alaika…
Rasulullah Hadir itu bukan hayal
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ketika kita bershalawat kepada Rasulullah maka pada majelis itu Rasulullah
hadir. Dan barangsiapa yang berada di suatu tempat di mana Rasulullah hadir
maka keseluruhan ruang tersebut bebas dari adzab. (ini dalil dari mana ya??? enak sekali dong berarti org2 musyrik atau penjahat kelas kakap/koruptor yg tiba2 hadir di majelis Rasul langsung terbebas dari adzab? -pen)
Orang barangkali tidak mempercayai kalau Rasulullah itu hadir dengan
menganggap bahwa beliau sudah wafat. Benar bahwa beliau sudah wafat. Jasad
atau badan-nya sudah pulang menyatu kembali dengan hakikatnya yakni tanah.
Akan tetapi ruh atau ruhani Rasulullah tetap hidup dan hadir.
Kita tidak bisa memandang Rasulullah dengan kaca mata materialisme bahwa
segala sesuatu harus bisa dilihat dengan mata wadag ini, bahwa semuanya
harus bisa dipancaindrai dan bahwa kalau segalanya tak bisa dipancraindrai
maka sesuatu itu tak ada alias tak maujud, melainkan harus dengan kaca mata
ruhaniah. Dengan demikian ketika kita mendengar kalimat bahwa Rasulullah
hadir kita tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang hayal atau lain
sebagainya.
(“Segitiga Cinta”, Emha Ainun Nadjib, Zaituna, 1999)
Lalu dari sini :
http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=412&start=80
Silakan dibaca komen2 yg ada disitu…
Lalu saya kutipkan dari salah satu pendukung fikih tradisional “barzanji” :
Tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau. Bukankah Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain? (Lihat Fikh Tradisional, Muhyiddin Abdusshamad (277-278))
Afwan, inikah qiyas ya akh? Mengqiyaskan hormat kepada Rasulullah dengan hormat kepada bendera merah putih?? Naudzubillaaah…
Ini saya bawakan ayat dan beberapa hadits tentang sholawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam :
1. Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. QS Al Ahzab ayat 56
2. Rasulullah bersabda: “Barang-siapa yang membaca shalawat kepada-ku sekali, Allah akan memberikan balasan shalawat kepadanya sepuluh kali.”[HR. Muslim 1/288.]
3. Rasul bersabda: “Janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai hari raya, dan bacalah shalawatmu padaku, sesungguhnya bacaan shalawat-mu akan sampai kepadaku, di mana saja kamu berada.”[HR. Abu Dawud 2/218 shahih, Ahmad 2/367]
4. Rasul bersabda: “Orang yang bakhil adalah orang yang apabila aku disebut, dia tidak membaca shalawat kepadaku.”[HR. At-Tirmidzi 5/551, begitu juga imam hadis yang lain, lihat Shahihul Jami’ 3/25 dan Shahih At-Tirmidzi 3/177]
5. Rasulullah bersabda: “Sesungguh-nya Allah mempunyai para malaikat yang senantiasa berkeliling di bumi yang akan menyampaikan salam kepadaku dari umatku”. [HR. An-Nasa’i, Al-Hakim 2/421]
Apakah di redaksi ayat dan hadits2 diatas ditemukan keharusan berdiri? Lalu mengapakah dipakai qiyas padahal beliaupun tidak suka jika sahabatnya ada yg ghuluw terhadap beliau? Dan lagi beliau Shallallahu alaihi wasallam telah wafat, bagaimana mungkin meyakini arwah beliau hadir? bukankah ini sudah termasuk berlebih2an yg tidak pada tempatnya?
Dan anda berdalil dengan hadits Sa’ad bin Mu’adz tersebut. Saya nukilkan penjelasan Imam Nawawi dan Al Qodhi ‘Iyadh -rahimahumullah- :
Imam Nawawi berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan, (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313). Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul kepada orang-orang Anshar agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Mu’adz radliyallahu’anhu turun dari keledainya, karena ia sedang terluka parah, bukan menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan. (Lihat Ikmalil Mu’lim bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi ‘Iyadh, 6/105).
Anda minta dalil ditulis dan dibukukan Al Qur’an, itu bukan bid’ah hasanah akh karena ada dalilnya. Coba anda buka Al Qur’an, ada di banyak ayat kok :
1. Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat KITAB (Al Quran) yang nyata (dari Allah). (QS Yusuf ayat 1)
2. Alif, laam raa. (Ini adalah) KITAB yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS Ibrahim ayat 1).
3. Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah KITAB (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS Al A’raaf ayat 52)
Perhatikan redaksi KITAB yg difirmankan oleh Allah, bukankah menjadi isyarat yg jelas bahwa Al Qur’an itu dasarnya adalah sebuah kitab yg ayat2nya diturunkan secara perlahan-lahan pada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, dan menjadi lengkap dengan wafatnya Nabi. Lalu pada zaman khalifah Abu Bakar ketika banyak para sahabat hafidz qur’an wafat pada perang Yamamah dan dikhawatirkan hapalan al qur’an bnyk yg hilang, Umar berijtihad untuk mengumpulkannya dan meminta persetujuan dari Abu Bakar yg walau semula beliau ragu namun beliau mempertimbangkan maslahat org banyak di kemudian hari dan akhirnya beliau setuju. Jadi, dari sisi mana pengumpulan Al Qur’an ini adalah bid’ah?? Jelas ada dalilnya dari Qur’an sendiri lalu dari ijma’ para sahabat dan ada maslahat umat Islam di kemudian hari…
Didalam kaidah ushul disebutkan bahwa kaidah asal suatu ibadah adalah haram sampai ada dalil yg memerintahkan, beda dengan kaidah asal duniawi yg asalnya boleh sampai ada dalil yg mengharamkannya. Oleh karena itu saya katakan terlebih dahulu akh, mana dalil dari Rasulullah yg memerintahkan kita untuk merayakan maulid beliau? Memang banyak dalil yg memerintahkan kita untuk bersyukur spt dalil puasa senin kamis yg banyak dijadikan dalil dari golongan anda untuk merayakan maulid. Saya bawakan nukilan hadits lengkapnya dari shahih Muslim :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ غَيْلَانَ بْنِ جَرِيرٍ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَعْبَدٍ الزِّمَّانِيَّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِهِ قَالَ فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا وَبِبَيْعَتِنَا بَيْعَةً قَالَ فَسُئِلَ عَنْ صِيَامِ الدَّهْرِ فَقَالَ لَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ أَوْ مَا صَامَ وَمَا أَفْطَرَ قَالَ فَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمَيْنِ وَإِفْطَارِ يَوْمٍ قَالَ وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمٍ وَإِفْطَارِ يَوْمَيْنِ قَالَ لَيْتَ أَنَّ اللَّهَ قَوَّانَا لِذَلِكَ قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمٍ وَإِفْطَارِ يَوْمٍ قَالَ ذَاكَ صَوْمُ أَخِي دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ قَالَ فَقَالَ صَوْمُ ثَلَاثَةٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانَ إِلَى رَمَضَانَ صَوْمُ الدَّهْرِ قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنْ رِوَايَةِ شُعْبَةَ قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَسَكَتْنَا عَنْ ذِكْرِ الْخَمِيسِ لَمَّا نُرَاهُ وَهْمًا و حَدَّثَنَاه عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ كُلُّهُمْ عَنْ شُعْبَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا أَبَانُ الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا غَيْلَانُ بْنُ جَرِيرٍ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ بِمِثْلِ حَدِيثِ شُعْبَةَ غَيْرَ أَنَّهُ ذَكَرَ فِيهِ الِاثْنَيْنِ وَلَمْ يَذْكُرْ الْخَمِيسَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar -lafazhnya dari Ibnul Mutsanna- keduanya berkata, Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ghailan bin Jarir bahwa mendengar Abdullah bin Ma’bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasanya, maka serta merta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah, lalu Umar pun mengucapkan, “Kami rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah, dari murka Allah dan Rasul-Nya dan Bai’at kami sebagai suatu Bai’at.” kemudian beliau ditanya tentang puasa sepanjang masa, maka beliau menjawab: “Sebenarnya, ia tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.” Kemudian beliau ditanya lagi mengenai puasa sehari dan berbuka dua hari, beliau menjawab: “Semoga Allah memberikan kekuatan pada kita untuk melakukannya.” Lalu beliau ditanya mengenai puasa pada hari senin, beliau menjawab: “Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku.” Kemudian beliau bersabda: “Puasa tiga hari pada setiap bulan dan ramadan hingga ramadan berikutnya adalah puasa dahr.” Kemudian beliau ditanya tentang puasa pada Arafah, maka beliau menjawab: “Puasa itu akan menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” Kemudian beliau ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura`, beliau menjawab: “Ia akan menghapus dosa-dosa sepanjang tahun yang telah berlalu.” Dan di dalam hadits ini, yakni dari riwayat Syu’bah, ia berkata; “Dan beliau ditanya tentang puasa hari senin dan kamis.” Namun kami tidak menyebutkan puasa kamis, karena menurut kami padanya terdapat Wahm (kekurang akuratan berita). Dan Telah menceritakannya kepada kami Ubaidullah bin Mu’adz telah menceritakan kepada kami bapakku -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Syababah -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami An Nadlr bin Syumail semuanya dari Syu’bah dengan isnad ini. Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sa’id Ad Darimi telah menceritakan kepada kami Habban bin Hilal telah menceritakan kepada kami Aban Al ‘Aththar telah menceritakan kepada kami Ghailan bin Jarir dalam isnad ini, sebagaimana haditsnya Syu’bah, hanya saja ia menyebutkan hari Senin, namun tidak menyebutkan hari kamis. (HR Muslim no. 1977 pada kitab Puasa, Bab : Anjuran puasa tiga hari dalam setiap bulan)
Adakah dalam hadits diatas Rasulullah menyuruh untuk merayakan hari kelahiran beliau setelah beliau menyebutkan redaksi : “Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku.”
Monggo, maaf kalau kepanjangan.
ckckckkkk….copy paste ala wahabi,tiap blog itu2 aja yang dimunculinnya..seburuk2nya taklid adalah copi paste ckkkkkkkk…mungkin ini dapet membungkam pemikiran wuahabian seperti anda ckckkkkk..
Sebagian dari kaum penyebar syubhat (mungkin wahabi kayak anda) telah menyebut perayaan Maulidur Rasul saaw sebagai perbuatan bid’ah. Banyak sudah argumen yang dikemukakan. Namun semua argumen itu tidaklah berdasar pada dalil-dalil yang dapat dibenarkan kecuali oleh orang-orang yang mudah ditipu. Pada tulisan kali ini, saya mencoba mengemukakan beberapa argumen untuk menunjukkan betapa perayaan Maulidur Rasul itu adalah suatu hal yang mulia.
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Yunus: 85)
Merayakan Maulid itu berbeda dengan merayakan Natal. Umat Kristiani merayakan Natal adalah dalam rangka menyembah dan mengkultuskan Yesus yang mereka yakini lahir pada tanggal 25 Desember. Dan mereka menjadikan tanggal 25 Desember itu sebagai hari khusus dalam merayakan kelahiran Yesus. Walau pun sebagian sarjana Alkitab telah menyatakan bahwa Yesus tidaklah lahir pada tanggal 25 Desember di musim dingin, melainkan pada bulan Ilul di musim semi atau musim kering. Bahkan mereka menjelaskan bahwa tanggal 25 Desember itu sebenarnya adalah perayaan orang Romawi untuk merayakan hari lahir dari dewa Sol Invictus.
Merayakan Maulid juga berbeda dengan merayakan Asyura dimana kita berpuasa sunnah pada tanggal 10 Muharram dalam rangka bersyukur dan taqarrub kepada Allah.
Merayakan Maulidur Rasul tidak hanya terpaku pada hari lahirnya Sang Cahaya (QS. Al-Maidah: 15). Maulidur Rasul dilakukan juga dalam rangka mengenang riwayat hidup Sang Juru Syafaat. Adalah benar bahwa Rasulullah saaw lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun Gajah. Namun tidak seperti perayaan lain yang terpaku pada satu hari tertentu, perayaan Maulidur Rasul saaw dapat dilakukan setiap hari. Tidak hanya pada tanggal 12 Rabiul Awwal, tidak hanya di bulan Rabiul Awwal, tidak hanya di hari Senin. Bahkan setiap hari di sepanjang tahun, kita dapat merayakan Maulidur Rasul. Karena sudah semestinyalah bagi kita ummat Islam untuk bergembira setiap saat atas karunia Allah berupa lahirnya sang pembawa Syari’atul Muthohharoh. Maka perayaan Maulidur Rasul ini tidak bisa disamakan dengan perayaan Natal atau pun Milad Partai yang terpaku pada satu hari tertentu.
KEISTIMEWAAN 12 RABIUL AWAL
Walau perayaan Maulid tidak terpaku pada tanggal 12 Rabiul Awwal, namun tanggal 12 Rabiul Awwal tetaplah hari yang istimewa bagi para pecinta Rasul saaw dan Shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Karena pada tanggal 12 Rabiul Awwal itulah Sang Kekasih lahir ke dunia ini. Itulah tonggak sejarah baru dalam kehidupan manusia menuju Al-Haqq. Pada hari itu telah tumbang segala simbol kemusyrikan. Pada hari itu, api biara Majusi telah dipadamkan, jatuhlah mahkota Kisra Persia, dan Makkah diterangi cahaya gemilang.
Hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal juga merupakan hari tibanya Rasulullah di Madinah. Pada hari itu, datanglah Sang Bulan Purnama dari celah-celah bukit. Maka bersyukurlah kita atas hijrahnya Rasulullah saaw dan atas selamatnya beliau tiba di Madinah. Tibanya Rasulullah di Madinah adalah fase kebangkitan selanjutnya dari da’wah ilallah. Itulah sebabnya kaum Anshor menyambut kedatangan beliau sambil berdiri dan menabuh rebana. Mereka melantunkan syair yang begitu indah, “Thola’al badru ‘alayna min tsaniyatil wada’. Wajabasy syukru ‘alayna ma da’a lillahi da’.”
Pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal pula Rasulullah saaw wafat. Pada hari itu, ummat Islam mengalami kegoncangan yang dahsyat. Lalu muncullah Ad-Da’i ilallah, Sayyidina Abu Bakar, yang membangkitkan kembali semangat kaum Muslimin dengan pidatonya yang terkenal. Pada hari itulah peristiwa agung lainnya terjadi, yaitu kebangkitan semangat Muslimin setelah diterpa ujian besar.
Maka wajarlah jika tanggal 12 Rabiul Awwal dijadikan salah satu hari istimewa bagi kaum Muslimin. Namun untuk merayakan Maulidur Rasul sebagai rasa gembira kita atas karunia besar tersebut, kita tidak mesti hanya merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awwal. Bahkan sepatutnya kita bergembira dan merayakan Maulidur Rasul pada setiap hari di sepanjang tahun.
RASUL PUN MERAYAKAN MAULID
Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah berkata : Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw berakikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadits no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah berakikah untuknya kakeknya Abdulmuththalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman-teman dan saudara-saudara, menjamu dengan makanan-makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnul-Maqashid fii ‘Amalil-Maulid”.
Rasul pun pernah ditanya tentang puasa di hari Senin. Maka beliau menjawab bahwa pada hari itulah beliau saaw dilahirkan. Maka dengan alasan itu pula kita berpuasa di hari Senin. Dan dengan alasan itu pula dibolehkan bagi kita untuk beribadah kepada Allah dalam rangka bersyukur atas lahirnya Rasulullah saaw. Maka boleh bagi kita untuk membesarkan hari lahir beliau saaw dengan ibadah apa saja, tidak hanya dengan puasa, tetapi dengan ibadah yang lainnya pun boleh.
SHAHABAT PUN BERMAULID
Dalam kitab-kitab maulid atau rawi, kita dapat menjumpai kalimat-kalimat pujian atas Rasulullah saaw yang sebenarnya dikutip dari Al-Qur`an, hadits, atau pun perkataan para shahabat.
Paman Nabi, Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib pernah berkata: Wahai Nabi, engkau adalah cahaya Allah SWT yang diletakkan pada sulbi Nabi Adam as, sehingga ketika Nabi Adam as turun ke muka bumi ini, engkau ikut turun ke muka bumi bersama Nabi Adam as. Lalu nabi Adam as melahirkan anaknya, dan anaknya melahirkan keturunan, sehingga engkau bersama Nabi Nuh as ketika banjir besar melanda kaumnya, sehingga engkau berada di sulbi para laki-laki mulya yang menikahi wanita-wanita suci, sehingga engkau dilahirkan oleh ibumu dengan cahaya yang terang benderang, dan sungguh hingga kini kami masih dalam naungan cahayamu.
Kalimat-kalimat pujian di atas itu akan kita dapati di dalam kitab-kitab maulid seperti dalam kitab maulid Ad-Diba’i. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa Sayyidina Abdullah bin Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi saaw bersabda: Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang saat itu masih berwujud nur di hadapan Allah 2000 tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya itu bertasbih pula para malaikat mengikutinya. Ketika Allah akan menciptakan Adam, nur itu pun diletakkan pada tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah menurunkan nur itu ke muka bumi melalui punggung Nabi Adam. Dan Allah membawaku ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh as, dan menjadikan aku dalam tulang sulbi Nabi Ibrahim Al-Khalil, ketika ia dilemparkan ke dalam api. Tak henti-hentinya Allah memindahkan aku dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah. Hingga akhirnya Allah melahirkan aku melalui kedua orangtuaku yang sama sekali tidak pernah berbuat serong.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa para shahabat pun terkadang berkumpul bersama Nabi saw, dan mereka membacakan syair-syair pujian di hadapan Nabi saw dan beliau saw tidak melarang mereka, bahkan Rasulullah saw mendoakan mereka sebagai tanda keridhoan beliau saw atas perkataan mereka yang sesungguhnya tidak menyimpang dari Syari’atul Muthohharoh.
Bukan Muhammad namanya jika tidak boleh dipuji. Beliau dinamakan Muhammad, karena beliau memang pantas dipuji. Ketika kita memuji beliau saaw, sesungguhnya kita telah memuji Pencipta beliau. Jika Anda telah memuji istri dan anak Anda dengan ‘cahaya mata’, mengapa Anda enggan memuji Muhammad Rasulullah? Jika Anda telah memuji kecantikan isteri Anda, mengapa Anda tidak memuji keluhuran Muhammad Rasulullah saaw? Jika Anda mengagungkan Ka’bah sebagai qiblat Anda, mengapa Anda tidak mengagungkan Muhammad Rasulullah? Memuji dan mengagungkan Rasulullah bukanlah suatu bentuk penyembahan kepada beliau, sebagaimana ketika kita shalat menghadap Ka’bah bukanlah suatu bentuk penyembahan kepada Ka’bah.
Jika Anda beri’tiqad bahwa memuji dan mengagungkan Rasulullah itu syirik, maka jangan lagi Anda shalat menghadap Ka’bah, toh kemana pun Anda menghadap, disitu Anda dapati Wajah Allah. Dan jangan lagi Anda mencium Hajar Aswad. Jangan lagi Anda bersa’i antara Shofa dan Marwah. Jangan lagi Anda berthawaf mengelilingi Ka’bah. Karena berdasarkan i’tiqad tersebut, semua itu adalah merupakan penyembahan kepada Ka’bah, Hajar Aswad, Shofa, dan Marwah.
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 158]
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. [QS. Al-Hajj: 30]
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [QS. Al-Hajj: 32]
Adakah sesuatu yang lebih terhormat dari Muhammad Rasulullah saaw di sisi Allah? Siapakah yang namanya berdampingan dengan Nama Allah di pintu surga? Siapakah nama yang disebut Nabi Adam as untuk bertawassul ketika beliau melakukan suatu kesalahan? Tidak layakkah Muhammad Rasulullah saaw untuk diagungkan oleh orang-orang yang bertaqwa? Tidak ada makhluq yang lebih layak untuk diagungkan daripada Muhammad Rasulullah saaw. Kerena beliau saaw adalah makhluq paling terhormat di sisi Allah.
Dari Umar ra. Ia berkata: Rasulullah SAAW bersabda, “Tatkala Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad akan dosa-dosaku, agar Engkau mengampuniku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana kamu mengenal Muhammad sedang Aku belum menciptakannya (sebagai manusia) ?” Adam menjawab: “Wahai Rabbku, tatkala Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku, maka Engkau Mengangkat kepalaku, lalu aku melihat di atas kaki-kaki arsy tertulis ‘Laa Ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah’ sehingga aku tahu bahwa Engkau tidak menambahkan ke dalam Nama-Mu kecuali makhluq yang paling Engkau cintai.” Lalu Allah Berfirman: “Benar engkau wahai Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluq yang paling Aku cintai, berdoalah kepadaku dengan haq dia, maka sungguh Aku Mengampunimu. Sekiranya tidak ada Muhammad, maka Aku tidak menciptakanmu.” [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 2 halaman 615, dan beliau mengatakan shahih. Juga Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Ibnu Taimiyah mengutipnya dalam kitab Al-Fatwa juz 2 halaman 150, dan beliau menggunakannya sebagai tafsir/penjelasan bagi hadits-hadits yang shahih]
Pembacaan rawi dalam perayaan-perayaan maulid bukanlah suatu perkara bid’ah, karena sebenarnya hal itu juga telah dilakukan para shahabat di hadapan Rasulullah saaw. Begitu juga dengan berdiri ketika “Asyroqol” atau pun “Thola’al”, itu bukanlah suatu bid’ah. Karena kita hanya meniru-niru shahabat. Dengan demikian, kita bisa merasakan apa yang dirasakan shahabat pada saat itu, yaitu kegembiraan yang hanya bisa dirasakan dan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Dengan meniru tindakan para shahabat tersebut, kita merasa bahwa jiwa kita menyatu dengan jiwa mereka, atau jiwa kita seakan kembali ke masa ketika Rasulullah saaw tiba di Madinatun Nabi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Pembacaan Maulid/Rawi dan segala kaifiatnya itu bagaikan pertunjukkan drama dimana kita berperan sebagai para shahabat yang sedang menyambut kekasih mereka saaw; bagaikan napak tilas kehidupan para shahabat ketika mereka hidup berdampingan dengan sang kekasih saaw. Kita memang tidak hidup sezaman dengan Rasulullah saaw, tetapi kita dapat merasakan bahwa Rasulullah saaw selalu mendampingi kehidupan kita. Spirit seperti inilah yang dicoba untuk dibangkitkan oleh ulama, yaitu kehidupan ummat yang selalu merasakan kehadiran Rasulullah saaw. Spirit yang timbul dari pancaran jiwa Muhammad Rasulullah saaw. Rasa seperti ini tidak dapat dipahami, kecuali oleh mereka yang selalu merindukan pertemuan dengan kekasih mereka, Muhammad Rasulullah saaw.
PARA HAFIZH PUN BERMAULID
Hafizh adalah sebutan bagi orang yang telah menghafal setidaknya seratus ribu hadits berikut sanadnya. Dan tentunya mereka telah lebih dahulu menghafal Al-Qur`an. Kitab-kitab maulid yang dibaca dalam perayaan maulid pada umumnya adalah kitab-kitab yang dikarang oleh para hafizh. Tentunya mereka menyusun kitab maulid berdasarkan ilmu mereka yang bagaikan samudera bila dibandingkan dengan ilmu kita yang hanya setetes saja. Rawi yang mereka tuliskan adalah berdasarkan hadits-hadits shahih yang mereka ketahui sanadnya. Maka tidak sepantasnya jika kita menyebut pembacaan kitab maulid/rawi itu sebagai perkara bid’ah.
Diantara ulama ahli sunnah wal jama’ah yang menyetujui perayaan maulid adalah:
1. Imam Al Hafizh Ibn Hajar Al Atsqalaniy rahimahullah.
2. Imam Al Hafizh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah.
3. Imam Al Hafizh Abu Syaamah rahimahullah.
4. Imamul Qurra’ Al-Hafizh Syamsuddin Aljazriy.
5. Imam Al Hafizh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy pengarang beberapa kitab maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafaz arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
6. Imam Al Hafizh Assakhawiy.
7. Imam Al Hafizh Ibn Abidin rahimahullah.
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah pengarangan kitab maulid “Al Aruus”
9. Imam Al Hafizh Al Qasthalaniy rahimahullah.
10. Imam Al Hafizh Al Muhaddis Abul-Khattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn Dihyah, pengarangan kitab maulid “Attanwir fi maulid basyir an nadzir”.
11. Imam al Hafizh Ibn Katsir pengarang kitab maulid yang dikenal dengan kitab maulid ibn Katsir.
12. Imam Al Hafizh Al ‘Iraqy pengarang kitab maulid “Maurid al hana fi maulid assana”
13. Imam Assyakhawiy pengarang kitab maulid Al Fajr al Ulwi fi maulid an Nabawi.
14. Al Allamah al Faqih Ali Zainal Abidin As Syamhudi pengarang kitab maulid Al Mawarid al Haniah fi maulid Khairil Bariyyah
17. Al Imam Hafizh Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As Syaibaniy yang terkenal dengan ibn Diba’ pengarang kitab maulid Ad-Diba’i
18. Imam ibn Hajar al Haitsami pengarang kitab maulid Itmam an-Ni’mah alal Alam bi Maulid Sayid Waladu Adam.
19. Imam Ibrahim Baajuri.
20. Al Allamah Ali Al Qari’ pengarang kitab maulid Maurud ar-Rowi fi Maulid Nabawi.
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al Barzanji pengarang kitab maulid yang terkenal dengan kitab maulid Barzanji.
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Ja’far al Kattani dengan maulid Al Yaman wal Is’ad bi Maulid Khair al-Ibad.
Mereka semua adalah ulama-ulama ahli sunnah wal jama’ah yang dapat dipercaya keilmuwannya. Mereka adalah pemelihara Al-Qur`an dan Hadits-Hadits Rasulullah saaw. Sedangkan mereka yang menentang perayaan maulid, sudah berapa hadits yang mereka hafal? Dari hadits-hadits yang mereka hafal, berapa hadits yang sanadnya bersambung dari guru mereka hingga kepada Rasulullah saaw? Mungkin tidak satu pun hadits yang mereka hafal itu memiliki sanad yang bersambung dari guru mereka hingga kepada Rasulullah saaw. Paling mereka menghafal hadits itu dari Kitab-Kitab Hadits yang beredar sekarang, dimana mereka hanya tahu bahwa hadits itu mereka dapat dari Imamul Bukhori dari Shahabat dari Rasulullah saaw. Sedangkan para ulama yang menyetujui perayaan maulid ini, mereka menghafal sekian ratus ribu hadits berikut sanadnya, dimana mereka mendapat hadits-hadits itu dari guru mereka dari gurunya dari gurunya, terus begitu hingga dari tabi’it tabi’in dari tabi’in dari shahabat dari Rasulullah saaw. Lalu pendapat siapakah yang lebih pantas diikuti? Pendapat para ulama yang luas ilmunya, ataukah pendapat para penebar syubhat yang dangkal ilmunya dan picik cara berfikirnya?
masihkan anda menyatakan bahwa maulid itu bid’ah wahai kaum wahabian?ulama “kami” juga,ulama yang mana yang memperselisihkan maulid,apa anda membaca buku2 tersebut secara penuh dari yang aslinya,atau yang anda baca hanya buku2 yang sudah dikebiri oleh kaum anda atau dari doktrin2 lulusan lc???sudah terlalu banyak ulama2 yang anda katakan sesat dengan memvonis bid’ah beberapa perkara yang semenjak awal tidak dipertentangkan oleh ulama.