I. BID’AH PEMECAH BELAH UMAT
Bid’ah adalah penyebab utama perpecahan umat dan permusuhan di tengah-tengah mereka. Allah berfirman (yang artinya):
“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan,karena itu akan mencerai beraikan kalian dari jalanNya”. [1]
Setelah menyebutkan beberapa dalil-dalil bahwa bid’ah adalah pemecah belah umat, Imam Asy Syatibi mengatakan :”Semua bukti dan dalil ini menunjukan bahwa munculnya perpecahan dan permusuhan adalah ketika munculnya kebid’ahan”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Istiqomah 1/42 :
”bid’ah itu identik dengan perpecahan sebagaimana sunnah identik dengan persatuan.”
II. BILA BID’AH DIANGGAP SUNNAH
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tatkala mengatakan:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ يَهْرَمُ فِيْهَا الْكَبِيْرُ, وَيَرْبُوْ فِيْهَا الصَّغِيْرُ, إِذَا تُرِكَ مِنْهَا شَيْءٌ قِيْلَ تُرِكَتِ السُّنَّةُ. قَالُوْا : وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ : إِذَا ذَهَبَتْ عُلَمَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ, وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الآخِرَةِ, وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّيْنِ
Bagaimana sikap kalian apabila datang sebuah fitnah yang membuat orang-orang dewasa menjadi pikun, anak-anak menjadi tua dibuatnya, dan manusia menganggapnya sunnah, apabila ditinggalkan maka dikatakanlah, “Sunnah telah ditinggalkan.” Mereka bertanya, “Kapankah itu terjadi?” Beliau menjawab, “Apabila telah wafat para ulama kalian dan meninggal para pembaca kalian, sedikitnya orang-orang faqih kalian, banyaknya para pemimpin kalian, sedikitnya orang-orang yang amanah, dunia dikejar dengan amalan akhirat, ilmu selain agama dipelajari secara mendalam.”[5]
- Syaikh al-Albani menerangkan bahwa hadits ini sekalipun mauquf pada Ibnu Mas’ud tetapi dia tergolong marfu’ hukman (sampai kepada Nabi n/), lalu lanjutnya: “Hadits ini merupakan salah satu bukti kebenaran kenabian Nabi dan risalah yang beliau emban, karena setiap penggalan hadits ini telah terbukti nyata pada zaman kita sekarang, di antaranya banyaknya kebid’ahan dan banyaknya manusia yang terfitnah olehnya sehingga menjadikannya sebagai suatu sunnah dan agama, lalu ketika ada Ahlus Sunnah yang memalingkannya kepada sunnah yang sebenarnya, maka mereka mengatakan: “Sunnah telah ditinggalkan”.!! [6]
III. SENJATA PAMUNGKAS
- Dari Said bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua rakaat, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Said bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah aka menyiksaku dengan sebab shalat? “Beliau menjawab tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah”. [7]
- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengomentari atsar ini dalam Irwaul Ghalil 2/236 “Ini adalah jawaban Said bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlu Sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam dzikir, shalat dan lain-lain”.
IV. BID’AH HASANAH, ADAKAH?
Sungguh aneh bin ajaib apa yang dikatakan oleh al-Ghumari dalam bukunya “Itqon Shun’ah fi Tahqiqi Ma’na al-Bid’ah” hlm. 5: “Sesungguhnya para ulama bersepakat untuk membagi bid’ah menjadi dua macam; bid’ah terpuji dan tercela…Tidak ada yang menyelisihnya kecuali asy-Syathibi!!!”.
Demikian ucapannya, sebuah ucapan yang tidak membutuhkan keterangan panjang tentang bathilnya, karena para ulama salaf semenjak dahulu hingga sekarang selalu mengingkari bid’ah dan menyatakan bahwa setiap kebid’ahan adalah sesat. Alangkah bagusnya ucapan sahabat Abdulloh bin Umar tatkala berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dipandang oleh manusia sebagai suatu kebaikan. [8]
V. KELUARGA WARNA WARNI
Sungguh unik apa yang dikisahkan oleh Ibnu Hazm dalam Nuqothul Arus sebagaimana dalam Rosail Ibnu Hazm 2/112-115, di antaranya:
- Hirosy memiliki enam anak, dua anaknya Ahlu Sunnah, duanya lagi dari Khowarij, duanya lagi dari Rafidhoh, mereka saling bermusuhan, sehingga suatu kali bapak mereka mengatakan: “Sesungguhkan Allah telah mencerai beraikan hati kalian!!”.
- Sayyid al-Himyari Kisani adalah seorang Syi’ah, sedangkan kedua orang tuanya adalah khowarij, anaknya suka melaknat kedua orang tuanya dan kedua orang tuanya membalas melaknatnya juga!! [9]
VI. BID’AH MEMATIKAN SUNNAH
- Hassan bin ‘Athiyyah berkata: “Tidaklah suatu kaum melakukan suatu kebid’ahan dalam agama mereka, ekcuali Allah akan mencabut dari mereka sunnah semisalnya, kemudian dia tidak kembali ke sunnah hingga hari kiamat”. [10]
- Imam adz-Dzahabi berkata: “Mengikuti sunnah adalah kehidupan hati dan makanan baginya. Apabila hati telah terbiasa dengan bid’ah, maka tiada lagi ruang untuk sunnah”. [11]
VII. HATI ITU LEMAH
- Suatu kali, ada dua orang lelaki pengekor hawa nafsu datang kepada Muhammad bin Sirin seraya mengatakan: “Wahai Abu Bakr! Kami akan menceritakan kepadamu suatu hadits? Beliau berkata: Tidak. Keduanya mengatakan: Kami akan membacakan ayat Al-Qur’an kepadamu. Beliau berkata: Tidak, kalian yang pergi ataukah saya yang akan pergi. [12]Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa mendengarkan suatu kebid’ahan, maka janganlah dia menceritakan kepada teman duduknya, janganlah dia memasukkan syubhat dalam hati mereka”.
- Imam adz-Dzahabi membawakannya dalam Siyar A’lam Nubala’ 7/261, lalu berkomentar: “Mayoritas ulama salaf seperti ini kerasnya dalam memperingatkan dari bid’ah, mereka memandang bahwa hati manusia itu lemah, sedangkan syubhat kencang menerpa”.
VIII. ANTARA BID’AH DAN MASLAHAT
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan sebuah kaidah penting tentang maslahat dan mafsadah, beliau berkata :
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ, يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang nampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat. [13]
Beliau kemudian memberikan contoh, seperti adzan pada hari raya. Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan faktor dilakukannya juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat. Tetapi Nabi tidak melakukannya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah maslahat. Kita menyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatakan larangan khusus akan hal tersebut atau sebelum kita mendapaakan bahwa hal tersebut membawa mafsadah.
IX. PESAN SUNAN BONANG
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”[14] adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.[15]
X. MEMBANTAH AHLI BID’AH
Alangkah bagusnya ucapan seorang:
يَا طَالِبَ الْعِلْمِ صَارِمْ كُلَّ بَطَّالِ
وَكُلَّ غَاوٍ إِلىَ الأَهْوَاءِ مَيَّالِ
وَلاَ تَمِيْلَنَّ يَا هَذَا إِلَى بِدَعٍ
ضَلَّ أَصْحَابُهَا بِالْقِيْلِ وَالْقَالِ
Wahai penuntut ilmu, seranglah setiap ahli kebathilan
Dan setiap orang yang condong kepada hawa nafsu
Janganlah dirimu condong kepada bid’ah
Sungguh pelaku bid’ah telah tersesat karena kabar burung. [16]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
www.abiubaidah.com
[1] QS.Al-An’am: 153.
[2] Beliau adalah seorang pakar ilmu tafsir,beliau belajar dan khatam al qur’an beserta tafsirnya perayat kepada Ibnu Abbas sebanyak dua puluh sembilan kali. Sufyan Ats-Tsauri berkata :”Apabila datang padamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah dengannya.(lihat Ma’rifah Qurra’ kibar 1/66-67 Adz-Dzahabi, Muqodimah Tafsir 94-95 Ibnu Taimiyyah).
[3] Jami’ul Bayan 5/88 Ibnu Jarir.
[4] Al-I’tishom 1/157.
[5] HR. Darimi 1/64, al-Hakim 4/514 dengan sanad hasan shohih.
[6] Qiyam Romadhan hlm. 4-5.
[7] Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 2/466.
[8] Diriwayatkan oleh Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqod: 126, Ibnu Baththoh dalam Ibanah: 205, al-Baihaqi dalam Madkhol Ila Sunan: 191, dan Ibnu Nashr dalam as-Sunnah: 70 dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkam Janaiz hlm. 258.
[9] An-Nadhoir, Syaikh Bakr Abu Zaid hlm. 86.
[10] Dikeluarkan al-Lalikai: 129, ad-Darimi: 98 dengan sanad shohih.
[11] Tasyabbuh al-Khosis bi Ahlil Khomis hlm. 46.
[12] Ad-Darimi 1/109.
[13] Iqtidho’ Sirhotil Mustaqim 2/594.
[14] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.
[15] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
[16] Dzail Tarikh Baghdad 16/318, sebagaimana dalam Ilmu Ushul Bida’ hlm. 300.
Assalamualaykum…
Akh….
Nice post…
Lanjutkan semangatnya..
Hm…
klo liat blog-nya,,
blh kasih saran sedikit,,
Klo bisa perbanyak posting tentang keindahan,,
jgn selalu pertentangan/perdebatan yang ……
ya akhir lbh tahu dr pada ana…
Syukron…
Wah-wah saya tertarik pada yg ini : “Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang” adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut: “Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.”
Saya amat sangat ingin mencari sumber-sumber mengenai walisongo yg shohih dan yg jelas riwayatnya. Sebab banyak syubhat2 yg beredar, spt misalnya tradisi tahlilan yg katanya dimulai dari walisongo sebagai ganti dari kendurian, akhirnya banyak org yg berdalih bahwa tahlilan saja direstui oleh walisongo sebagai ulama2 yg berjasa membawa islam masuk ke tanah jawa, padahal tidak ada sanad riwayat yg benar2 shahih bahwa tahlilan itu ajaran walisongo.
Kalo saya sih yakin seyakin2nya, walisongo -rahimahumullah- adalah para ulama ahlussunnah yg selalu menyeru untuk mengikuti Qur’an dan sunnah dan menjauhi bid’ah. Terbukti dari ucapan sunan Bonang diatas. Dan saya yakin mereka adalah manusia biasa yg zuhud, ahli ibadah dan jauh dari khurafat2 dan tahayul2 seperti yg sering diceritakan dalam cerita2 masyarakat.
Syukron, klo ada komentar saya yg perlu dikoreksi, jgn segan2 untuk mengkoreksinya. Alhamdulillah
satu kelemahan mendasar artikel ini ialah tidak menjabarkan apa sebenarnya bid’ah. semestinya diuraikan, baik dari segi etimologi (lughowi) maupun terminologi (istilahi). setelah itu baru melangkah ke penghukuman: bid’ah ini haram atau halal.
tidak dijabarkannya definisi bid’ah ini berakibat fatal. pembaca disodori sesuatu yang seolah-olah sudah final. pembaca tidak diberi kesempatan untuk menelaah sabda-sabda nabi muhammad saw tentang bid’ah beserta latar belakang sejarahnya. dengan kata lain, penulis sengaja membodohi pembaca, atau setidak-tidaknya menganggap pembaca sebagai orang bodoh.
jika ingin berargumentasi, bereskan dulu pola pikir anda. jangan melompat-lompat. dan, anda juga harus melepaskan kaca mata kuda anda…..
[…] Artikel ini berasal dari situs Ustadz Yusuf ] « Ketika Dua […]
@pak slamet, tenang2 pak, sabar, hehehe jgn emosi gitu dong nanggepin artikelnya akhi abu ubaidah.
Kalo bapak kurang puas dengan artikel diatas dan ingin mencari sumber yg lengkap tentang bid’ah dan keburukan2nya, berikut linknya :
1. http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html
2. http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html
3. http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
4. http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html
Selamat membaca ya pak. Saya sarankan membacanya dengan hati yg adem dan pikiran yg tenang dan niatkan untuk mencari kebenaran semata, bukan untuk menjatuhkan golongan tertentu.
Akhi Slamet Untung, semoga Allah mengampuni kita semua.
Terima kasih atas kritikan saudara sebelumnya, Akhi, inti maksud artikel di atas bukan pembahasan tentang bid’ah secara khusus, ini hanya sekadar fawaid (faedah-faedah) saja, adapun perinciannya insyallah akan kita bahas di kesempatan lain.
Jadi tidak ada yang membodohi pembaca ada menganggap pembaca orang bodoh. Itu hanya perasangka yang keliru saja dari anda. Semoga Allah mengampuni kita semua.
orang yang bodoh adalah orang yang lebih mementingkan hawa nafsunya dan tetap melakukan bidah meskipun telah jelas dan terang tentang sesatnya bidah
Bid’ah tidak mudah ditinggalkan karena malu kepada non muslim jika ketahuan banyak muslimin pelaku bid’ah.
Juga malu pada keluarga, handai taulan, sedulur, dan tidak ingin mempermalukan gurunya yang kyai haji bahkan juga LC, pintar bahasa arab tapi ga paham mencukur jenggot adalah Makruh.
Tentang Makruh bisa ambil kesimpulan dari QS. Al-Israa 22 hingga 38.
Aku belum bisa bahasa arab bahkan buta huruf arab, tapi, alhamdulillah, Allah memberi pemahaman melalui guru yang ahli.
yang punya pendapat bid’ah ada yang sesat dan ada yang baik ya biarkan, toh kita masing2 punya ulama, yang InsyaAllah mempunyai keluasan ilmu,
jangan menghabiskan energi untuk mengurusi masalah yang udah dari jaman dahulu di perdebatkan. malah mengakibatkan permusuhan.
semua punya dalil masing2.
sebagai contoh.
hadist :
– semua bid’ah adalah sesat.
– sahabat Umar pada saat mengumpulkan orang untuk shalat tarawih berjamaah megatakan : ini adalah sebaik2 bid’ah.
dari 2 hadist diatas bisa setau saya muncul beberapa persepsi.
pendapat
pro bid’ah semua sesat :
semua bid’ah itu sesat, bid’ah yang dimaksud oleh sahabat umar adalah bid’ah dalam arti bahasa.
pro bid’ah terbagi menjadi 2:
tidak semua bid’ah itu sesat. buktinya sahabat umar mengatakan ini adalah sebaik2 bid’ah. kalau semua bid’ah itu sesat berarti mau bid’ah dalam arti bahasa dll juga sesat donk. trus masalah pembukuan al quran dan penulisan tanda baca al quran bagaimana? dst…dst….
ustad berkiblat pada ulama seperti syeikh al bany dll,
sedangkan yang bukan, pasti berbeda sama ustad.
Wallahualam
Wassalamualaikum WR WB.
saya rasa cuma orang yg (merasa) ilmunya udah sempurna yg ga bisa terima pendapat yg berbeda dg dia. krn pasti dia udah hapal dan ngerti semua hadits Nabi. apalgi Quran, udah pasti lebih ngerti krn QUran kan dasar hukumnya selain hadits Nabi..
assalamualaikum wr.wb
saya sangat setuju dengan beween
Mohon maaf sebelumnya , setahu saya ayat2 ALLAH itu ada yang tersurat (Al qur’an) dan ada yang tersirat (apa saja yang ada dijagat raya ini)
sepengetahuan saya yang namanya bid’ah yang sesungguhnya adalah mengada-adakan sesuatu hal yang baru yang mana yang sebelumnya sudah di gariskan ,sudah di nash sebagai ibadah wajib/maghdoh yang sudah ditentukan seperti solat , puasa , haji dll
namun kalau kita membuat suatu perkumpulan seperti baca yasin,tahlil,jamaah sholawat dll , hal ini saya anggap sebagai ayat yang tersirat sesuatu yang hal baik ,tetapi tidak tersurat dalam alquran dan assunnah ,karena saya anggap,bahwa bentuk kebaikan itu banyak sekali,tidak hanya dalam Alquran dan Asaunnah saja dan tentunya tidak serta merta
saya sudah coba melang lang buana melihat blog2 dan situs-situs resmi ,kesimpulannya seperti yang telah ditulis oleh teman kita beween
Betul… dari dulu masalah bid’ah pro dan kontra, masing2 mempunyai jalur keguruan yang berbeda.
Kalo saya memang pecinta Maulid, tahlil, yasinan, dll., maka hormatilah kami, kamipun akan menghormati kalian.
Masalah amalan kami menurut kalian bid’ah= sesat = tertolak, biarlah Allah SWT yang Maha menghakimi, bukan kalian.
akh beween,joe,silo semedi dan am
smoga Allah memberikan petunjuknya kpd kita smua
Seluruh pelaku bid’ah berniat baik tatkala melakukan bid’ahnya. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Ibnu Mas’uud radhiallahu ‘anhu :
وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak meraihnya”
Niat baik??, tidak cukup!!!
Suatu amalan tidak bisa dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan amalan yang sholeh dan diterima oleh Allah kecuali jika memanuhi dua persyaratan. Harus dibangun diatas niat yang ikhlas dan harus sesuai dengan syari’at Rasulullah. Jika salah satu dari dua perkara ini tidak ada maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah walaupun nampaknya seperti amalan sholeh.
Ibadah membutuhkan keikhlasan (pemurnian niat) karena sesungguhnya ibadah hanyalah ditujukan kepada Allah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah berarti dia tidak memurnikan niatnya. Demikian juga ibadah membutuhkan pemurnian dalam mencontohi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah ada satu ibadahpun kecuali harus sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang ibadahnya tidak berdasarkan contoh yang diberikan Rasulullah berarti ia tidak memurnikan teladan kepada Rasulullah. Inilah konsekuensi dari syahadatain yang merupakan pondasi setiap muslim.
Syahadat yang pertama “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita menyembah (menyerahkan ibadah kita) kepada selain Allah.
Allah berfirman:
﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾ (البينة: من الآية5)
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”
Syahadat yang kedua “Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita mengambil syariat kecuali dari syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang membuat syari’at baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka berarti dia tidak memurnikan syahadatnya kepada Rasulullah dan syari’at barunya itu tertolak dan tidak diterima oleh Allah meskipun niatnya baik, bahkan ia berhak mendapatkan dosa. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama maka akan tertolak” (HR Al-Bukhari no 2697 dan Muslim no 1718)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak diperintahkan oleh kami maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim no 1718)
disadur dari artikel http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/91-niat-baik-semata-tidaklah-cukup
wallahu a’lam bishowab
akhi/ukhti AM, kami tidak bermaksud menghakimi,kami hanya ingin memaparkan sikap para ulama tentang hukum bid’ah itu sendiri, adapun apa yang antum/antuna yakini bidah itu ada yang hasanah, maka alangkah lebih baiknya jika kita kaji dengan ilmu dan sumber yang shahih, bukan dengan ego masing-masing..waALLOHUa’lam..
jalani kalau anda anggap itu benar dan kami jalani klau memang yang kami jalani kami anggap benar bagi kami….
wasallam..
Assalamualaikum warahmatullahi wabarkatuh
saya mendapat kiriman E-mail yang isinya pertanyaan, sebagai berikut
sudah kita ketahui bahwa ketika Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam ingin melakukan bepergian yaitu mengendarai unta. sedangkan masa kini setiap kita mau bepergian mengendarai motor/mobil.
pertanyaan:
Apakah hal tersebut juga termasuk Bid’ah?
jika ya, apa dalilnya?
jika tidak, apa alasannya?
Mohon tanggapannya
Terimakasih
Wassalamualaikum warahmatullahi wa barkatuh
Yg sesungguhnya kalian bela hanyalah madzhab masing2 bukan Islam. Uhuwah jauh lebih penting untuk ditegakkan !
sebelumnya mohon maaf jika copy paste di bawah ini ada kesan menggurui …
+++
SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Ibadah merupakan sebuah kata yang amat sering terdengar di kalangan kaum muslimin, bahkan mungkin bisa kita pastikan tidaklah seorang muslim kecuali pernah mendengarnya. Lebih jauh lagi, ibadah merupakan tujuan diciptakannya seluruh jin dan seluruh manusia, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu“.
(QS : Adz Dzariyat [51] :56).
Namun telah tahukah kita bahwa ibadah memiliki syarat agar ibadah tersebut diterima di sisi Allah sebagai amal sholeh dan bukan amal yang salah ?? Dua syarat dalam ibadah itu adalah berniat ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan meniru/ittiba’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam[1]. Untuk itulah mari sejenak kita luangkan beberapa gilintir waktu kita untuk mempelajarinya lewat tulisan singkat ini.
Dalil Dua Syarat Diterimanya Ibadah
Dua syarat ibadah ini bukanlah suatu yang dibuat-buat oleh para ‘ulama semata-mata berdasar akal mereka melainkan dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam firmanNya di ayat terakhir surat Al Kahfi dalam satu kesempatan sekaligus,
أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Sesunggunya Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun“.
(QS : Al Kahfi [18] : 110).
Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan, “Firman Allah (فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ) “barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya” maksudnya adalah (barangsiapa yang berharap padapent.) pahala dan balasanNya (yang mana hal ini merupakan salah satu bentuk niat yang ikhlas kepada Allah dalam beribadahpent.), (فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا) “hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh” maksudnya adalah (amalan ibadahpent) yang sesuai dengan syari’at Allah”, (وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا) “tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun” maksudnya adalah suatu yang diinginkan dari amal ibadah tersebut (hanyalah) wajah Allah semata dan tidak menyekutukanNya. Kemudian beliau mengatakan,
“Dua hal ini merupakan dua rukun (syaratpent) diterimanya amal ibadah, (amal ibadahpent) haruslah berupa ibadah yang ikhlas untuk Allah dan benar yaitu mencocoki/sesuai syari’at Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam”[2].
Dalil lainnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amal ibadahnya”.(QS : Al Mulk [67] : 2).
Fudhail bin ‘Iyaad rohimahullah seorang Tabi’in yang agung mengatakan ketika menafsirkan firman Allah, (أَحْسَنُ عَمَلًا) “amal ibadahnya” maksudnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar. Kemudian beliau rohimahullah mengatakan, “Sesungguhnya jika sebuah amal yang ikhlas namun bukan amal yang benar maka ibadah tersebut tidak akan diterima, demikian juga jika amal tersebut benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima sampai ibadah tersebut adalah ibadah yang ikhlas dan benar. Beliau rohimahullah mengatakan, “Ikhlas maksudnya jika amalan tersebut karena/untuk Allah dan benar maksudnya jika amalan tersebut di atas sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam)”[3].
Adapun dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam untuk syarat pertama adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalan Amirul Mu’minin yang pertama Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijroh karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pent.)”.[4]
Dalil untuk syarat yang kedua adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari jalur Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallahu ‘anha,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”[5].
Dalam redaksi yang lain,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”[6].
Pengertian Syarat dan Ibadah
Syarat dalam istilah fiqih berarti sesuatu yang tidak akan sempurna (sah pent.) suatu yang disyaratkan kecuali dengannya[7]. Agar lebih memudahkan pemahaman kita ambil contoh ibadah sholat, ibadah ini tidaklah akan dinilai sebagai sholat yang sah apabila syaratnya tidak terpenuhi yaitu wudhu. Sehingga apabila seseorang melakukan ibadah sholat tanpa berwudhu maka sholatnya tidaklah sah bahkan ia berdosa apabila nekat sholat tanpa wudhu dalam keadaan ia tahu bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat.
Dari sekian banyak pengertian ibadah yang disampaikan para ulama, maka dapat kita katakan pengertian ibadah yang paling mencakup secara rinci dan menyeluruh sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah[8], adalah pengertian yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah,
“Ibadah adalah sebuah kata yang mencakup banyak makna (isim jami’) untuk seluruh perkara yang Allah cintai dan ridhoi baik berupa perkataan, pebuatan secara lahir dan bathin”[9]. Tentu saja ibadah-ibadah tersebut harus disertai adanya rasa perendahan diri seorang hamba kepada Robbnya dan pengagungan yang sebesar-besarnya kepada RobbNya ‘Azza wa Jalla[10].
Namun para ulama menjadikan perkara ibadah menjadi dua macam.
Macam pertama adalah ibadah yang murni ibadah (ibadah mahdhoh). Ibadah yang satu ini harus melalui wahyu, tanpa wahyu seseorang tidak mungkin mengamalkannya. Contohnya adalah shalat, puasa, dan dzikir. Ibadah jenis pertama ini tidak boleh seseorang membuat kreasi baru di dalamnya, sebagaimana nanti akan dijelaskan.
Sedangkan macam kedua adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan murni ibadah). Macam kedua ini, asalnya adalah perkara mubah atau perkara dunia. Namun karena diniatkan untuk ibadah, maka bernilai pahala. Seperti berdagang, jika diniatkan ikhlas karena Allah untuk menghidupi keluarga, bukan semata-mata untuk cari penghidupan, maka nantinya bernilai pahala.[11]
Pengertian Niat
Niat secara bahasa berarti maksud dan kehendak, sedangkan pengertian niat secara istilah para ulama maka banyak dari mereka yang mendefenisikan niat diantaranya adalah apa yang disampaikan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah, beliau mengatakan, “Niat adalah maksud/kehendak. Maka seorang yang hendak sholat menghadirkan niatnya di dalam benaknya/hati…”[12].
Pengertian yang senada juga disampaikan oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah rohimahullah, beliau mengatakan “Niat adalah maksud yang diinginkan dari amal”[13]. Ditempat yang lain beliau rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”[14].
Demikianlah pengertian niat dalam istilah para ulama’ niat merupakan amalan bathin/hati dan tidaklah benar jika dilafadzkan[15].
Bagaimanakah Niat yang Ikhlas [?]
Setelah hal-hal di atas kita pahami maka selanjutnya kita lanjutkan dengan mempelajari apa itu niat yang ikhlas dalam ibadah. An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah menukil dalam kitabnya At Tibyan perkataan ustadz Abu Qosim Al Qusairiy rohimahullah, beliau mengatakan,
“Ikhlas adalah engkau mentauhidkan/menuggalkan niatmu dalam keta’atan kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala yaitu engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ketaatanmu tanpa mengharapkan dari mahluk suatu apapun dari hal tersebut berupa pujian dari manusia dan lain sebagainya”[16].
Ibnul Qoyyim rohimahullah seorang ulama besar mengatakan,
“Ikhlas adalah kesesuaian amalan bathin (hati) seorang hamba dengan dhohirnya/anggota badannya”[17].
Sedangkan Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Ismail rohimahullah mengatakan[18],
“Ikhlas yang benar/jujur adalah tidak menghiraukan perhatian mahluk karena terus menerus memperhatikan penglihatan Sang Kholiq (terhadap amalannyapent). Sedangkan ikhlas itu adalah engkau menginginkan atas amalan hatimu dan amalan badanmu keridhoan Allah dibarengi rasa takut akan murkaNya seakan-akan engkau melihatNya dan meyakini bahwa Allah melihatmu sehingga hilanglah riya’ dari hatimu”[19]. Kemudian beliau melanjutkan, “(setelah engkau menghadirkan niat yang ikhlas dalam hatimupent.) maka ingatlah nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepadamu berupa amal yang ikhlas karena Dia-lah yang menganugerahkannya padamu apabila anda telah melakukan hal ini maka hilanglah dari dirimu sikap ujub (bangga dengan amal pent.). Bersikap perlahan-lahanlah dalam amal-amalmu sampai hilanglah dari dirimu sikap terburu-buru dalam hatimu karena Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya sikap perlahan-lahan tidak ada pada suatu hal kecuali akan menghiasnya dan tidaklah ia hilang dari sesuatu kecuali akan menjadikan hal tersebut buruk”.[20]
Barangsiapa yang telah mengumpulkan pada dirinya 4 hal di atas yaitu,
• Tidak menghiraukan pandangan mahluk dan senantiasa muroqobah/sikap merasa dilihat Allah.
• Merasa takut terhadap murka Allah.
• Mengingat nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan berupa taufiq untuk beramal dengan ikhlas
• Sikap perlahan-lahanlah dalam beramal
Maka ia akan menjadi orang yang ikhlas dalam amalnya insya Allah.
Abu Hazim Salamah bin Dinar rohimahullah mengatakan, “Sembunyikanlah amal kebaikanmu sebagaimana sebagaimana engkau menyembunyikan amal burukmu”.
Dzun Nun rohimahullah mengatakan,
“Tanda ikhlas ada tiga, tidak ada bedanya bagi seseorang antara ia dipuji atau dicela seseorang atas amalnya, tidak menghiraukan pandangan manusia atas amalnya dan mengharap pahala dari amal yang ia kerjakan di akhirat”[21].
Demikianlah sebagian dari perkataan para ulama yang dapat mengantarkan kita kepada keikhlasan insya Allah Ta’ala.
Ittiba’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dalam Beramal adalah Bukti Cinta pada Beliau
Sudah barang tentu seorang muslim cinta pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam nah bukti kalau kita cinta kepada Allah adalah ittiba’/mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi was sallam terutama dalam beramal, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Katakanlah (Wahai Muhammad) jika mereka mencintai Allah maka iktutilah aku (Muhammad) maka Allah akan mencintai kalian”.(QS. Al ‘Imron [3] : 31).
Maka diantara konsekwensi dari mencintai Allah dan mengimani kerosulan Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam adalah mengikuti syari’at beliau yang tercakup di dalamnya ibadah. Bahkan mengikuti apa yang beliau perintahkan/syari’atkan merupakan salah satu hak beliau yang teragung yang harus kita tunaikan[22].
Lawan dari Ittiba’ adalah Ibtida’/Berbuat Bid’ah
Kebalikan dari bentuk cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berbuat bid’ah dalam agama. Hal ini terkadang tidak diketahui oleh seorang muslim yang mengaku cinta Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, padahal telah jelas bagi kita sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang melarangnya sebagaimana yang diriwayatkan dari jalur Aisyah di atas. Lihatlah peristiwa yang terjadi beberapa saat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sebagaimana yang dialami sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan dipimpin oleh seseorang. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada.Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak.Bejananya pun belum pecah.Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad?Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya”[23].
Sedangkan Hassan bin ‘Athiyah rohimahullah seorang tabi’in mengatakan,
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
“Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali akan hilang sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pent.) yang semisal dengan bid’ah tersebut”.[24]
Maka lihatlah wahai saudaraku betapa mengerikannya betapa buruknya bid’ah dan dampaknya di mata generasi utama dalam ummat ini.
Makna Bid’ah
Mungkin ada sebagian dari kita yang rancu atau belum tahu apakah yang dimaksud dengan bid’ah dalam pembahasan ini. Maka kami akan bawakan beberapa defenisi bid’ah menurut para ulama’. Diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Asy Syathibi rohimahullah, beliau mengatakan,
فَالْبِدْعَةُ إِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِيْ الدِّيْنِ مُخْتَرِعِةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِيْ التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ
“Bid’ah adalah tata cara yang dalam agama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’at dan dimaksudkan dengannya berlebih-lebihan (keluar batas yang ditentukanpent) dalam agama”[25]. Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan menyerupai syari’at di sini adalah menyerupai aturan yang diatur oleh syari’at padahal pada hakikatnya tidaklah demikian bahkan bertentangan dengan syari’at jika ditinjau dari beberapa sisi, contohnya senantiasa melakukan tatacara tertentu (dalam ibadahpent) padahal tidak diizinkan oleh syari’at (misalnya dzikir jama’ah setelah sholat pent.), contoh lainnya senantiasa melakukan ibadah tertentu padahal tidaklah terdapat dalam syari’at penentuan ibadah tersebut (semisal tahlilan untuk kematianpent.)”. Kemudian beliau hafidzahullah menukil defenisi bid’ah yang lain, beliau mengatakan, “Bid’ah adalah suatu perkara baru yang menyalahi kebenaran dari Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam baik berupa ilmu, amal, keadaan/kondisi tertentu dengan adanya penyerupaan (dengan syari’atpent.) atau adanya anggapan baik akal terhadap suatu perbuatan dan hal ini dijadikan sebagai agama/keyakinan yang tegak dan lurus”[26].
Bid’ah yang Terlarang adalah Bid’ah dalam Masalah Agama
Banyak yang menyangka bahwa jika kita katakan bid’ah adalah perbuatan yang haram maka hal ini berarti menggunakan pesawat, sepeda motor, belajar di universitas haram/terlarang. Maka hal ini adalah suatu hal yang tidak benar adanya sebagaimana dalam salah satu redaksi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى دِيْنِنَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan suatu hal yang baru dalam masalah agama kami maka perkara tersebut tertolak/tidak diterima”[27].
Sebab Terjadinya Bid’ah
Bid’ah yang terjadi di tengah-tengah umat islam tentu ada sebabnya, diantara sebab-sebab yang paling sering kita temui di masyarakat adalah Menggunakan anggapan baik akal sebagai landasan menentukan hukum/ibadah. Akal manusia memiliki kapasitas terbatas dan tidak mampu mengetahui segala hal dan kemampuan akal manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itulah standar baik akal manusia tidak dapat dijadikan patokan maka Allah Subahanahu wa Ta’ala mengutus kepada manusia rosul yang menerangkan kepada ummatnya hal-hal yang diridhoi oleh Pencipta mereka, hal-hal yang dapat menjamin kebahagian mereka serta memberikan ganjaran yang melimpah di dunia dan akhirat[28]. Demikiannlah yang menjadi keyakinan para imam dalam islam, lihatlah ucapan ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama berdasarkan akal tentu bagian bawah dari khuf lebih utama untuk dihusap dari pada bagian atasnya akan tetapi aku melihat Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam mengusap bagian atas/punggung khuf”[29].
Demikian juga ucapan imam Asy Syafi’i rohimahullah,
مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang berangggapan baik (dalam suatu tatacara ibadahpent) maka ia telah membuat syari’at baru”.[30]
Demikian juga ucapan imam Malik rohimahullah,
مَنْ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَ حَسَنَةً, فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ
“Barangsiapa yang melakukan bid’ah dalam islam dan ia menilai bahwa bid’ah yang ia buat tersebut adalah suatu kebaikan maka ia telah menduga bahwa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam telah berkhianat terhadap risalah”[31].
Maka cukuplah bagi kita apa yang dikatakan oleh para imam dalam islam di atas daripada apa yang dikatakan oleh orang sekarang dari kalangan mereka yang jauh dari ilmu yang benar.
Pentutup
Sebagai penutup tulisan ini marilah kita renungkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimyah rohimahullah
فَنِسْبَةُ النِّيَةِ إِلَى العَمَلِ الظَّاهِرِ نِسْبَةُ الرُوْحِ إِلَى الْجَسَدِ
“Hubungan keterkaitan niat (yang ikhlaspent.) terhadap amalan dhohir (tatacara ibadahpent.) adalah sebagaimana hubungan keterkaitan ruh terhadap jasad”[32].
Yang mana antara ruh dan jasad tidaklah dapat terpisahkan. Mudah-mudahan dengan tulisan ini kita dapat menjadi orang-orang yang punya amalan ibadah yang ikhlas dan benar, Amin.
[Aditya Budiman]
simak ringkasan artikel ini di http://buletin.muslim.or.id/manhaj/dua-syarat-diterimanya-ibadah
________________________________________
[1] Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah dalam Al Fawaid. [lihat Fawaidul Fawaid oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabiy hafidzahullah hal. 42, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].
[2] Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah hal. 57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir.
[3] Lihat Ma’alimut Tanziil (Tafsir Al Baghowi) oleh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud Al Baghowiy rohimahullah tahqiq Syaikh Muhammad Abdullah An Namr, terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[4] HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907.
[5] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.
[6] HR. Muslim no. 1718.
[7] Lihat Al Mu’jamul Wasith oleh Ibrohim Al Musthofa, Ahmad Az Ziyat, Abdul Qodir, Muhammad An Najar hal. 994/I, dengan tahqiq dari Mu’jamul Lughotil ‘Arobiyah, Asy Syamilah.
[8] Lihat Al Irsyad Ilaa Shohihil I’tiqood oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah hal. 31, terbitan Maktabah Darul Minhaaj, Riyadh, KSA.
[9] Lihat Al ‘Ubudiyah oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah hal. 44 dengan takhrij hadits oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dan tahqiq oleh Syaikh Zuhair Asy Syawis, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon.
[10] Lihat Syarh Al Aqidatul Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 17, terbitan Dar Ibnil Jauziy, Riyadh, KSA.
[11] Lihat pembahasan dalam kitab Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz AL Jibrin, hal. 39-40, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1425 H. [Paragraf ini ditambahkan oleh salah satu guru kami ketika mengedit tulisan ini untuk buletin At Tauhid]
[12] Lihat Roudhotuth Tholibin oleh An Nawawi Asy Syafi’i, hal. 83/I, Asy Syamilah.
[13] Lihat Jaami’ul Masaail oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah hal. 7.
[14] lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon.
[15] Insya Allah akan datang penjelasan untuk masalah ini pada akhir tulisan ini.
[16] Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah hal. 50 dengan tahqiq Syaikh Abi Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abil ‘Ainain, terbitan Maktabah Ibnu Abbas, Mesir. Dengan sedikit perubahan redaksi.
[17] Lihat Madarijus Salikin oleh Ibnul Qoyyim rohimahullah hal. 91/II dan 270/II, pentahqiq Syaikh Muhammad Haamid Al Faqiy terbitan Maktabatul Kitab Al ‘Arobiy, Beirut.
[18] Syaikh Abdul Malik Ar Romadhoni hafidzahullah mengatakan bahwa “pengertian ikhlas yang kedua lebih menyeluruh”. [Sittu Durorr min Ushuli Ahlis Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ar Romdhoni hafidzahullah hal. 40, Dar Al Imam Ahmad, Mesir].
[19] Lihat Sittu Durorr min Ushuli Ahlis Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ar Romdhoni hafidzahullah hal. 40, Dar Al Imam Ahmad, Mesir.
[20] HR. Muslim no. 2594.
[21] Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah hal. 51.
[22] Lihat Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 98, penyunting Syaikh Fahd bin Nashir bin Ibrohim As Sulaiman, terbitan Daruts Tsuraya, Riyadh, KSA, dan Huquq Da’at ilaihal Fithroh wa Qorrotha Asy Syar’iyah oleh oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 15 terbitan Darul Istiqhomah, Mesir, dengan perubahan dan peringkasan redaksi.
[23] HR. Ad Darimi no. 204. Husain Salim Asad mengatakan sanad hadits ini jayyid, riwayat ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 2005.
[24] Perkataan beliau ini kami dapatkan dari muhadhoroh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah yang berjudul “Ad Du’a wa Atsaruhu” dalam sesi tanya jawab.
[25] Lihat Al I’thishom oleh Asy Syathibi rohimahullah
[26] Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’ oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Halabiy hafidzahullah hal. 25 terbitan Dar Ar Rooyah, Riyadh
[27] Lihat Jami’ul Ulum wal Hikaam oleh Ibnu Rojab Al Hambali rohimahullah hal. hal. 174 dengan tahqiq oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrohim Al Bajas terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[28] Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’ oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Halabiy hafidzahullah hal. 43-47, secara ringkas dan perubahan gaya bahasa.
[29] HR. Abu Dawud no. 162, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah di takhrij beliau untuk sunan abu dawud.
[30] Lihat Al Ibhaaj fi Syarhil Manhaaj hal. 448/II, Asy Syamilah, ‘Ilmu Ushul Bida’ oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Halabiy hafidzahullah hal. 120
[31] Lihat Al I’tishom oleh Asy Syathibi hal. 64/I dengan tahqiq dari Syaikh Salim Al Hilali hafidzahullah cet. Dar Ibnu Affan, Kairo, Mesir.
[32] Lihat Jaami’ul Masaail oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah hal. 6, dengan tahqiq oleh Syaikh Muhammad ‘Uzair Syamsi dengan pengawasan Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rohimahullah, terbitan Dar ‘Alimil Fawaid, Mekkah Mukarromah, KSA.
Incoming search terms:
Syarat diterimanya ibadah, keikhlasan dalam beribadah, hubungan niat dan ikhlas, pengertian niat, dalil ikhlas, ikhlas dalam beramal, cara ikhlas beribadah, pengertian ikhlas dalam beribadah, melihat wajah ulama merupakan ibadah, ikhlas dalam beribadah, ikhlas beribadah, cara ikhlas dalam beribadah, ikhlas dalam ibadah, dalil tentang ibadah, cara-cara ikhlas, syarat dalam ibadah, kaitan ikhlas dalam ibadah, hadits tentang keikhlasan dalam beribadah, makna ikhlas dalam ibadah, cara iklas
Tulisan Terkait
1. Allah Menciptakan Seluruh Mahluk agar Mereka Mentauhidkan-Nya Semata dalam Seluruh Ibadah
2. Syarat-Syarat Sabar
3. Syarat Laa Ilaha Illallahu dan Dalilnya (1)
4. Syarat Laa Ilaaha Illallahu dan Dalilnya (2)
5. Jika Isim Nakiroh Terletak dalam Konteks Penafian/Peniadaan, Larangan, Syarat, Pertanyaan Menunjukkan Keumuman
6. Dianggap Bi’dah Padahal Nikmat Allah
7. Kesempurnaan Islam
Agus KBM says:
January 28, 2012 at 6:54 pm
Assalamualaikum warahmatullahi wabarkatuh
saya mendapat kiriman E-mail yang isinya pertanyaan, sebagai berikut
sudah kita ketahui bahwa ketika Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam ingin melakukan bepergian yaitu mengendarai unta. sedangkan masa kini setiap kita mau bepergian mengendarai motor/mobil.
pertanyaan:
Apakah hal tersebut juga termasuk Bid’ah?
jika ya, apa dalilnya?
jika tidak, apa alasannya?
+++
Alaikumusallam …
mas Agus … salam kenal.
sebagaimana definisi bidah menurut imam syatibi …
“SUATU JALAN DALAM AGAMA YANG DIBUAT-BUAT (tanpa ada dalil, pen) DAN MENYERUPAI SYARI’AT (ajaran islam), YANG DIMAKSUDKAN KETIKA MELAKUKAN (adat tersebut) ADALAH SEBAGAIMANA NIAT KETIKA MENJALANI SYARI’AT (yaitu untuk mendekatkan diri pada allah)”.
ada 3 hal yg perlu sy garis bawahi ttg bidah …
1. suatu jalan dalam agama
2. menyerupai syariat
3. NIAT KETIKA MENJALANI SYARI’AT (yaitu untuk mendekatkan diri pada allah)”.
bepergian menggunakan kendaraan bermotor itu tidak termasuk bidah.
1. apakah mengendarai motor itu suatu jalan baru dalam beragama ??? .. tentu tidak kan mas agus ?
2. syariat apa yg di “SERUPAI” oleh menggunakan kendaraan bermotor ? … syariat dzikirkah ?… syariat menuntut ilmu kah ?? .. dst …
3. apakah menggunakan kendaraan bermotor itu sebagai “ALAT TAQORUB” pada Alloh SWT ??? … sy kira tidak kan mas ??
Rosululloh SAW … ketika gagal panen di Madinah, bersabda .. “antum a’lamu biumuri duniakum” … kalian lebih “FAHAM” dunia daripada Aku …
nahh tuh … kalo itu urusan dunia .. maka lakukan saja sampai ada dalil yg melarang …
tetapi kalo masalah syariat … masalah agama .. I’tiba lah pada yg punya syariat.
wallohu a’lam bishowab,…