Menggali Ilmu Hadits Ya Aba Umair

Menggali Ilmu Hadits Ya Aba Umair

Saudaraku seiman -semoga Allah memberkahimu-, marilah kita bersama menjadi pembela sunnah Nabi. Marilah kita siapkan diri kita dengan bekal ilmu dan kekuatan untuk Nabi dalam haditsnya:

نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا

Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar sebuah hadits dariku lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar. [1]

Al-Khathib al-Baghdadi berkata: “Allah menjadikan golongan selamat sebagai penjaga agama dan penangkis tipu daya para penyimpang, disebabkan keteguhan mereka dalam menjalankan syari’at Islam dan meniti jejak para sahabat dan tabi’in. Sungguh betapa banyak para penyeleweng yang ingin mencampuradukkan syari’at dengan kotoran lainnya, lalu Allah membela agamaNya melalui para ahli hadits yang siap membela dan menjaga pondasi-pondasi agama. Merekalah pasukan Allah, ketahuilah bahwa pasukan Allah pasti beruntung”.[2]

Demikianlah keutamaan para ahli hadits!! Tapi anehnya, masih banyak suara sumbang yang melecehkan para ulama ahli hadits!! Sungguh, amat celaka para gerombolan yang begitu hobi mencela para ulama ahli hadits, sehingga hampir tidak ada waktu dan kesempatan kecuali mereka gunakan untuk mencala ahli hadits dan menuding mereka dengan gelar-gelar mengerikan, padahal sebenarnya hal itu justru malah membinasakan diri mereka sendiri![3]

Beragam cara dan kata yang mereka utarakan, di antaranya: “Ahli hadits tidak mengerti fiqih hadits[4]”!! Sungguh ini merupakan kejahilan yang amat sangat dan ucapan seperti ini tidak lain kecuali hanya keluar dari mulut orang-orang yang jahil[5]. Di antaranya lagi ada yang mengatakan: Ahli hadits meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada faedahnya!!

Sebagian manusia mencela ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya seperti hadits Abu Umair ini.  Padahal tahukah mereka bila ternyata  hadits ini  menyimpan faedah dalam masalah fiqih, aqidah, kaidah, adab dan faedah lainnya sehingga mencapai enam puluh point faedah?!”.

Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas hadits ini, sebagai pembelaan terhadap Nabi dan para ulama ahli hadits, serta untuk membungkam mulut-mulut para pencela hadits dan ahli hadits. Kita memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

 TEKS HADITS

            Hadits ini memiliki beberapa lafadz yang berbeda, kami akan memilih sebagiannya yang disebutkan oleh Ibnul Qosh dalam Fawaid Hadits Abu Umair sehingga memudahkan kita untuk mengambil fawaidnya:

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُخَالِطُنَا, وَنَضَحْنَا لَهُ بَسَاطًا لَنَا, فَصَلَّى عَلَيْهِ وَكَانَ يَقُوْلُ لأَخٍ لِيْ : يَا أَبَا عُمَيْرِ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟

Dari Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata, ”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berziarah kepada kami, dan kami membersihkan tikar milik kami untuk beliau, kemudian beliau sholat di atasnya, beliau berkata kepada saudaraku:, ’Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh nughair?!

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ t قَالَ : كَانَ بَنِيٌّ لأَبِيْ طَلْحَةَ يُكْنَى أَبَا عُمَيْرٍ, وَكَانَ النَّبِيُّ إِذَا جَاءَ إِلَى أُمِّ سُلَيْمٍ مَازَحَهُ, فَدَخَلَ فَرَآهُ حَزِيْنًا فَقَالَ : مَا بَالُ أَبِيْ عُمَيْرٍ حَزِيْنًا؟ فَقَالُوْا : مَاتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ نُغَيْرُهُ الَّذِيْ كَانَ يَلْعَبُ بِه,ِ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ يَقُوْلُ : أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ ؟ قَالَ أَنَسٌ : وَمَا مَسَسْتُ شَيْئًا قَطُّ خُزَّةً وَ لاَ حَرِيْرَةً أَلْيَنَ مِنْ كَفِّ رَسُوْلِ اللهِ

 

Dari Anas bin Malik berkata: Abu Tholhah memiliki anak yang berkunyah Abu Umair. Nabi apabila dating kepada Ummu Sulaim mencandainya, suatu saat Nabi melihatnya sedih, maka beliau bersabda: Mengapa saya lihat Abu Umair sedih? Mereka mengatakan: Wahai rasulullah, burung kecilnya mainannya mati, kemudian Rasulullah bersabda: ’Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh nughair?! Anas berkata: Saya tidak pernah menyentuh sesuatupun baik khuzzah (kain yang terbuat dari wol dan sutra) dan kain sutra yang lebih halus daripada telapak tangan Rasulullah.

 TAKHRIJ HADITS

Asli hadits ini adalah SHOHIH diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadits. Di antaranya Imam Bukhori 5778, Muslim 2150, ath-Thoyyalisi 2088, Ahmad 3/119, Abu Dawud 4969, Tirmidzi 333, Nasai 10165, Ibnu Majah 3720, Abu Awanah 1501, Ath-Thohawi 4/194, Ibnu Hibban 2308, Ibnu Abi Syaibah 4042 dan lain sebagainya banyak sekali.

At-Tirmidzi berkata: “Hasan Shohih”.

Al-Baghowi berkata: “Hadits ini disepakati kesahihannya”

Ibnu Asakir berkata: “Hadits ini disepakati keshahihannya”

Al-Uqaili: “Hadits masyhur shahih dari Anas”

Al-Iraqi berkata: “Hadits shohih”.

 FAWAID HADITS

Sebagian orang mencela ahli hadits sembari berceloteh: “Ahli hadits kurang kerjaan aja, masa’  meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada faedahnya seperti ini”. Mengetahui hal itu, maka bangkitlah seorang ulama ahli hadits bernama Abul Abbas Ahmad bin Abi Ahmad ath-Thobari asy-Syafi’I, yang dikenal dengan Ibnul Qhosh untuk melakukan penelitian hadits ini dan mengeluarkan enam puluh faedah ilmu dari hadits ini, semua itu beliau tuangkan dalam risalahnya “Juz Fiihi Fawaid Hadits Abi Umair”.[6]

Di awal pembukaannya, beliau mengatakan: “Adapun hadits Abu Umair, maka berikut ini saya akan memaparkan riwayatnya dan mengeluarkan enam puluh butir-butir ilmu berupa fiqih, sunnah, faedah dan hikmah, agar pencela ahli hadits mengetahui keutamaan ahli hadits dan agar mereka menutup mulut dari mencela ulama ahli hadits”.[7]

Berikut ini kami kutip 12 point penting dari  beliau dengan beberapa perluasan:

 1. Tawadhu’, sebuah akhlak yang mulia

Sungguh sangat mulia akhlak Rasulullah, salah satu yang beliau tunjukkan dalam hadits ini adalah sikap tawadhu’nya kepada kaum lemah, beliau berziarah ke rumah mereka, bercanda dengan anak kecil, sholat di rumah mereka dan sebagainya, padahal siapakah beliau?! Beliau adalah pemimpin dan manusia terbaik di dunia!!

Ini hanyalah sekedar contoh, di sana masih banyak lagi sikap-sikap beliau lainnya yang menunjukkan tawadhu’nya beliau, baik sesama keluarganya, sahabatnya, dalam pakaiannya, makanannya dan lain sebagainya[8].

Oleh karenanya, seyogyanya bagi kita untuk meniru akhlak beliau dan menerapkannya dalam kehidupan kita. Yakinlah, bahwa hal itu akan semakin meninggikan derajat kita. Sebaliknya, yakinlah bahwa kesombongan hanyalah semakin merendahkan kita. Rasulullah bersabda:

مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللهُ

Barangsiapa yang tawadhu karena Allah, maka Allah akan meninggikannya. (Lihat ash-Shahihah: 2328)

Alangkah indahnya ucapan penyair:

 

تَوَاضَعْ تَكُنْ كَالنَّجْمِ اسْتَبَانَ لِنَاظِرِ

عَلَى صَفَحَاتِ الْمَاءِ وَهُوَ رَفِيْعُ

وَلَمْ تَكُ كَالدُّخَانِ يَرْفَعُ نَفْسَهُ

                             إِلَى طَبَقَاتِ الْجَوِّ وَهُوَ وَضِيْعُ

Bertawadhu’lah, niscaya engkau akan seperti bintang

Dia menerangi orang yang melihatnya di atas air padahal dia tinggi di atas

Janganlah dirimu seperti asap yang mengangkat dirinya

Ke udara tinggi padahal dia sebenarnya rendah.[9]

 2. Etika Jabat Tangan

            Jabat tangan hukumnya sunnah ketika bertemu, baik ketika berziarah maupun tidak. Oleh karena itu, Anas berjabat tangan dengan Rasulullah. Beliau sendiri pernah mengatakan:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Jika dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan dan memuji Allah dan meminta ampun padaNya maka diampuni dosa keduanya”. (HR. Abu Dawud 5212, at-Tirmidzi 2/121, Ibnu Majah 3703, Ahmad 4/289 dan dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah: 525).

Al-Mubarokfuri berkata: “Hadits ini menunjukkan disunahkannya berjabat tangan ketika bertemu”.[10]

Namun perhatikan bersamaku perkataan Anas “Tidaklah saya meyentuh tangan”. Beliau mengatakan “saya” dan tidak mengatakan “kami’ sehingga mencakup Ummu Sulaim juga, karena memang Nabi hanya berjabat tangan dengan kaum pria saja, bukan dengan kaum wanita, bahkan ketika bai’at-pun beliau tidak berjabat tangan dengan para wanita. Lebih tegas lagi, Nabi bersabda:

لأَنْ  يُطْعَنَ  فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍِ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

  Sungguh kepala laki-laki ditusuk dengan jarum dari jarum besi (maka itu) lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya. (HR Ath-Thobaroni dalam Mu’jam Kabir 20/174 dan dishahihkan Ibnu Hajar dalam Mukhtashor Targhib hlm. 197 dan al-Albani dalam ash-Shahihah no. 226)

Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Hadits ini menunjukkan haramnya jabat tangan antara lawan jenis karena ini masuk dalam kategori menyentuh sebagaimana tidak samar. Hal ini banyak melanda kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang, termasuk juga orang yang dianggap berilmu!! Bahkan sebagian gerakan Islam membolehkan bahkan menganjurkan bagi para anggotanya dengan berpegang pada syubhat-syubhat yang lemah.[11]

Dengan demikian, maka dapat kita fahami bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis hukumnya tidak boleh, apalagi hal ini sudah menjadi kesepatan ulama.[12]

 3. Ternyata Rasululllah Pernah Sholat di atas tikar

Dalam hadits di atas dan hadits-hadits lainnya, terdapat dalil bolehnya sholat di selain tanah, baik tikar, karpet, kain, keramik dan lainnya. Imam Tirmidzi berkata: “Hadits anas ini hasan shohih. Inilah yang diamalkan oleh amyoritas ahli ilmu semenjak sahabat dan setelahnya, mereka memandang bahwa sholat di atas tikar. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq”.

Seandainya sholat itu wajib di atas tanah, tentu Nabi akan menyingkap atau menyuruh sahabat Anas untuk menjauhkan tikar tersebut darinya, padahal ada suatu kaidah:

تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَ يَجُوْزًُ

 ”Tidak boleh menunda penjelasan di saat dibutuhkan”.

Faedah ini merupakan bantahan terhadap  suatu fiqih aneh bin ganjil yang belum penulis ketahui kecuali pada zaman ini, dimana ada seorang yang berpemahaman bahwa sholat itu wajib di atas tanah, bahkan dia menulis fiqih ganjilnya tersebut dalam sebuah kitab berjudul “Sholat Wajib Di Atas Tanah” atau judul lengkapnya ”Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan Sholat Wajib di Atas Tanah Tanpa Tikar dan Sajadah”.[13]

4. Asalnya suci sampai ada dalil yang menajiskannya

Ini adalah sebuah kaidah yang penting, yaitu:

الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الطَّهَارَةُ

Asal segala sesuatu adalah suci.

Hal ini mencakup tanah, air, pakaian[14], batu dan sebagainya, semuanya pada asalnya adalah suci sampai ada dalil yang menajiskannya. Salah satu dalil yang mendasari hal ini adalah hadits Nabi:

وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

Dan tanah dijadikan bagiku sebagai tempat dan alat bersuci. (HR. Bukhori 328 dan Muslim 521)

Adapun segi pendalilannya dari hadits ini karena Nabi sholat di rumah tersebut, padahal dia tahu bahwa di rumah tersebut ada anak kecil yang ada kemungkinan dia ngompol atau mengeluarkan kotoran dan sebagainya. Namun, Nabi tidak mempermasalahkan hal itu karena memang kaidah asalnya segala sesuatu itu suci sampai kita yakin akan najisnya.

 5. Sholat di Tempat yang lebih nyaman lebih utama

Segi pendalilannya, karena Nabi sholat di tikar yang sudah dibersihkan, dan tidak sholat di tanah saja. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa yang lebih utama bagi seorang yang akan sholat adalah memilih keadaan dan tempat yang lebih nyaman agar dia lebih khusyu’ dalam sholatnya. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan kepada seorang apabila makanan telah siap dan sholat dikumandangkan agar mendahulukan makan terlebih dahulu, dan beliau juga melarang orang untuk sholat sedangkan dia menahan kencing atau berak, semua itu agar seorang khusyu’ di dalam sholatnya. Dalam kaidah, dikatakan:

مُرَاعَاةُ ذَاتِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنْ مُرَاعَاةِ مَكَانِهَا أَوْ صِفَتِهَا

Menjaga dzat ibadah lebih utama daripada menjaga tempat maupun sifat ibadah.

Faedah ini membantah sebagian kalangan yang lebih memilih untuk mempersusah keadaan dengan alasan agar pahalannya lebih utama, seperti ada di antara ahli ibadah apabila mau sholat maka dia memakai baju panas dan memikat kaki mereka tatkala sholat malam. Semua ini adalah berlebih-lebihan yang dilarang dalam agama.

Adapun makna kaidah ulama: “Pahala itu tergantung beratnya amal perbuatan” adalah bila keberatan tersebut suatu hal yang lazim dalam ibadah, seperti beratnya perjalanan manasik haji atau mengambil air wudhu tatkala musim dingin mencekam dan lain sebagainya, bukan ibadah yang seorang masih ada peluang untuk mencari yang lebih nyaman. Wallahu A’lam.

 6. Khobar Ahad adalah hujjah

Segi pendalilannya, karena Nabi bertanya kepada sebagian sahabat tentang keadaan Abu Umair, lalu mereka menjawabnya dan Nabi membenarkannya. Seandainya khobar ahad tidak diterima, tentunya Nabi akan menunggu jawaban para sahabat agar mencapai mutawatir terlebih dahulu!!

Faedah ini membantah faham sebagian kalangan yang menolak hadits-hadits Rasulullah dengan alasan karena haditsnya hanya ahad!!

Imam Syafi’i berkata: “Saya tidak mendapati perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang menerima hadits ahad”. [15]

Imam Abu Mudhoffir As-Sam’ani berkata: “Sesungguhnya suatu hadits apabila telah shahih dari Rasulullah  maka dia mengandung ilmu. Inilah perkataan seluruh ahli hadits dan sunnah. Adapun faham yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak mengandung ilmu dan harus berderajat mutawatir, maka faham ini hanyalah dibuat-buat oleh kaum Qodariyyah dan Mu’tazilah dengan bertujuan menolak hadits Nabi. Faham ini kemudian diusung oleh orang-orang belakangan yang tidak berilmu mantap dan tidak mengetahui tujuan faham ini.

Seandainya setiap kelompok mau adil, sungguh mereka akan menetapkan bahwa hadits ahad mengandung ilmu karena engkau lihat sekalipun keadaan mereka yang compang-camping dan beragam aqidah mereka, namun setiap kelompok dari mereka berhujjah dengan hadits ahad untuk menguatkan fahamnya masing-masing”.[16]     

 7. Bolehnya anak kecil bermain dengan burung, dan bolehnya mengurung burung di sangkar dan sejenisnya.

Memelihara burung hukumnya adalah boleh, karena hal itu termasuk urusan dunia, dan kaidahnya:

الأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَرِدَ الْمَنْعُ

“Asal dalam masalah dunia adalah boleh sehingga ada dalil yang melarangnya”.

Apalagi, ada beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya, seperti hadits pembahasan kita ini. Namun hal itu dengan syarat memberinya makan dan minum serta kebutuhan-kebutuhan lainnya, sebagaimana dikatakan oleh al-‘Iraqi dalam Thorhu Tatsrib berdasarkan hadits tentang wanita yang disiksa di neraka karena sebab kucing “Dia tidak memberinya makan dan minum”.[17]

 8. Sayang Anak Kecil

Hadits ini menunjukkan kepada kita kasih saying Nabi kepada anak kecil. Oleh karena itu, maka hendaknya bagi orang tua bersikap kasih dan sayang terhadap anak-anak mereka, sebab hal itu dianjurkan oleh agama. Demikian pula, hendaklah menjauhi sikap kasar dan keras, sebab hal itu dilarang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suri tauladan yang baik dalam masalah ini.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَبَّلَ رَسُوْلُ اللهِ r الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيْمِيُّ جَالِسًا, فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ ليِ عَشْرَةً مِنَ الْوَلَدِ, مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا, فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ r ثُمَّ قَالَ : مَنْ لاَيَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium al-Hasan bin Ali sedang Aqra’ bin Habis duduk di sisinya. Aqra’ mengatakan, “Saya mempunyai sepuluh anak, belum pernah saya mencium seorang pun di antara mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  memandangnya seraya berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidaklah disayang.” (HR. Bukhari 5997, Muslim 2318).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ r لَيُدْلِعُ لِسَانَهُ لِحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ فَيَرَى الصَّبِيُّ حُمْرَةَ لِسَانِةِ فَيَبْهَشُ إِلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjulurkan lidahnya kepada Hasan bin Ali sehingga anak kecil itu melihat warna merah lidah beliau lalu mengulurkan tangan untuk meraihnya.” (HR. Abu Syaikh dalam Akhlaq Nabi r hal. 90, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 13/180/3603 dengan sanad hasan sebagaimana dikatakan al-Iraqi dan disetujui al-Albani dalam ash-Shahihah 70).

Hadits-hadits tersebut memperlihatkan kepada kita betapa agungnya akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan anjuran kepada kita untuk sayang terhadap anak-anak. Maka luangkanlah waktumu untuk bercanda dengan anak dengan tanpa berlebihan, karena jika berlebihan juga tidak bagus dan menghilangkan wibawa orang tua di depan anak.

 9. Kunyah bagi Yang belum Punya Anak

Kunyah (baca: kun-yah) yaitu nama yang diawali dengan ”Abu” jika laki-laki dan ”Ummu” jika perempuan. Hal ini merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan, sebagaimana kata syair:

أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ

                   وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ

Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya

Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.

Hadits di atas menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan bagi orang dewasa, sekalipun belum punya anak. Oleh karena itu, merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak.[18] Maka hal ini membantah pendapat sebagian kalngan yang melarang kunyah bagi yang belum punya anak. Hal ini diperkuat lagi dengan hadits lainnya sebagai berikut:

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ e : يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ e : إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ

Dari Urwah bahwasanya Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu Aisyah selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun. (HR. Ahmad 6/107, 151, Abu Dawud 4970, Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf 19858 dengan sanad shahih).

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum punya anak. Maka hendaknya kaum muslimin menerapkan sunnah ini baik kaum pria maupun wanita. Karena hal ini termasuk adab Islam yang tidak ada dalam agama-agama lainnya sepengetahuan kami. Sungguh amat disayangkan banyak di antara kaum muslimin yang melupakan sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai banyak anak, apalagi lagi yang belum punya anak![19]

 10. Rasulullah juga Bercanda

            Rasulullah adalah sosok yang sangat mulia akhlaknya, salah satunya beliau kadang bercanda kepada istrinya, para sahabatnya[20], di antaranya adalah canda beliau dengan anak kecil dalam hadits ini.

Tapi ingat, canda Nabi adalah canda yang tiada kedustaan di dalamnya dan tidak melampui batas, sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagian kalangan, bahkan ada sebagian yang menjadikannya sebagai pekerjaan!! Imam Ibnu Hibban menjelaskan bahwa bahwa canda ada dua macam:

Pertama: Canda yang terpuji, yaitu canda yang tidak tercampuri dengan dosa dan tidak memutus hubungan.

Kedua: Canda yang tercela, yaitu canda yang menyebabkan permusuhan, menghilangkan wibawa, dan dengan dusta.[21]

 11. Firasat itu memang ada

Faedah ini diambil dari lafadz: “Lalu Nabi melihatnya sedih”. Hal itu menunjukkan adanya firasat, karena melihat raut muka seorang. Firasat seperti ini bukanlah termasuk mengetahui ilmu ghoib sama sekali. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa firasat terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: Firasat imaniyyah, yaitu firasat yang merupakan ilham dari Allah kepada sebagian hambaNya yang beriman, ini adalah sebuah keluarbiasaan atau biasanya disebut dengan karomah, seperti halnya Khalifah Umar bin Khoththob dan lainnya[22]. Firasat ini khusus bagi orang-orang beriman. Tapi ingat, bahwa firasat bukanlah dalil yang kuat. Oleh karena itu firasat tidak bisa dijadikan landasan hukum syar’I dengan kesepakatan ulama[23].

Kedua: Firasat Riyadhiyyah, yaitu firasat orang yang biasanya lapar dan menyepi, sebagaimana biasanya terjadi pada ahli ibadah. Firasat ini tidak menunjukkan keimanan atau wali, karena firasat ini mencakup mukmin dan kafir. Anehnya banyak orang-orang jahil tertipu dengannya.

Ketiga: Firasat Kholqiyyah thabi’iyyah, yaitu firasat dengan melihat postur tubuh seorang, seperti orang yang besar kepalanya pertanda pintar, besar dadanya pertanda orang yang ramah dan seterusnya. Hal ini bisa terjadi karena dengan hikmah Allah ada keterkaitan antara lahir dan bathin[24]

 12. Menghibur orang yang sedih

Sesungguhnya menghibur orang-orang yang sedih, baik karena kena musibah, sakit, cacat dan sebagainya merupakan suatu amalan yang sangat utama. Oleh karena itu, dalam hadits ini Nabi menghibur Abu Umair yang sedih karena burungnya mati. Rasulullah juga pernah bersabda:

أَفْضَلُ الأَعْمَالِ أَنْ تُدْخِلَ عَلَى أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ سُرُوْرًا أَوْ تَقْضِيَ عَنْهُ دَيْنًا أَوْ تُطْعِمَهُ خُبْزًا

Amalan yang paling utama adalah engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman atau membayarkan hutang atau memberikan makanan roti padanya. (HR. Ibnu Abi Dunya dan ad-Dailami dengan sanad hasan. Lihat Ash-Shahihah no. 1494)

Sungguh hal ini merupakan keindahan syari’at Islam yang mulia ini, karena orang-orang tersebut adalah kaum yang lemah mentalnya dan sangat membutuhkan hiburan. Oleh karena itu, kita lihat orang-orang yang menyebarkan kristenisasi menjadikan hal ini sebagai salah satu lahan untuk menyebarkan program mereka, mereka mendatangi para pasien di rumah sakit yang tidak dijenguk oleh keluarganya atau dalam kesusahan membayar biaya pengobatannya, lalu merekapun datang mendengarkan keluhan mereka, menghibur dan membantu mereka, setelah itu secara perlahan mereka memasukkan program jahat mereka!!

Maka hendaknya kita bersemangat menghidupkan amalan utama ini dalam kehidupan keseharian kita bersama keluarga kita, sahabat kita, masyarakat kita dan sebagainya, dengan ucapan, perbuatan, harta dan sebagainya, semoga Allah melipatgandakan pahala bagi kita. Amiin.

Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawy



[1] Mutawatir. Sebagaimana ditegaskan oleh as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal. 5, az-Zabidi dalam Luqathul Alai al-Mutanatsirah hal. 161-162, al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 24, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam Dirasah Hadits Nadhdhara Allah Imra’am Sami’a Maqalati, Riwayah wa Dirayah hal. 21. (Lihat pula Faidhul Qadir al-Munawi 6/284 dan Kifayah al-Hafadzah Salim al-Hilali hal. 278-279)

[2]  Syaraf Ashabil Hadits, al-Khathib al-Baghdadi hal. 31

[3] Lihat al-Inthishar li Ashabil Hadits Abul Mudhaffar as-Sam’ani hal. 1-2

[4] Aduhai, wahai para pencela ulama, apakah engkau lebih mengerti tentang fiqih hadits daripada orang yang engkau cela?! Bercerminlah terlebih dahulu dan simaklah bersamaku kisah berikut yang semoga bisa menjadikan pelajaran berharga bagi kita bersama: Al-Khathib al-Baghdadi menceritakan dari Abdullah bin Hasan al-Hisnajani: “Saya pernah di Mesir, saya mendengar seorang hakim mengatakan di Masjid Jami’: “Ahli hadits adalah orang-orang miskin yang tidak mengerti fiqih!!”. Saya -yang saat itu kurang sehat- mendekati    hakim tersebut seraya mengatakan: “Para sahabat Nabi berselisih tentang luka pada kaum lelaki dan wanita, lantas apa yang dikatakan Ali bin Thalib, Zaid bin Tsabit  dan Abdullah bin Mas’ud? Hakim tersebut lalu diam seribu bahasa. Kemudian saya katakan padanya: “Tadi engkau mengatakan bahwa ahli hadits tidak mengerti fiqih, sedangkan saya saja orang ahli hadits yang rendah menanyakan hal ini kepadamu namun engkau tidak mampu menjawabnya, lantas bagaimana engkau menuding bahwa ahli hadits tidak mengerti, padahal engkau sendiri saja tidak mengerti?!! (Syaraf Ashabil Hadits hal. 142)

[5] Sebagaimana dikatakan Ibnu Aqil dalam pembelaannya kepada Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal Ibnul Jauzi hal. 67)

[6] Risalah ini telah tercetak oleh Maktabah As-Sunnah, Kairo, cet pertama Th. 1992 dengan tahqiq Shobir Ahmad al-Bathowi.

[7] Lihat pula Fathul Bari Ibnu Hajar 10/716, Mu’jam Al-Mushannafat fi Fathil Bari Masyhur Hasan hal. 167-168

[8] Lihat buku At-Tawadhu’ wa Manzilatuhu Minad Din oleh Syaikh Husain al-Awaisyah dan At-Tawadhu’ fi Dhouil Qur’an Karim wa Sunnah ash-Shahihah oleh Syaikh Salim al-Hilali.

[9] A’yanul Ashar, ash-Shofadi 3/24, http://www.alwarraq.com

[10] Tuhfatul Ahwadzi  7/429.

[11] Silsilah Ahadits ash-Shahihah 1/448-449, al-Albani.

[12] Lihat risalah Adillatu Tahrim Mushofahah Ajnabiyyah oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Ismail, dan telah diringkas oleh akhuna al-Ustadz Abu Ibrahim dalam Majalah Al Furqon edisi. 10/Th. VI.

[13] Lihat bantahan selengkapnya dalam tulisan akhuna al-Ustadz Abu Ibrahim dalam Majalah Al Furqon edisi 4/Th. 6.

[14] Oleh karena itu, tidak dinukil dari Nabi bahwa beliau mencuci pakaiannya usai mendapatkannya atau membelainya, walaupun dari orang-orang kafir. Wallahu A’lam.

[15] Ar-Risalah hal.457 tahqiq Syeikh Ahmad Syakir.

[16] Sebagaimana dinukil oleh Al-Asbahani dalam kitabnya Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/228-230.

[17] Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/39, al-Muru’ah Masyhur bin Hasan hlm. 185.

[18] Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/26278).

[19] Silsilah Ahadits ash-Shahihah al-Albani (132).

[20] Lihat buku “Marwiyyat al-Muzah wa Dia’bah” oleh Syaikh Fahd bin Nifayyi’. Lihat pula tulisan shohibuna al-Ustadz Abu Abdillah “Beginilah Bila Nabi Bercanda” dalam Al Furqon edisi 8/Th.7.

[21] Roudhatul Uqola’ hlm. 77.

[22] Lihat kisah-kisah menarik tentang firasat para sahabat dan ulama dalam Ath-Thuruq al-Hukmiyyah oleh Ibnul Qoyyim hlm.35-96

[23] Imam Syathibi berkata: “Oleh karenanya, seandainya seorang mendapatkan mukasyafah bahwa barang ini dicuri, atau najis, saksi itu pendusta, harta itu untuk Amr dan sebagainya, maka hal itu tidak dibenarkan. Tidak boleh baginya berpindah kepada tayammum, meninggalkan persaksian dan saksi gara-gara firasat, karena kita diperintahkan untuk menghukumi sesuatu yang dhohir dengan hukum syari’at”. (Al-Muwafaqot, 2/184).

[24] Lihat Madarij Salikin Ibnul Qoyyim 3/360-365.

 

Baca Juga Artikel Terbaru

Leave a Comment