Aneh dan Lucu (Bag.3)
21. Menang Setelah Musuh Menghina Nabi
Syaikhul Islam Rahimahullahuta’ala bercerita, “Banyak kawan saya yang tepercaya dari kalangan ahli fiqih bercerita tentang pengalaman mereka beberapa kali ketika mengepung para musuh di benteng pinggiran kota Syam pada zaman ini. Katanya, ‘Kami sering mengepung musuh sebulan atau lebih namun belum juga berhasil mengalahkan mereka sehingga kami hampir saja putus asa, sampai ada di antara mereka yang mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menodai kehormatan beliau maka kemenangan segera datang menghampiri kami sehari atau dua hari setelahnya.’ Kata mereka, ‘Kami menyambut gembira dengan kemenangan jika kami mendengar celaan mereka kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun hati kami penuh amarah dengan ucapan mereka tersebut.’”[1]
22. Dikejar Ular Karena Menghina Hadits Nabi
Imam Dzahabi menceritakan dari al-Qadhi Abu Thayyib, katanya, “Suatu kali, kami pernah ta’lim (pengajian) di Masjid Jami’ al-Manshur lalu tiba-tiba datang seorang pemuda dari Khurasan menanyakan perihal masalah ‘al-Musharrah’ serta meminta dalilnya sekaligus. Pertanyaan pemuda itu pun dijawab dengan membawakan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu tentangnya. Pemuda yang bermadzhab Hanafiyyah itu mengatakan dengan nada mencela, ‘Abu Hurairah tidak diterima haditsnya!’
Belum selesai ucapannya, kemudian ada ular besar yang menjatuhinya dari atap masjid. Melihatnya, manusia pun berlarian ketakutan. Ular tersebut terus mengejar pemuda tadi yang sedang berlari. Dikatakan kepadanya, ‘Taubatlah! Taubatlah!’ Pemuda itu mengatakan, ‘Saya bertaubat.’ Akhirnya, ular itu pun hilang tiada membawa bekas.”
Imam Dzahabi berkomentar, “Sanadnya para tokoh imam. Abu Hurairah Radhiallahu’anhu merupakan sosok sahabat yang sangat kuat hafalannya terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara huruf per huruf dan beliau telah menyampaikan hadits tentang ‘al-Musharrah’ secara lafalnya. Maka wajib bagi kita untuk mengamalkannya. Inilah pokok masalah.” [2]
23. Akibat Mencela Hadits Nabi
Imam Muhammad bin Isma’il menyebutkan dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, “Saya mendengar dalam sebagian hikayat bahwa ada sebagian ahli bid’ah ketika mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
‘Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya maka janganlah dia memasukkan tangannya ke bejana sehingga dia mencucinya terlebih dahulu, sebab dia tidak tahu di mana tangannya bermalam.’ (HR Muslim: 103)
Ahli bid’ah itu dengan nada mencela berkomentar, ‘Saya tahu kok di mana tanganku bermalam, ya di atas kasur!’ Maka tatkala (terbangun) di pagi hari, ternyata dia memasukkan tangannya ke duburnya hingga sampai siku-sikunya!”
Imam at-Taimi mengomentari kisah di atas, “Maka hendaknya seorang takut dari merendahkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah kesudahan mereka yang sangat mengenaskan di atas.”
Imam Nawawi berkata setelah membawakan kisah di atas, “Mirip dengan kasus ini adalah apa yang fakta terjadi pada zaman kita sekarang ini dan beritanya mutawatir serta telah shahih menurut para hakim bahwa ada seorang yang beraqidah jelek dari kota Bushra pada awal tahun 665 H. Dia punya seorang anak yang shalih. Suatu hari, anaknya datang dari gurunya yang shalih membawa siwak. Ayahnya mengatakan dengan nada mengejek, “Gurumu memberimu apa?” Jawab sang anak, “Siwak ini.” Lalu sang ayah mengambil siwak tersebut dan meletakkan di duburnya sebagai penghinaan.
Selang beberapa hari, ayah tersebut mengeluarkan dari duburnya sejenis ikan. Lalu setelah itu atau selang dua hari berikutnya orang itu meninggal dunia. Semoga Allah melindungi kita dari bala-Nya dan memberikan taufik kepada kita untuk mengagungkan sunnah dan syi’arnya.”[3]
24. Tidak Bisa Berjalan Akibat Menghina Hadits
Abu Yahya Zakaria as-Saji Rahimahullahuta’ala berkata, “Pernah kami berjalan di kampung kota Bashrah menuju rumah sebagian ahli hadits. Kami pun tergesa-gesa berjalan cepat menuju rumahnya. Dalam rombongan kami ada seorang yang tertuduh agamanya berkomentar dengan nada mengejek, ‘Angkatlah kaki kalian dari sayap para malaikat, janganlah kalian memecahkannya!’ Ternyata, dia seketika itu juga tidak bisa berjalan, dia tetap di tempatnya sampai kedua kakinya kering dan jatuh.”[4]
Kisah semisal juga diceritakan oleh ad-Dainawari dari Ahmad bin Syu’aib, Abu Dawud as-Sijistani berkata, “Suatu saat ketika kami belajar kepada seorang ahli hadits, ketika guru kami menyampaikan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Para malaikat meletakkan sayapnya untuk para penuntut ilmu.’ Di dalam majelis ada seorang Mu’tazilah yang melecehkan hadits ini seraya mengatakan, ‘Demi Allah, besok saya akan mengenakan sandal yang berpaku lalu akan kuinjakkan ke sayap para malaikat!’ Dia pun melakukannya, dan kedua kakinya langsung keras sehingga dimakan oleh rayap.” [5]
24. Antara Istighfar Atau Memuji Allah
Alangkah indahnya kisah Sirri as-Saqthi[6], di mana beliau selalu istighfar (memohon ampun) kepada Allah selama tiga puluh tahun lamanya karena ucapannya “Alhamdulillah” saat ada kebakaran di kota Baghdad yang melenyapkan rumah-rumah dan toko-toko di sana, namun sampai berita kepadanya bahwa tokonya selamat dari jilatan si jago merah sehingga dia pun memuji Allah. Akan tetapi, dia kembali intropeksi dan meralat sikapnya seraya mengatakan pada dirinya, “Seharusnya aku sedih atas musibah yang menimpa saudara-saudaraku yang beriman lainnya, bukan malah mengucapkan Alhamdulillah.” [7]
Subhanallah, alangkah indahnya akhlak mereka! Dan alangkah sucinya hati mereka. Mereka tidak rela untuk menari di atas penderitaan orang lain. Semoga Allah memberikan secercah cahaya kepada kita untuk bisa meniru akhlak indah mereka.
25. Menceraikan 5 Wanita Sekaligus
Al-Ashma’i pernah bercerita tentang seorang suami yang memiliki empat istri dan dia sosok suami yang bertipe kasar. Suatu saat dia pernah mendapati empat istrinya sedang berkelahi dan ribut, maka dia mengatakan, “Sampai kapan kalian ribut seperti ini? Saya yakin ini adalah karena ulahmu! (Sambil menunjuk seorang istrinya). Pergilah dariku karena aku telah menceraikanmu!”
Mendengar kata talak, istri kedua mengatakan, “Engkau terburu-buru menceraikannya, andai saja engkau menghukumnya dengan selain talak, niscaya akan lebih bagus.” Suaminya malah menjawab, “Kamu juga saya ceraikan!!”
Mendengarnya, istri ketiga mengatakan, “Semoga Allah menjelekkanmu, kedua istrimu itu sangat baik denganmu, mereka berdua selalu memuliakanmu, kenapa kamu begitu tega menceraikan keduanya?!” Suaminya menjawab, “Kamu juga sok membela keduanya, saya ceraikan kamu juga.”
Istri keempat yang dikenal dengan kelembutan mengatakan, “Nanti engkau akan menyesal karena telah menceraikan istri-istrimu.” Suaminya menjawab, “Kamu juga saya ceraikan sekarang.”
Ternyata kejadian tadi didengarkan oleh istri tetangga rumah yang muncul tiba-tiba seraya mengatakan, “Demi Allah, bangsa Arab tidak menilai kalian lemah kecuali karena melihat perbuatan kalian, masak kamu menceraikan empat istrimu dalam satu waktu sekaligus!!” Dia menjawab, “Kamu juga wahai wanita yang ikut-ikutan membela, diceraikan, jika suamimu menyetujuinya.” Ternyata suami tetangga tersebut menjawab dari rumah, “Saya telah setuju, saya telah setuju!!!” [8]
Di antara faedah fiqih kisah ini bahwa talak model seperti ini adalah sah, hanya saja yang menjadi masalah adalah apakah suami menjatuhkannya dalam keadaan emosi dan marah? Jika benar demikian maka hal ini kembali kepada perselisihan ulama tentangnya. Imam Ibnul Qayyim menulis risalah khusus tentang hukum talak suami yang menjatuhkannya dalam keadaan emosi berjudul Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaq al-Ghadhban.
26. Lelaki Bercadar
Dalam biografi Abul Hasan al-Wa’idz yang dikenal dengan “al-Mishri” disebutkan bahwa beliau memiliki majelis ta’lim untuk memberikan nasihat. Hadir dalam majelisnya tersebut kaum pria dan wanita, sehingga dia pun mengenakan cadar untuk menutupi wajahnya karena khawatir wanita terfitnah oleh keelokan wajahnya. [9]
Namun, perbuatan beliau ini tidak disyari’atkan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang sangat tampan, tetapi tidak dinukil bahwa beliau mengenakan cadar. [10]
27. Tak Selamat dari Hukuman
Dahulu, ada seorang prajurit raja yang divonis hukuman qishash (mati). Ketika dia sudah diseret ke lapangan guna dihukum mati, sang raja menyelamatkannya dan membayarkan diyat kepada keluarga korban. Sang prajurit akhirnya diberi tugas oleh raja untuk mengurusi kebun miliknya. Suatu saat, mesin pengairan air mati, maka prajurit tersebut turun ke sumur guna memperbaiki sumbatannya. Tiba-tiba saja, sepotong besi jatuh tepat mengenai kepalanya sehingga putus dan lepas dari jasadnya, sama persis seperti dipenggal dengan pedang. [11]
Allah Mahaadil dan Mahabijaksana. Di saat manusia berbuat dosa yang semestinya mendapatkan hukuman, maka ingatlah sekalipun dia bisa selamat dari hukuman manusia, tetapi dia tak akan meleset dari hukuman Allah.
28. Batas Minimal dan Maksimal Kehamilan
Biasanya, wanita melahirkan ketika usia kandungan bayinya sembilan bulan. Namun, ternyata ada beberapa orang yang di luar kebiasaan tersebut. Berikut ini contoh ulama yang lahir dalam usia kandungan lebih dari sembilan bulan:
- Muhammad bin Ajlan al-Madani, beliau dalam kandungan ibunya selama tiga atau empat tahun.
- Imam Malik bin Anas, beliau dalam kandungan ibunya selama dua atau tiga tahun.
- Dhahak bin Muzahim, tabi’in yang mulia, lahir dalam usia dua tahun dan sudah memiliki gigi sehingga dinamai dhahak (tertawa).
- Atha‘ bin Abi Muslim, tiga tahun.
- Muhammad bin Nashr al-Marwazi, tiga puluh bulan lamanya.
- Abdullah bin Ahmad ar-Ribathi al-Marwazi, lima tahun.[12]
Para ulama sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Contohnya, Abdul Malik bin Marwan, dia dilahirkan dalam usia kandungan hanya enam bulan sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Qutaibah dalam al-Ma’ārif. Adapun batas maksimalnya, tidak ada batasan tertentu dalam al-Qur‘an dan Sunnah. [13]
29. Meralat Kesalahan Dalam Fatwa
Suatu saat, Hasan bin Ziyad al-Lu‘lu‘i pernah ditanya tentang suatu masalah, ternyata beliau salah memberikan fatwa. Beliau ingin meralatnya tetapi tidak mengenal si penanya. Maka beliau menyewa seseorang untuk mengumumkan kepada manusia: “Hasan bin Ziyad pernah ditanya hari ini tentang masalah ini dan dia keliru dalam fatwanya. Barangsiapa yang bertanya demikian maka hendaknya dia kembali kepada beliau.” Dalam masa-masa menunggu itu, beliau tidak berfatwa sehingga bertemu dengan si penanya. Akhirnya, ketemu juga si penanya tersebut dan Hasan bin Ziyad menyampaikan bahwa dia telah salah, dan jawaban yang benar seharusnya demikian.
Ibnul Jauzi Rahimahullahuta’ala berkata, “Persis dengan ini adalah kisah sebagian guru kami bahwa dia pernah memberikan fatwa kepada seseorang yang tinggal di sebuah desa yang jarak antara keduanya empat farsakh. Tatkala orang tersebut pergi, dia berpikir ulang, ternyata dia menyadari bahwa jawabannya keliru. Dia pun berjalan kepada si penanya dan menyampaikan bahwa dia keliru. Akhirnya, setelah kejadian tersebut, setiap kali dia ditanya suatu masalah, maka dia akan berpikir lama seraya mengatakan, ‘Saya tidak kuat lagi untuk berjalan empat farsakh!”. [14]
Demikianlah adab ulama salaf, mereka tidak sombong untuk meralat kesalahan fatwanya sekalipun harus menanggung risiko yang cukup berat. Maka bandingkanlah dengan sikap kebanyakan kita pada zaman ini yang begitu mudah berfatwa dan sangat sulit kembali kepada kebenaran!!
30. Kuatnya Hafalan Orang Badui
Suatu saat, Isma’il bin Umayyah meriwayatkan sebuah hadits dari seorang Badui, lalu dia pun kembali mengecek ulang kekuatan hafalan orang badui tersebut, maka si badui mengatakan, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau meragukan hafalan saya?! Saya telah berhaji sebanyak enam puluh atau tujuh puluh kali. Setiap haji yang saya tunaikan, saya pasti ingat unta mana yang saya kendarai saat itu?!” [15]
Di antara faedah kisah ini adalah sering menunaikan haji adalah suatu hal yang bagus dan dianjurkan. Banyak sekali para ulama salaf yang sering melakukan ibadah haji, seperti Atha‘ beliau berhaji tujuh puluh kali, Ali bin Muwaffaq enam puluh kali, Thawus empat puluh kali, dan sebagainya. [16]
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
[1] (ash-Sharimul Maslul ’ala Syatimir Rasul hlm. 171 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
[2] (Siyar A’lam an-Nubala’ 1/618–619. Lihat pula al-Bidayah wan Nihayah 16/199 oleh Ibnu Katsir)
[3] (Bustanul ’Arifin hlm. 113–114 oleh Imam Nawawi, cet. Dar Ibnu Hazm. Lihat pula kisah lebih detail dalam al-Bidayah wan Nihayah 13/249 oleh Ibnu Katsir.)
[4] (Dzammul Kalam wa Ahlihi 4/369 oleh al-Harawi). Al-Hafizh Abdul Hafizh Rahimahullahuta’ala berkata, “Sanad kisah ini sangat nyata (keshahihannya) karena semua perawinya adalah para imam dan ulama besar.” (Bustanul ’Arifin hlm. 112)
[5] (al-Mujalasah no. 2151. Lihat pula Miftah Dar Sa’adah 1/256 oleh Ibnul Qayyim.)
[6] Dia adalah salah seorang ahli ibadah yang zuhud. Lihat Tārīkh Baghdād 9/188 dan Hilyatul Auliyā‘ 10/117–127.
[7] (al-I’lām bi Fawāid ’Umdatil Ahkām 1/85 oleh Ibnul Mulaqqin)
[8] (Daulah Nisā‘ hlm. 646 oleh al-Burquqi)
[9] (Tārīkh Baghdād 12/75-76 oleh al-Khathib al-Baghdadi)
[10] (ar-Radd al-Mufhim hlm. 12 oleh al-Albani)
[11] (al-Amtsāl al-Yamaniyyah 1/79)
[12] (Lihat kisah-kisahnya dalam biografi mereka dalam Siyar A’lāmin Nubalā‘ oleh adz-Dzahabi dan Shifātush Shafwah oleh Ibnul Jauzi.)
[13] (Adhwāul Bayān 3/100 oleh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi)
[14] (Ta’zhīmul Futya hlm. 91–92 oleh Ibnul Jauzi, tahqiq Masyhur bin Hasan Salman)
[15] (al-Musnad oleh al-Humaidi no. 995, Sunan Abū Dāwūd no. 887, Musnad Ahmad 2/437, ’Amalul Yaumi wal Lailah Ibnu Sunni no. 436)
[16] (Lihat Hākadzā Hajja ash-Shālihūn wash Shālihāt hlm. 23–27 oleh Dr. Ali bin Abdillah ash-Shayyah).