Jilbab Mahkota Muslimah[1]
Beragam mode busana kini telah membanjiri penjuru dunia. Meruyak semarak tak hanya di perkotaan saja, bahkan pedesaan pun tak luput olehnya. Ironisnya, peminat produk yang notabene jahiliyah itu justru dari kalangan wanita-wanita muslimah.
Suatu hal yang tak dapat dipungkiri lagi, bahwa maraknya busana-busana jahiliyah tersebut merupakan salah satu program orang-orang kafir dalam menghancurkan umat Islam. Mereka merusak para wanita terlebih dahulu dari segi busananya, membuat para wanita risih dengan jilbab, menebarkan berbagai kerancuan seperti perkataan “Busana itu ’kan hanya masalah adat istiadat saja! Berpakaian itu ibarat seni. Jadi, setiap orang bebas memilih mode yang sesuai dengan dirinya masing-masing”.
Semua itu dikarenakan mereka menganggap, jika para wanita muslimah sudah berhasil dirusak, rusaklah sudah sendi-sendi agama lainnya, satu demi satu. Mengapa kaum muslimin masih belum sadar dari kelalaiannya selama ini? Akankah hal ini akan segera mereka akhiri?!
Di tengah-tengah asyiknya para wanita dengan mode busana ala barat, di saat para wanita lelap dimanjakan oleh kemajuan zaman, di sana ada sekelompok wanita shalihah dengan anggun dan sopan mengenakan mahkota mereka, yaitu jilbab muslimah, tanpa peduli cemooh, ejekan, dan hinaan masyarakat kampungnya. Karena mereka mengetahui betul hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat populer dan akrab di telinga:
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam ini pada awalnya datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing lagi. Maka sungguh berbahagia orang-orang yang asing. (HR. Muslim)
Dalam satu sisi, kita patut bersyukur, karena di zaman kita sekarang dan di negeri kita yang mayoritas Islam ini, kesadaran mengenakan busana muslimah cukup lumayan. Bahkan kian hari bertambah meningkat. Namun dalam sisi lain, ternyata masih banyak saudari kita yang salah paham dengan hakikat jilbab muslimah, mereka menyangka jilbab hanya sekedar kerudung saja. Akhirnya, seperti kita lihat sekarang ini; banyak wanita berkerudung tapi bercelana jeans, berkaos ketat, berpakaian tembus pandang, memakai pakaian di atas lutut, dan sebagainya. Seakan-akan, kerudung tak ubahnya hanya sebagai aksesori belaka.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami akan menjelaskan secara ringkas hakikat jilbab muslimah yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Semoga dapat meluruskan pemahaman kita dan membawa manfaat bagi kita semua. Amiin.
Ketahuilah, Alloh Ta’ala telah mewajibkan kepada segenap wanita muslimah yang telah mencapai usia baligh untuk memakai jilbab. Hal ini termaktub dalam al-Qur’an:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-orang mukmin, hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ahzab: 59)
Ayat yang mulia ini secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa jilbab merupakan perintah dan syari’at Alloh Ta’ala kepada segenap wanita muslimah, bukan seperti yang didengungkan sebagian kalangan. Kata mereka, jilbab muslimah hanyalah tradisi wanita Arab karena mereka tinggal di daerah panas. Sungguh amat besar kedustaan yang keluar dari mulut mereka!!.
Apabila setiap wanita menyadari bahwa jilbab merupakan perintah agama, bukan hanya sekedar mode semata –Insya Alloh– kami yakin dia akan tegar menjalankan kewajiban ini, apa pun risikonya. Selanjutnya, perlu kita ketahui bersama, berdasarkan penelitian para ulama’ tentang masalah jilbab, mereka menerangkan bahwa jika seorang wanita keluar rumah atau bila bertemu dengan orang-orang yang bukan mahramnya, maka ia wajib memakai jilbab yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Menutupi Seluruh Badan Selain Yang Dikecualikan
Alloh Ta’ala berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaknya mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak darinya. Dan hendakalah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka.” (QS. An-Nur: 31)
Ayat mulia ini menegaskan kewajiban bagi para wanita mukminah untuk menutup seluruh perhiasan, tidak memperlihatkan sedikitpun kepada orang-orang yang bukan mahramnya kecuali perhiasan yang biasa nampak. Memang benar, terdapat perselisihan yang cukup panjang tentang anggota tubuh yang dikecualikan tadi.
Sekalipun terdapat perselisihan tajam apakah wajah dan kedua telapak tangan merupakan anggota tubuh yang dikecualikan ataukah tidak, namun para ulama tidak berselisih bahwa. menutupnya merupakan amalan yang lebih utama, karena inilah contoh yang dipraktekkan oleh sebaik-baik wanita yaitu para wanita sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Merupakan adat para wanita yang senantiasa berlangsung sejak dahulu hingga sekarang, mereka menutup wajah-wajah mereka dari manusia di luar mahramnya.”[2]
2. Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk tubuh
Dari Usamah bin Zaid Radhiallahu’anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku baju Qibthiyah yang tebal yang merupakan baju hadiah dari Dihyah al-Kalbi kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibthiyah?” Aku menjawab, “Aku pakaikan baju itu pada istriku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qibthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)
al-Imam asy-Syaukani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa wanita itu wajib menutupi badannya dengan pakaian yang tidak dapat menggambarkan badannya. Ini merupakan syarat bagi penutup aurat.”[3]
Saudariku…. Perhatikanlah pesan putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia pernah berpesan kepada Asma’, “Wahai Asma’! Sesungguhnya aku memandang buruk perilaku kaum wanita yang memakai pakaian yang dapat menggambarkan tubuhnya.” (Dikeluarkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dan Baihaqi)
Perhatikanlah sikap Fathimah yang merupakan bagian dari tulang rusuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana ia memandang buruk bilamana sebuah pakaian itu dapat menyifati atau menggambarkan tubuh seorang wanita. Oleh karena itu, hendaknya kaum muslimin zaman ini merenungkan hal ini, terutama kaum muslimah yang masih mengenakan pakaian sempit dan ketat yang dapat menggambarkan bentuk dada, pinggang, betis, dan anggota badan lainnya. Hendaknya mereka beristighfar kepada Alloh dan bertaubat kepada-Nya serta mengingat selalu sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya hal yang dijumpai manusia dari perkataan para nabi adalah, “Apabila engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)
3. Kainnya harus tebal, tidak boleh tipis dan tembus pandang sehingga menampakkan kulit tubuh
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا, قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسَهُنَّ كَأَسْنَامِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَ لاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَ إِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَ كَذَا
Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat; (yaitu) suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti seekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini (jauhnya). (HR. Muslim)
Ibnu Abdil Barr berkata, “Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian tipis, yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, tapi pada hakikatnya mereka telanjang.”[4]
4. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma berkata:
لَعَنَ النَّبِيُّ Shallallahu ‘alaihi wa sallam الْمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ الْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria. (HR. Bukhari)
Dalam masalah pakaian secara khusus, Abu Hurairah a/ berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَ الْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad dengan sanad shahih)
Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum wanita masa kini berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja memakainya. Sehingga terkadang tak mampu dibedakan lagi mana yang pria dan mana yang wanita. Mengapa para wanita amat senang memakai pakaian yang mengeluarkan mereka dari tabiatnya?! Adakah mereka masih bermoral? Ataukah mereka memang menghendaki kerusakan di muka bumi ini?!
5. Tidak mencolok dan berwarna yang dapat menarik perhatian
Alloh berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu. (QS. Al-Ahzab: 33)
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat membangkitkan syahwat kaum lelaki. Sungguh aneh tapi nyata, betapa banyak wanita apabila keluar rumah berdandan berjam-jam dengan sedemikian moleknya. Tetapi saat di dalam rumah, di depan sang suami yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang menyenangkan, justru biasa-biasa saja, bahkan kerapkali rambutnya acak-acakan, bau badan tak sedap dianggap tidak masalah, penampilan menjengkelkan pun sudah hal yang lumrah, dan demikian seterusnya. Ini memang kenyataan yang tak bisa dipungkiri lagi. Semoga Alloh menunjukkan kita semua ke jalan yang benar.
Tetapi jangan pahami penjelasan di atas secara dangkal, sehingga timbul suatu pemahaman bahwa pakaian wanita harus hitam saja sebagaimana dipahami sebagian wanita komitmen. Alasannya, praktek wanita sahabat tidaklah demikian. Perhatikanlah atsar berikut. Dari Ibrahim an-Nakha’i bahwa ia bersama al-Qamah dan al-Aswad mengunjungi para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melihat mereka mengenakan mantel-mantel berwarna merah.
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad shahih)
Betapa sedih hati kita melihat kaum hawa sekarang ini begitu antusias menggandrungi mode-mode busana ala barat baik melalui majalah, televisi, dan foto-foto tata rias para artis dan bintang film. Setiap kali ada mode busana baru ala barat yang mereka dapati, serentak saat itu juga mereka langsung mencoba dan menikmatinya. La haula wala quwwata illa billahi.
7. Bukan pakaian untuk mencari popularitas
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مُذِلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيْهِ نَارًا
Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Alloh mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)
Maksud pakaian syuhrah adalah setiap pakaian dengan tujuan meraih popularitas (ketenaran) di tengah-tengah orang banyak. Tidak berbeda apakah pakaian tersebut mahal yang dipakai dengan tujuan berbangga-bangga dengan dunia, maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seseorang dengan tujuan menunjukkan kezuhudannya dan riya’ (pamer).
8. Tidak diberi parfum atau wewangian
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiallahu’anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
أََيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوْا مِنْ رِيْحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
Siapa pun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina. (HR. Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dll. dengan sanad shahih)
Dan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhuma ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدُ مَعَنَا الْعِشَاءَ الأَخِرَةَ
Siapa pun perempuan yang memakai bakhur (wewangian sejenis kemenyan), maka janganlah ia menyertai kita dalam menunaikan shalat Isya’ yang akhir. (HR. Muslim, Abu Awanah, dll.)
Ibnu Daqiq al-‘Ied mengatakan, “Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki.”
Itulah larangan agama yang diterjang habis-habisan oleh sekian banyak wanita. Coba perhatikan secara seksama, kalau ke masjid saja dilarang, lalu bagaimana pendapat anda dengan tempat-tempat lainnya seperti pasar, supermarket, terminal, dan sebagainya. Tentu lebih dahsyat dosanya. Sungguh, terasa tidak pernah sepi suatu bus kota dari bau parfum yang campur dengan keringat.
Sebagai penutup, kami serukan kepada para orang tua, para suami, para guru, para tokoh agama, dan para penguasa, bahwa di pundak kalian terdapat suatu beban dan tanggung jawab terhadap siapa saja yang berada dalam kekuasaan kalian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Masing-masing dari kamu adalah pemimpin dan masing-masing dari kamu bertanggung jawab tentang orang-orang yang dipimpinnya. (Muttafaq ‘alaih)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
(QS. Al-Anfal: 24)
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Alloh dan rasul apabila rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS. al-Anfal: 24)
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberi hidayah kepada saudariku yang belum berjilbab dan meneguhkan saudariku yang sudah berjilbab.
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi