HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU
YANG POPULER DI BULAN PUASA
Sesungguhnya telah mutawatir dalam timbangan ahli hadits[1] bahwa Rosululloh e bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa berdusta padaku dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka.
Berangkat dari hadits ini, kami terdorong untuk membuat bab ini sebagai nasehat dan peringatan kepada kita agar tidak terjatuh dalam berdusta kepada Nabi, atau menceritakannya atau juga mengamalkannya.
Berikut beberapa contoh hadits lemah dan palsu dalam masalah ini yang banyak beredar dan popular di masyarakat padahal tidak shahih dari Nabi, maka hendaknya kita mewaspadainya:
1. Keutamaan Bulan Ramadhan
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فيِ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا …. الخ
Seandainya sekalian hamba mengetahui keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berangan-angan agar setiap tahun dijadikan bulan Ramadhan seluruhnya .… (hadits panjang)
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at 2/88-89 dari jalan Jarir bin Ayub al-Bajali dari Sya’bi dari Nafi’ bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.
Jarir bin Ayub adalah seorang rawi pendusta yang sangat masyhur, bahkan Abu Nu’aim berkata tentangnya, “Pemalsu hadits.”.
2. Awal Ramadhan Adalah Rahmat
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلٍ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ … وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسْطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَأَخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ…. الخ
Wahai manusia! Sesungguhnya bulan Ramadhan ini telah menaungi kalian semua. Bulan penuh berkah, bulan yang mempunyai suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, bulan yang Alloh menjadikan puasa pada bulan tersebut suatu kewajiban dan shalat malamnya sebagai sunnah. Barangsiapa berbuat suatu kebaikan pada bulan itu, maka sama halnya dia telah melakukan suatu kewajiban pada bulan lainnya …. Bulan yang awalnya berupa rahmat, pertengahannya berupa ampunan, dan akhirnya berupa pembebasan dari neraka …. (hadits panjang)
LEMAH. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah 1887, al-Mahamili dalam al-Amali 50 dari jalan Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyib dari Salman al-Farisi.
Hadits ini lemah, sebab, Ali bin Zaid adalah seorang rawi yang lemah. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Dia tidak kuat.”. [2]
Faedah: Syaikh Ali Hasan al-Halabi memiliki risalah khusus tentang kelemahan hadits ini berjudul “Tanqihul Andhor…”, cet Darul Masir.
3. Sehat Dengan Puasa
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari Dhahak dari Ibnu Abbas h/. Nahsyal adalah rawi yang matruk dan suka berdusta. Ishaq bin Rahawaih berkata tentangnya, “Kadzdzab (pendusta).”.[3]
Makna hadits ini shahih, sebab telah terbukti bahwa puasa merupakan faktor kesehatan dan dapat mengusir beberapa penyakit yang berbahaya bagi manusia.[4] Syaikh al-Albani memiliki pengalaman menarik tentang hal ini, beliau bercerita: “Pada akhir tahun 1379 H, aku pernah melaparkan diriku selama empat puluh hari berturut-turut, saya tidak merasakan makanan sedikitpun, saya hanya minum air saja! Semua itu saya lakukan untuk pengobatan dari sebagian penyakit, akhirnya saya diberi kesembuhan dari sebagian penyakit, padahal sebelumnya saya telah berobat kepada sebagian dokter selama sepuluh tahun lamanya, tanpa ada hasil yang nampak jelas”.[5]
4. Doa Buka Puasa
كَانَ النَّبِيُّ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ (بِسْمِ اللهِ)(اَللَّهُمَّ) لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Apabila Nabi berbuka puasa, beliau berdo’a, “Dengan nama Alloh. Wahai Alloh, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ath-Thobarani dalam Mu’jamul Kabir: 12720, ad-Daraquthni dalam Sunannya 240 dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah 474 dari jalan Abdul Malik bin Harun bin Antharah dari bapaknya dari kakeknya dari Ibnu Abbas secara marfu’ (sampai kepada Nabi).
Hadits ini lemah sekali, sebab Abdul Malik seorang rawi yang lemah sekali. Ibnul Qayyim berkata tentang hadits ini: “Tidak shahih.”. Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya lemah.” Al-Haitsami berkata: “Dalam hadits ini, terdapat Abdul Malik, dia seorang rawi yang lemah.”.[6]
Adapun do’a berbuka puasa yang shahih dari Nabi n/ sebagai berikut:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Telah hilang rasa dahaga dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahalanya, Insya Alloh.[7]
5. Berbuka Tanpa Udzur
مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ
Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada udzur atau sakit, maka dia tak dapat ditebus dengan puasa setahun sekalipun dia berpuasa.
LEMAH. Diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahihnya 4/160 (al-Fath) secara mu’allaq, tanpa sanad. Dan diriwayatkan secara bersambung sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, dari jalan Abu Muthawwis dari bapaknya dari Abu Hurairah.
Ibnu Hajar berkata: “Dan diperselisihkan pada diri Habib bin Abu Tsabit perselisihan yang banyak sekali. Kesimpulannya, hadits ini mempunyai tiga kecacatan: idhtirab (kegoncangan), tidak diketahuinya keadaan Abu Muthawwis tersebut, dan diragukan apakah bapaknya mendengar dari Abu Hurairah.”[8]
Ibnu Khuzaimah juga berkata setelah membawakan riwayat ini: “Kalau memang hadits ini shahih, maka aku tidak mengetahui keadaan Abu Muthawwis maupun bapaknya.” Abu Isa at-Tirmidzi berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Ismail (Bukhari) berkata: “Abu Muthawwis namanya Yazid bin Muthawwis, saya tidak mengetahui haditsnya selain hadits ini.’” [9]
6. Tidurnya Orang Puasa adalah Ibadah
صَمْتُ الصَّائِمِ تَسْبِيْحٌ, وَنَوْمُهُ عِبَادَةٌ ,وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ , وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
Diamnya orang yang puasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doa’nya mustajab dan amalnya dilipatgandakan.
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ad-Dailami 2/253 dari Rabi’ bin Badr dari Auf al-A’rabi dari Abul Mughirah al-Qawwas dari Abdullah bin Umar secara marfu’.
Sanad ini lemah sekali, sebab Rabi’ bin Badr adalah seorang rawi yang ditinggalkan haditsnya.[10]
Diantara dampak negatif hadits ini adalah menjadikan sebagian orang malas dan banyak tidur di bulan puasa dengan alasan hadits ini. [11]
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang seorang yang ketika bulan puasa, dia tidur sepanjang hari, bagaimana hukumnya? Dan bagaimana juga kalau dia bangun untuk melakukan kewajiban lalu tidur lagi?!
Beliau menjawab: Pertanyaan ini mengandung dua permasalahan:
Pertama: Seorang yang tidur seharian dan tidak bangun sama sekali, tidak ragu lagi bahwa dia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan sholat, maka hendaknya dia bertaubat kepada Allah dan menjalankan shalat tepat pada waktunya.
Kedua: Seorang yang tidur tetapi bangun menjalan shalat secara berjama’ah kemudian tidur lagi dan seterusnya, hukum orang ini tidak berdosa (dan tidak batal puasanya -pent) hanya saja luput darinya kebaikan yang banyak, sebab orang yang berpuasa hendaknya menyibukkan dirinya dengan shalat, dzikir, doa, membaca Al-Qur’an dan sebagainya sehingga mengumpulkan beraneka macam ibabah pada dirinya. Maka nasehatku kepada orang ini agar tidak menghabiskan waktu puasanya dengan banyak tidur, tetapi hendaknya bersemangat dalam ibadah.[12]
Namun, jangan difahami dari penjelasan di atas, bahwa orang yang sedang berpuasa tidak boleh tidur, itu pemahaman yang keliru, bahkan kalau seorang tidur sekedarnya dan meniatkan dengan tidurnya untuk istirahat, mengembalikan stamina tubuh, menyegarkan semangat ibadah, dan agar tidak ngantuk dalam sholat malam/tarawih maka dia telah melakukan ibadah dan diberi pahala atas niatnya, sebagaimana ucapan salah seorang sahabat Nabi:
أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُوْمُ, وَأَرْجُوْ فِيْ نَوْمَتِيْ مَا أَرْجُوْ فِيْ قَوْمَتِيْ
Adapun saya, maka saya tidur dan bangun. Dan saya berharap dalam tidur saya (karena niat tidurnya adalah untuk semangat ibadah berikutnya) apa yang saya harapkan dalam bangun (shalat) saya. (HR. Bukhari 4086 Muslim 1733)
7. Ramadhan Bergantung Pada Zakat Fithr
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلاَّ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
Bulan Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, dan dia tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan zakat fithr.
LEMAH. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin dalam at-Targhib dan adh-Dhiya’ dari Jarir. Hadits ini dha’if (lemah). Ibnul Jauzi membawakannya dalam al-Wahiyat seraya mengatakan: “Tidak shahih, di dalamnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri, dia seorang yang majhul (tak dikenal)”.
Makna hadits inipun tidak benar, sebab dia menunjukkan bahwa diterima tidaknya puasa Ramadhan seorang itu tergantung pada zakat fithr, dan barangsiapa yang tidak mengeluarkannya maka puasanya tidak diterima. Saya tidak mengetahui seorangpun dari ahli ilmu yang berpendapat seperti ini[13].
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Artikel: https://abiubaidah.com/
[1] Al-Hafizh al-‘Iraqi berkata dalam al-Arbauna al-‘Usyariyyah hal. 136: “Hadits ini termasuk hadits yang sangat populer, sehingga dijadikan contoh hadits mutawatir, diriwayatkan dari seratus sahabat lebih, diantara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira sebagai calon penghuni surga”. (Lihat pula Fathul Bari Ibnu Hajar 1/203, Syarh Shahih Muslim an-Nawawi 1/28, Nadzmul Mutanatsir al-Kattani hal.35, Ada’u Ma Wajab Ibnu Dihyah hal. 26, Silsilah adh-Dha’ifah al-Albani 3/71-73, Juz Hadits Man Kadzaba ath-Thobarani).
[2] Silsilah Ahadits Dha’ifah: 871, lihat juga no. 1569
[3] Silsilah Ahadits Dhaifah: 253
[4] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 28/8
[5] Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 1/419
[6] Irwaul Gholil: 919
[7] Hasan. Diriwayatkan Abu Dawud 2357, Baihaqi 4/239, al-Hakim 1/422, dan ad-Daraquthni 240 dan berkata, “Sanadnya hasan.” Dan disetujui al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir 2/802 dan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 920.
[8] Fathul Bari 4/161
[9] Tuhfatul Ahwadzi 3/341
[10] Silsilah Ahadits Dha’ifah: 3784, 4696
[11] Ahadits Muntasyiroh Lam Tatsbutu Ahmad bin Abdullah as-Sulami hal. 366
[12] Majmu Fatawa wa Rosail Ibnu Utsaimin 19/170-171 -secara ringkas-
[13] Silsilah Ahadits Dha’ifah: 43
Assalamu’alaikum, syukran atas ilmu yang bermanfaat, insya Allah, jazakallah khairan
Wa’alaikumus salam warah matullahi wa barakaatuh
Afwan waiyyaka.