15 Alasan Kokohnya Aqidah Salaf Shalih
Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]
Muqaddimah
Sesungguhnya aqidah Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam agama. bahkan kedudukannya ibarat fondasi bagi bangunan dan akar bagi pohon. Bila aqidah sudah mengakar kuat dalam hati seorang hamba maka akan membuahkan akhlak yang indah, ibadah yang mulia, dan manhaj yang lurus sebab bila aqidah semakin kuat dan mantap maka akan semakin membuahkan segala kebaikan dan kebahagiaan.
Oleh karena itu, para ulama salaf shalih sangat mencurahkan perhatian mereka terhadap masalah aqidah lebih dari segalanya, bahkan lebih daripada makanan, minuman, dan pakaian mereka karena mereka menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan hati mereka. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ ٢٤
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS. al-Anfâl [8]: 24)
Bila kita membuka lembaran-lembaran sejarah salaf shalih, niscaya akan kita dapati potret perhatian mereka yang sangat menakjubkan. Di antara buktinya adalah ribuan buku yang ditulis oleh ulama salaf dalam menjelaskan aqidah yang benar dan membelanya dari rongrongan para perusak agama dengan bahasa yang lugas dan jelas seterang matahari di siang bolong. Gayung terus bersambut, estafet perjuangan mereka dilanjutkan oleh generasi selanjutnya tanpa adanya perubahan dalam aqidah mereka.
Tema tulisan ini adalah mengenai kokohnya aqidah salaf dan selamatnya dari segala perubahan semenjak beberapa abad yang lampau. Aqidah Ahlus Sunnah pada zaman sekarang sama halnya dengan aqidah yang dibawa oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka sehingga sampai pada zaman sekarang ini tetap dalam keadaan bersih dan jernih.
Ketika ada beberapa golongan menyimpang dari jalan yang lurus, para salaf tetap selamat mempertahankan agama dan aqidahnya karena mereka mengambilnya dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mereka tidak terjebak dalam ‘tipu daya’ akal mereka, hawa nafsu, dan perasaan mereka. Sebab itu, jadilah aqidah mereka penuh dengan keselamatan, ilmu, dan kemuliaan.
Tentu saja di balik kokohnya aqidah mereka ada beberapa sebab yang perlu diketahui oleh seorang muslim agar bisa diterapkan dalam kehidupan mereka untuk menjaga kemurnian aqidahnya. Dan setelah saya renungi dan selami petuah-petuah para ulama seputar masalah ini, terkumpul olehku beberapa faktor yang cukup banyak yang menyebabkan kokohnya aqidah mereka. Saya akan ringkas dalam beberapa poin berikut ini:
1. Berpegang teguh dengan al-Qur’an dan hadits Nabi serta mengimani seluruh yang terkandung dalam keduanya
Inilah faktor utama kokohnya aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan selamatnya dari penyimpangan yaitu bersandar dengan al-Qur’an dan hadits. Mereka beriman terhadap seluruh yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits serta pasrah sepenuhnya. Karena rahasia inilah, mereka meraih keselamatan dan keautentikan dalam beragama. Dan sebagaimana sering diungkapkan oleh Syaikhul Islam, “Barangsiapa meninggalkan dalil (petunjuk), niscaya akan tersesat jalan. Dan tidak ada petunjuk yang benar selain apa yang dibawa oleh Rasulullah.” [2] Ibnu Abil Izzi juga mengatakan, “Bagaimana akan sampai kepada tujuan utama tanpa petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah.” [3] Yakni itu tidak mungkin dan sangat mustahil.
Oleh karena itu, tidak ada seorang pun dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membuat aqidah dari pemikirannya sendiri, pendapatnya sendiri, atau perasaannya sendiri; berbeda halnya dengan ahli bid’ah yang melakukan hal itu, maka jadilah ketimpangan dan penyimpangan terjadi pada diri mereka. Syaikhul Islam pernah mengatakan, “Aqidah itu bukanlah diambil dariku atau orang yang lebih besar dariku, tetapi diambil dari Allah dan rasul-Nya serta apa yang disepakati oleh salaf shalih.” [4]
2. Keyakinan mereka bahwa al-Qur’an dan Sunnah telah sempurna menghimpun keyakinan yang benar tanpa ada kekurangan sedikit pun
Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan segala yang dibutuhkan oleh umat manusia baik yang berkaitan tentang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dan sebagainya. Allah berfirman:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian. (QS. al-Mâidah [5]: 3)
Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan secara terperinci masalah-masalah yang ringan seperti adab buang hajat, adab bersuci, dan sebagainya. Lantas, mungkinkah masalah yang lebih penting daripada itu justru malah diabaikan?! Sungguh mustahil sekali hal itu terjadi, sebagaimana ucapan Imam Malik bin Anas, “Mustahil Nabi menjelaskan segala sesuatu sampai masalah adab buang hajat lalu beliau tidak menjelaskan tentang masalah tauhid.”
Tatkala Ahlus Sunnah meyakini hal ini secara bulat dan menyadari secara mendalam bahwa semua masalah aqidah telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits maka mereka pun berkiblat kepadanya dan kembali kepadanya tanpa melirik kepada selainnya, sehingga mereka pun menuai keselamatan yang sempurna tiada terkira. Imam Malik v\ juga pernah berkata, “Sunnah itu ibarat kapal Nabi Nuh p\, siapa yang menaikinya maka selamat dan siapa yang tidak menaikinya maka akan tenggelam.”
3. Mengembalikan segala bentuk perbedaan dan perselisihan kepada al-Qur’an dan Hadits
Ini adalah faktor utama kokohnya aqidah mereka yaitu setiap kali mereka mendapati perselisihan dan perbedaan maka mereka memahami bahwa tidak ada solusi yang tepat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut kecuali dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisâ’ [4]: 59)
Tidak ragu lagi bahwa siapa pun yang mengembalikan segala perbedaan kepada al-Qur’an dan Hadits niscaya dia akan kokoh, selamat, dan tidak goncang atau plinplan, sebab tidak ada solusi untuk mengatasi perselisihan kecuali dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah karena pendapat manusia, ideologi, dan akal pikiran mereka berbeda-beda. Tidak ada cara yang jitu untuk menghilangkan semua perbedaan tadi kecuali apabila semuanya mau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
4. Menjaga kesucian fitrah
Fitrah adalah anugerah Allah kepada hamba-Nya dengan menciptakan mereka semua di atas fitrah sebagaimana sabda Nabi, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” (HR. Bukhari: 1385)
Demikian juga Ahlus Sunnah, fitrah mereka terjaga dari polusi dan penyimpangan tatkala golongan lainnya tercemari oleh polusi-polusi penyimpangan. Oleh karenanya, hendaknya bagi setiap orang untuk bersungguh-sungguh menjaga fitrah mereka.
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rûm [30]: 30)
Namun, perlu diketahui bahwa kesucian fitrah sangat bergantung pada lurusnya landasan beragama. Jika pemilik fitrah berlandaskan pada al-Qur’an dan hadits maka fitrahnya akan selamat dan terjaga. Namun, jika dia mengorbankan fitrahnya kepada hawa nafsu, syubhat (kerancuan) yang merusak dan ideologi yang sesat maka fitrahnya akan tercemar.
5. Menempatkan akal pada porsinya
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang sangat cemerlang akal mereka, tidak berlebihan atau meremehkan sebagaimana kelompok-kelompok ahli bid’ah. Mereka tidak berlebihan kepada akal seperti halnya para ahli filsafat dan orang yang meniti jejak mereka, sehingga mereka melemparkan al-Qur’an dan Hadits ke belakang punggung mereka dan bersandar pada logika mereka secara penuh.
Sebagaimana diketahui bersama, akal manusia itu berbeda-beda. Oleh karena itu, tatkala sebagian kelompok menjadikan akal sebagai sandaran dan pedoman, maka yang terjadi adalah munculnya penyimpangan dan perbedaan tajam di kalangan mereka, karena akal manusia itu bertingkat-tingkat.
Sebaliknya, ada juga kelompok lainnya yang justru merendahkan akal seperti mayoritas ahli tasawuf sehingga banyak di antara mereka yang terjatuh dalam amalan-amalan yang semigila dan tidak masuk akal. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka bersikap tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan sehingga melampaui batas wilayah akal, tetapi juga tidak merendahkannya.
Akal manusia ada batasnya yang tepat. Barangsiapa yang berusaha untuk menceburkan akalnya di luar kapasitasnya maka dia akan tersesat. Akal Ahlus Sunnah selamat dari penyimpangan karena mereka menempatkan akal pada posisinya. Merekalah orang-orang yang cerdas sesungguhnya, karena menempatkan akal pada posisinya yang tepat, tidak berlebihan dan tidak meremehkan.
ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Âli ’Imrân [3]: 191)
6. Merasa sangat tenteram, bahagia, dan lezat dengan aqidah salaf
Kelezatan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh Ahlus Sunnah tersebut tidak dirasakan oleh para pengekor hawa nafsu lainnya. Allah berfirman:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du [13]: 28)
Tentang hal ini, Ibnul Qayyim menuturkan, “Ketenangan hati dan kemantapan hati tidak mungkin terwujudkan kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, engkau mendapati hati para Ahlus Sunnah sangat mantap dengan keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, dan Hari Akhir. Mereka tidak ragu dan tidak berselisih dalam masalah itu sedikit pun.” [5]
Syaikhul Islam juga menuturkan, “Adapun Ahlus Sunnah dan (Ahlul) Hadits, maka tidak didapati dari salah seorang ulama mereka atau seorang awam di kalangan mereka yang keluar dari aqidahnya, bahkan mereka adalah manusia yang paling sabar sekalipun menuai berbagai cobaan. Demikianlah kondisi para nabi dan para pengikutnya.” [6]
Jika memang demikian ketenteraman hati mereka, lantas untuk apa lagi mereka harus beralih dan mencari selainnya?!!
7. Menyandarkan pemahaman mengenai al-Qur’an dan Sunnah kepada pemahaman salaf shalih
Pemahaman manusia bisa jadi salah dan keliru, namun barangsiapa yang menggali agama dari sumber aslinya yang jernih yaitu Nabi dan para sahabatnya secara langsung dengan hati yang bersih, akal yang sehat, dan kejujuran maka dia akan meraih ilmu, keselamatan, dan hikmah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah selalu bergantung pada pemahaman salaf shalih dalam memahami dalil-dalil. Imam Sijzi bertutur menyifati Ahlus Sunnah, “Mereka adalah kelompok yang konsisten di atas aqidah yang dinukil oleh para sahabat dalam hal-hal yang tidak ada nash yang jelas dalam al-Qur’an dan Hadits, karena mereka adalah para imam panutan. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Ini sangat jelas, tanpa membutuhkan bukti.” [7]
Al-Ajurri juga berkata, “Tanda seorang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah tatkala dia menempuh jalan ini yaitu berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan Sunnah serta sunnah para sahabat dan a orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik dari para ulama setiap negeri seperti al-Auza’i, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.” [8]
Ibnu Qutaibah juga berkata, “Seandainya kita ingin pindah dari pendapat ahli hadits (Ahlus Sunnah) menuju pendapat ahli kalam/filsafat, maka itu berarti kita pindah dari persatuan menuju perpecahan dan dari kebahagiaan menuju kekacauan.” [9]
Semua ini menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa tidak mungkin suatu kekokohan (terwujud) kecuali dengan bersandar pada pemahaman salaf shalih. Allah berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ’ [4]: 115)
8. Sikap tengah-tengah tidak berlebihan dan tidak meremehkan
Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan. Mereka menapaki jalan yang lurus dan kokoh di atasnya serta menjauhi jalan-jalan kesesatan baik yang cenderung kepada sikap berlebihan atau yang cenderung kepada sikap merendahkan. Inilah faktor penting kokohnya aqidah mereka. Ibnul Qayyim berkata, “Agama Allah antara berlebihan dan meremehkan dan sebaik-baik manusia adalah yang bersikap tengah. Oleh karena itu, Allah menjadikan umat ini tengah-tengah.” [10] Allah berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. al-Baqarah [2]: 143)
Perlu diketahui bahwa sikap tengah-tengah ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan menapaki kebenaran tanpa menambah dan mengurangi. Barangsiapa bersikap demikian, maka dia akan mantap dan kokoh dalam beragama.
9. Tidak mendahulukan akal dan pendapat daripada al-Qur’an dan Sunnah
As-Sam’ani berkata, “Faktor utama kesepakatan ahli hadits (Ahlus Sunnah, Red.) adalah karena mereka mengambil agama mereka dari al-Qur’an dan Sunnah sehingga membuat mereka bersatu dan saling mencintai. Adapun ahli bid’ah, tatkala mereka mengambil agama mereka dari akal dan logika mereka, maka hal itu membuat mereka berpecah dan berselisih, sebab akal dan pendapat manusia jarang sekali bisa bersatu.” [11]
Jadi, faktor utama kokohnya agama mereka adalah karena mereka tidak mendahulukan akal dan pendapat mereka dari al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda halnya para ahli bid’ah yang mendahulukan hal-hal ini daripada al-Qur’an dan Sunnah. Ada yang mendahulukan akalnya, ada yang mendahulukan pendapatnya, ada yang mendahulukan perasaannya, ada yang mendahulukan impiannya, dan ada yang mendahulukan hawa nafsunya.
10. Bergantung kepada Allah
Ahlus Sunnah selalu memohon taufiq kepada Allah, meminta dan memohon agar Allah memberikan keteguhan kepada mereka sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam banyak do’anya, di antaranya: “Ya Allah, Dzat yang membalikkan hati, tetapkanlah hati hamba dalam agama-Mu.”
Kedekatan mereka kepada Allah ini membuahkan keshalihan dalam ibadah dan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, termasuk buah aqidah yang benar adalah menumbuhkan kebaikan dalam amalan. Berbeda halnya para ahli bid’ah, banyak di antara mereka yang rusak ibadah dan akhlaknya. Barangsiapa yang mengamati mereka—khususnya para tokoh mereka—niscaya akan mendapati hal ini secara jelas. Kalaulah seandainya memang ada pada mereka, maka apa yang ada pada Ahlus Sunnah lebih agung dan lebih mulia.
11. Merasa sangat yakin dengan aqidah salaf dan menjauhi perdebatan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agama dan aqidah mereka sehingga tidak butuh menawarkannya pada pendapat dan logika orang lain. Lain halnya dengan ahli bid’ah, mereka berpindah-pindah dari suatu keyakinan menuju keyakinan lainnya karena mereka selalu dibayangi oleh keraguan dan kerancuan. Allah berfirman:
وَلَمَّا ضُرِبَ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ مَثَلًا إِذَا قَوۡمُكَ مِنۡهُ يَصِدُّونَ ٥
Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. (QS. az-Zukhruf [43]: 57)
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai bahan perdebatan maka dia akan sering berpindah-pindah pendapat.” [12]
Suatu saat, ada seorang berkata kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdillah, dengarkanlah aku, saya akan berdialog dan berdebat denganmu jika engkau kalah maka engkau ikuti pendapatku.” Kata Imam Malik, “Bagaimana jika ada orang lain yang mendebat kita lalu dia mengalahkan kita?” Orang tersebut menjawab, “Ya kita ikuti dia.” Serentak Imam Malik mengatakan, “Wahai Abdullah, sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan satu agama, namun mengapa saya melihat dirimu berpindah-pindah dari agama menuju agama lainnya.” Beliau juga mengatakan, “Apakah setiap kali datang seorang yang lebih lihai berbicara, lalu kita tinggalkan apa yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad?!![13]
Pernah juga ada seorang datang kepada Imam Hasan al-Bashri seraya mengatakan, “Wahai Abu Sa’id, marilah kita berdebat tentang agama.” Maka Hasan menjawab, “Saya telah yakin dengan agama saya, jika memang kamu kehilangan agamamu maka pergi dan carilah.” [14]
Nukilan-nukilan atsar di atas menunjukkan kokohnya mereka dalam beragama dan tidak butuh kepada perdebatan dan dialog untuk mencari pemikiran dan pendapat lainnya yang menyimpang.
12. Meyakini bahwa masalah-masalah aqidah dan iman adalah absolut dan paten
Semua itu karena aqidah tidak mungkin dihapus atau diganti, karena semua dakwah para nabi adalah sama sejak awal hingga akhir sebagaimana dalam hadits, “Para nabi adalah bersaudara, syari’at mereka berbeda tetapi pokok aqidah mereka satu.” (HR. Muslim 4/1837)
13. Mudah dan tidak bertele-tele atau berbelit-belit
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah jelas dan terang seterang matahari di siang hari, lain halnya dengan aqidah-aqidah menyimpang lainnya yang sulit, rancu, dan bertele-tele.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan tentang terangnya aqidah ini karena sumbernya yang jelas, “Seperti sinar matahari bagi pandangan mata yang tidak tertutupi oleh apa pun, masuk ke telinga tanpa pamitan dan bersarang ke akal seperti air segar bagi orang yang kehausan. Keistimewaan aqidah ini dibandingkan ilmu kalam dan logika seperti keistimewaan Allah daripada makhluk-Nya. Tidak mungkin bisa seorang pun mencoreng aqidah ini kecuali seperti seorang yang hendak mencoreng sinar matahari yang muncul di siang hari tanpa adanya mendung.” [15]
Perumpamaan orang yang hendak mencela dan meragukan aqidah yang shahih dan bersumber dari al-Qur’an dan Hadits adalah seperti seorang yang datang kepada manusia di siang hari lalu mengatakan, “Saya akan membuktikan kepada kalian bahwa sekarang ini adalah malam hari.” Allah berfirman:
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. al-Hajj [22]: 46)
14. Mengambil pelajaran dari keadaan kelompok lainnya
Dahulu pernah dikatakan: “Orang bijak adalah orang yang mengambil pelajaran dari lainnya.” Demikian pula Ahlus Sunnah, mereka mengambil pelajaran dari keadaan para ahli bid’ah yang goncang dan ragu serta plinplan dalam beragama. As-Sam’ani pernah menggambarkan keadaan mereka dalam ucapannya, “Jika Anda melihat ahli bid’ah, niscaya Anda akan mendapati mereka berpecah belah dan berselisih, bergolong-golong dan berkelompok, tidak ada kesatuan diantara mereka, sebagian membid’ahkan sebagian yang lain bahkan mengkafirkan, seorang anak mengkafirkan ayahnya, saudaranya, tetangganya, mereka selalu dalam permusuhan dan perselisihan, sehingga umur mereka habis namun kalimat mereka belum bersatu”.[16]
15. Bersatu dan tidak berselisih
Kalimat Ahlus Sunnah wal Jama’ah satu dan tidak berbeda. Lain halnya ahli bid’ah yang berpecah belah dan bergolong-golong, setiap golongan bangga dengan golongannya masing-masing. Imam Qatadah berkata, “Seandainya pemikiran Khawarij itu adalah petunjuk, niscaya akan bersatu, namun karena ia adalah kesesatan maka berpecah belah.” [17]
Lihatlah Ahlus Sunnah. Dakwah mereka satu, aqidah mereka satu, semuanya di atas jalan yang lurus sejak dahulu hingga sekarang baik dalam tauhid ibadah atau asma’ wa shifat atau anjuran kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Mereka satu kata sekalipun berbeda zaman dan tempat. Semua itu adalah bukti konkret akan kebenaran aqidah ini.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. an-Nisâ’: 82)
Akhirnya, saya berdo’a kepada Allah agar memasukkan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih, mengikuti sunnah dan atsar salaful ummah, menjauhkan kita dari bid’ah. Dan saya berdo’a kepada Allah agar memberikan anugerah kepada kita aqidah yang lurus, iman yang tebal, akhlak yang indah dan menjadikan kita semua para pengajak kebenaran.
[1] Disadur secara bebas—dengan sedikit gubahan—oleh Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dari risalah beliau Tsabatu Aqidah Salaf wa Salamatuha Mina Taghyirat, Penerbit Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama, 1423 H.
[2] Miftâh Dâr as-Sa’âdah hlm. 90
[3] Syarh ’Aqîdah ath-Thahawiyyah hlm. 18
[4] Majmû’ Fatâwâ 3/203
[5] Ash-Shawâ’iqul Mursalah 2/741
[6] Majmû’ Fatâwâ 4/50
[7] Ar-Raddu ’alâ Man Ankara al-Harfa wash Shauth hlm. 99
[8] Asy-Syarî’ah 1/301
[9] Ta’wîl Mukhtalifil Hadîts hlm. 16
[10] Ighâtsatul Lahfân 1/201
[11] Mukhtashar Shawâ’iq hlm. 518
[12] Al-Ibânah oleh Ibnu Baththah 2/503
[13] Idem 2/507–508
[14] Idem 2/509
[15] Ash-Shawâ’iq al-Mursalah 3/1199
[16] Mukhtashar Shawâ’iq hlm. 518
[17] Tafsîr ath-Thabarî 3/178