Kaidah Emas Dalam Memahami Sifat Allah

Kaidah Emas Dalam Memahami Sifat Allah

Prof. Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]

TEKS ATSAR

Imam Malik berkata: “Istiwa’ itu diketahui maknanya[2], adapun bagaimananya tidak diketahui[3], beriman dengannya wajib, bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”.

TAKHRIJ ATSAR

SHOHIH. Atsar ini shahih dan masyhur dari Imam Malik. Diriwayatkan dari sepuluh murid Imam Malik. Diantaranya yang paling bagus adalah riwayat sebagai berikut:

1. Abdullah bin Wahb sebagaimana dalam riwayat Imam al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa Shifat 2/304 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi dalam al-Uluw hlm. 141 dan dihasankan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/406.

2. Yahya bin Yahya at-Tamimi sebagaimana dalam riwayat al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat 2/305 dan al-I’tiqod hlm. 56. Dishahihkan adz-Dzahabi dalam Al-Uluw hlm. 141 dan Ibnu Abdil Hadi dalam Kitabul Istiwa’ hlm 4 (manuskrip).

Anehnya, pada zaman kita sekarang ada seorang yang melemahkan atsar ini dengan alasan-alasan yang rapuh yaitu Syaikh Hassan Abdul Mannan dalam Ta’liqnya terhadap Majmu’ah Rosail Syaikh Muhammad Nasib Ar-Rifa’I hlm. 28-29, cet Maktab Islami, padahal tidak ada seorangpun di kalangan ulama Ahli Sunnah yang mengingkarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Al-Iklil hlm. 5: “Para ulama telah menerima atsar ini, dan tidak ada di kalangan Ahlu Sunnah seorangpun yang mengingkarinya”. Beliau juga berkata dalam Syarh Hadits Nuzul hlm. 391: “Para ahli ilmu menerima ucapan beliau ini dan memujinya”.

FIQIH ATSAR

Atsar ini merupakan kaidah berharga dalam memahami masalah sifat-sifat Allah yang banyak diperbincangkan oleh manusia tanpa ilmu sehingga menjerumuskan kebanyakan mereka dalam kebingungan dan kesesatan. Syaikhul Islam berkata: “Jawaban Imam Malik dalam istiwa’ sangatlah memuaskan dan mencakup seluruh sifat Allah seperti turun, datang, tangan, wajah dan selainnya. Maka dikatakan dalam sifat turun misalnya: Turun itu maknanya diketahui, adapun bagaimananya tidak diketahui, beriman dengannya hukumnya wajib, bertanya tentangnya adalah bid’ah. Demikian pula dalam semua sifat-sifat Allah lainnya”. (Majmu’ Fatawa 4/4)

Ucapan semisal juga dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim, lalu beliau mengatakan: “Maka jalan yang selamat dalam masalah ini adalah dengan mensifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk diriNya dan apa yang disifatkan oleh Rasulullah tanpa tahrif (perubahan makna) dan ta’thil (mengingkari) dan tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil  (menyerupakan dengan makhluk). Namun hendaknya kita tetapkan nama dan sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk”. (Madarij Salikin 2/86)

Sebenarnya kaidah dalam masalah sifat ini sangatlah mudah sekali. Bila kita menerapkannya dan berpegang teguh dengannya sampai ajal menjemput kita maka kita akan selamat dari penyimpangan yaitu:

  1. Menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam hadits-haditsnya yang shahih. (Lihat QS. As-Syuro: 11)
  2. Tidak menyerupakannya dengan makhluk. (Lihat QS. As-Syuro: 11)
  3. Tidak membagaimanakan sifatnya karena itu di luar jangkauan akal manusia. (Lihat. QS. Thoha: 110)

Semoga Allah meneguhkan kita di atas aqidah salafus shalih yang selamat dari kesesatan dan penyimpangan.

 

Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi



[1] Dikutip oleh Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dari risalah beliau “Al-Atsar Al-Masyhur ‘anil Imam Malik Fi Shifatil Istiwa’ Dirosah Tahliliyyah”, cet Dar Ibnul Atsir, cet pertama 1423 H.

[2] Karena dalam bahasa Arab kata istawa bermakna tinggi dan naik, sebagaimana dikatakan oleh para ulama ahli tafsir, hadits dan bahasa. (Lihat Shahih Bukhori 13/403 dan Al-Uluw  hlm. 160.

[3] Karena sifat itu cabang dari Dzat. Maka sebagaimana kita tidak mengetahui bagaimana dzat Allah, demikian juga kita tidak mengetahui bagaimana sifat Allah.

Baca Juga Artikel Terbaru

Leave a Comment