Metode Syar’i Didalam Menasihati Penguasa

Metode Syar’i Didalam Menasihati Penguasa

Sesungguhnya kehidupan masyarakat manusia tidak akan tegak kecuali dengan pemimpin dan rakyatnya. Masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki hak dan kewajiban. Ketika dua hal (hak dan kewajiban masing-masing) ini diketahui dan dilaksanakan dengan baik maka kehidupan akan aman dan stabil. Akan tetapi, ketika dua hal ini tidak diketahui dan tidak dilaksanakan dengan baik maka akan berkuranglah keamanan dan kestabilan. Dan termasuk kesempurnaan syari’at Islam ialah bahwa syari’at Islam tidak mengabaikan hal itu sedikit pun.

Di antara kewajiban rakyat atas pemimpin adalah menasihati pemimpin dan meluruskan kesalahannya. Hal ini insya Allah telah diketahui oleh banyak dari kaum muslimin sesuai dengan kewajiban saling memberi nasihat dan saling memerintah kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.

Akan tetapi, yang banyak terjadi perbedaan pendapat adalah bagaimana cara yang benar di dalam menasihati pemimpin atau penguasa, apakah dengan cara menjelaskan kesalahan-kesalahan para penguasa di hadapan rakyat dengan terang-terangan? Ataukah dengan cara mendekati dan menjilat para penguasa tersebut? Atau mereka dibiarkan saja karena sulit diharapkan mereka bisa berubah? Ada lagi sebagian kaum muslimin yang terpengaruh dengan cara-cara dan pemikiran-pemikiran orang-orang kafir sehingga mereka melakukan demonstrasi, provokasi, dan agitasi dengan dalih menasihati penguasa.

Lantas, bagaimanakah cara yang benar di dalam menasihati penguasa sesuai dengan manhaj (metode) generasi terbaik umat ini? Insya Allah di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan sebagian jawaban atas hal ini dengan banyak mengambil faedah dari kitab asy-Syaikh Abdul Malik ibn Ahmad Ramadhani yang berjudul Thariqatus Salaf fi Nushhi as-Salathin wa Dzawisy Syaraf.

Nasihat Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin

Memberikan nasihat secara umum adalah perbuatan yang mulia, karena ia menunjukkan iktikad baik terhadap orang yang dinasihati. Karena itu, nasihat termasuk sifat-sifat yang menonjol dari para rasul ’alaihimush shalatu wassalam. Nabi Nuh ‘Alaihissalam berkata kepada kaumnya:

 أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاَتِ رَبِّي وَأَنصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَالاَتَعْلَمُونَ 

“Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku memberi nasihat kepadamu. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-A’raf [7]: 62)

Nabi Hud ‘Alaihissalam berkata:

أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاَتِ رَبِّي وَأَنَا نَاصِحٌ أَمِينٌ

“Aku menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.” (QS al-A’raf [7]: 68)

Nabi Shalih ‘Alaihissalam berkata:

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لاَتُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ 

“Maka Shalih meninggalkan mereka seraya berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbku, dan aku telah memberikan nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberikan nasihat.’” (QS al-A’raf [7]: 79)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

«إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ النَّاسِ كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ جَعَلَ الْفَرَاشُ وَهٰذِهِ الدَّوَابُّ الَّتِي تَقَعُ فِي النَّارِ يَقَعْنَ فِيهَا فَجَعَلَ يَنْزِعُهُنَّ وَيَغْلِبْنَهُ فَيَقْتَحِمْنَ فِيهَا فَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَهُمْ يَقْتَحِمُونَ فِيهَا».

“Perumpamaan diriku dan manusia yang aku dakwahi adalah bagaikan seseorang yang menyalakan api (lampu). Di kala api itu menyinari sekelilingnya, menjadikan serangga-serangga dan hewan menuju api itu, kemudian orang tersebut menarik serangga-serangga, tetapi mereka menuju kepadanya dan terjerumus dalam api. Maka akulah yang menarik ikat pinggang kalian dari api, ketika mereka terjerumus di dalamnya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya: 6002 dan Muslim di dalam Shahih-nya: 4235)

Di antara orang yang kita diperintahkan untuk menasihatinya adalah para penguasa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan mereka sebagai pemimpin kita. Dari Tamim ad-Dari Radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

«الدِّينُ النَّصِيحَةُ». قُلْنَا: لِمَن ؟ْ قَال: «لِلّٰهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ».

“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan bagi umumnya kaum muslimin.” (Shahih Muslim 1/74)

Al-Imam al-Khaththabi berkata, “Nasihat adalah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yaitu: bahwa pemilik nasihat menghendaki kebaikan orang yang dia nasihati. Nasihat (النصح) asal katanya dalam bahasa Arab adalah (الخلوص): ‘memurnikan’; dari kata (نصحت العسل): ‘Aku murnikan madu dari kotoran yang melekat padanya.’” (Ma’alimus Sunan Syarh Abu Dawud No. 4944)

Al-Imam Muhammad ibn Nashr al-Marwazi berkata: “Adapun nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin adalah mencintai kebaikan dan keadilan mereka, mencintai bersatunya umat di bawah mereka, membenci perpecahan umat dari mereka, beragama dengan menaati mereka dalam ketaatan kepada Allah, membenci siapa saja yang memberontak kepada mereka, dan mencintai kejayaan mereka di dalam ketaatan kepada Allah.” (Ta’zhim Qadri Shalat 2/694)

Al-Imam Ibnu Shalah berkata, “Nasihat bagi pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam hal yang ma’ruf, mengingatkan mereka dalam kebenaran, menasihati mereka dengan cara yang halus dan lembut, menjauhi perlawanan kepada mereka, mendo’akan kebaikan bagi mereka, dan mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama.” (Shiyanatu Shahih Muslim 1/221–222)

Mendo’akan Kebaikan Bagi Waliyyul Amr

Di antara nasihat kepada waliyyul amr adalah mendo’akan kebaikan kepada para waliyyul amr yang banyak dilalaikan oleh kaum muslimin padahal mereka mampu melakukannya.

Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (wafat tahun 321 H) berkata:

ولا نرى الخروج على أئمتنا و ولاة أمورنا وإِن جاروا، ولا ندعوا عليهم ولا ننزع يدا من طاعتهم، ونرى طاعتهم من طاعة الله w فريضة ما لم يأمروا بمعصية، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة

“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan para waliyyul amr kami meskipun mereka berbuat kecurangan. Kami tidak mendo’akan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka. Kami memandang bahwa ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai suatu kewajiban selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan, dan kami do’akan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Aqidah Thahawiyyah beserta syarahnya 2/540)

Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni (wafat tahun 449 H) berkata:

ويرى أصحاب الحديث الجمعة والعيدين و غيرهما من الصلوات، خلف كل إِمام، برا كان أو فاجرًا، ويرون جهاد الكفرة معهم، وإِن كانوا جَوَرة فجرة، ويرون الدعاء لهم بالإِصلاح والتوفيق والصلاح، وبسط العدل في الرعية

“Dan Ashabulhadits memandang bahwa shalat Jum’at, Idain (dua hari raya), dan shalat-shalat yang lainnya di belakang setiap imam yang muslim yang baik maupun yang fajir, mereka memandang hendaknya mendo’akan para pemimpin dengan taufiq dan kebaikan, dan menyebarkan keadilan terhadap rakyat.” (Aqidah Salaf Ashabil Hadits hlm. 106)

Abu Bakar al-Marudzi berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (al-Imam Ahmad) menyebut Khalifah al-Mutawakkil seraya mengatakan:

إِني لأدعو له بالصلاح والعافية …

“Sesungguhnya aku selalu mendo’akannya dengan kebaikan dan keselamatan…” (as-Sunnah oleh al-Khallal hlm. 84)

Fudhail ibn Iyadh berkata:

لو كانت لي دعوةٌ مستجابة ما جعلتها إِلا في السلطان

“Seandainya aku memiliki do’a yang mustajab maka tidaklah aku jadikan kecuali pada penguasa.” Ketika ditanyakan tentang maksudnya maka Fudhail ibn ’Iyadh berkata:

إذا جعلتُها في نفسي لم تَعْدُني.وإِذا جعلتها في السلطان صَلَح فصَلَح بصلاحه العبادُ والبلاد

“Jika saya jadikan do’a itu pada diriku maka tidak akan melampauiku, sedangkan jika saya jadikan pada penguasa maka dengan kebaikannya akan baiklah para hamba dan negeri.” (Diriwayatkan oleh al-Barbahari di dalam Syarhu Sunnah hlm. 116–117 dan Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah 8/91–92 dengan sanad yang shahih)

Maka sepantasnyalah bagi kaum muslimin yang ingin menegakkan kewajiban nasihat, dan menempuh jalan Salaf, sepantasnyalah bagi mereka mengkhususkan kepada waliyyul amr di dalam sebagian dari do’a-do’a kebaikan mereka, duhai seandainya orang-orang yang berkubang di dalam kehormatan para waliyyul amr berhenti dari apa yang mereka lakukan, dan menggantinya dengan do’a kebaikan, seandainya mereka melakukan ini maka sungguh ini adalah baik bagi mereka, ditambah lagi bahwa menyibukkan diri dengan pelanggaran-pelanggaran kehormatan tidaklah memperbaiki, bahkan akan menyesakkan dada dan memperbanyak dosa. Al-Hafizh Abu Ishaq as-Sabi’i berkata:

ما سب قومٌ أميرهم إِلا حُرموا خيره

“Tidaklah suatu kaum mencaci penguasa mereka kecuali diharamkan mereka dari kebaikannya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhid 21/287)

Metode Syar’i di Dalam Menyampaikan Nasihat Kepada Para Penguasa

Jika terjadi kesalahan pada para penguasa maka yang wajib adalah menasihati mereka dengan cara yang syar’i dan ittiba’ kepada jalan as-Salafushshalih yaitu dengan menasihatinya secara sembunyi-sembunyi, bukan dengan cara demonstrasi, provokasi, dan agitasi. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه له

“Barang siapa yang hendak menasihati penguasa pada suatu perkara maka janganlah dia tampakkan kepadanya terang-terangan, tetapi hendaknya dia pegang tangannya dan menyendiri dengannya. Kalau dia (penguasa) menerima (nasihat tersebut) maka itu bagus, dan kalau tidak maka dia telah memunaikan kewajibannya memberikan nasihat.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/403 dan Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah hlm. 507 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096)

Umar ibn al-Khaththab Radhiallahu’anhu berkata, “Wahai para rakyat sesungguhnya kalian memiliki kewajiban kepada kami, ‘Nasihat dengan cara sembunyi-sembunyi dan saling membantu dalam kebaikan.’” (Diriwayatkan oleh Hannad ibn Sari dalam az-Zuhd 2/602)

Ketika Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma ditanya tentang cara amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa maka dia mengatakan, “Jika kamu harus melakukannya maka antara dia dan dirimu saja.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf: 37307 dengan sanad yang hasan)

Abdullah ibn Abi Aufa berkata:

إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ

“Jika sang penguasa mendengar sesuatu darimu, maka datangilah rumahnya dan beri tahulah dia apa-apa yang kamu ketahui hingga ia menerimanya, dan jika tidak maka tinggalkanlah, karena kamu tidak lebih tahu daripada dia.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya: 19415 dan dihasankan oleh asy-Syakh al-Albani di dalam Zhilalul Jannah: 905)

Hikmah Menasihati Pemimpin Dengan Sembunyi-Sembunyi

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tidaklah memerintahkan sesuatu kecuali dengan hikmah yang diketahui oleh orang yang mengetahui dan tidak mengetahui orang yang tidak mengetahui, yang terkadang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahuinya sebagai ujian keimanan para hamba-Nya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ

“Agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.” (QS al-Baqarah [2]: 143)

Di antara hal yang dijelaskan oleh para ulama tentang hikmah menasihati para pemimpin dengan cara sembunyi-sembunyi adalah:

1.   Menghindarkan dari sebab-sebab khuruj dan pertumpahan darah.

Dari Syaqiq bahwa Usamah ibn Zaid Radhiallahu’anhuma ditanya, “Tidakkah Anda menemui Utsman dan berbicara kepadanya…” Beliau berkata:

أَتُرَوْنَ أَنِّى لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ

“Apakah kalian menganggap bahwa jika aku berbicara dengan beliau lantas aku harus memperdengarkannya kepada kalian? Demi Allah! Saya telah berbicara empat mata dengan beliau. Tanpa perlu saya membuka suatu perkara yang saya tidak suka jika saya menjadi orang yang pertama kali membukanya.” (Shahih al-Bukhari 6/3380 dan Shahih Muslim: 7674)

Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Keluar di dalam demonstrasi dan unjuk rasa tidaklah baik, dan jika tidak baik maka ia adalah jelek, karena tidak ada di sana kecuali baik dan jelek.”

Beliau berkata, “Dan ia bukanlah termasuk kebiasaan para sahabat Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Bukankah pada waktu itu ada kemungkaran-kemungkaran? Bukankah pada waktu itu ada penyimpangan-penyimpangan? Bukankah pada masa itu ada hal-hal yang menyelisihi syari’at Allah dan hal-hal yang bertolak belakang dengan Kitabullah? Ya, dan mereka tidaklah menuju kepada hal-hal itu semua dan tidaklah melakukannya walaupun yang lebih ringan dari hal itu semua.”

Beliau berkata, “Sesungguhnya hanyalah nasihat, arahan, memerintah kepada yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar, dan bekerja sama atas kebajikan dan taqwa, dan ini yang datang di dalam atsar Usamah ibn Zaid Radhiallahu’anhuma di dalam nasihatnya kepada Utsman Radhiallahu’anhu, empat mata dengannya, tanpa membuka pintu kerusakan dan pengrusakan, dan tanpa memprovokasi hati dan akal atas para waliyyul amr dari perkara-perkara yang merusak dan tidak memperbaiki, dari hal-hal yang membawa kejelekan dan tidak benar.” (Majalah al-Furqan Kuwait Edisi 82 hlm. 12)

2.   Tidak menyebabkan gangguan dan bahaya pada orang lain.

Terkadang orang yang menasihati penguasa ini adalah orang yang pemberani yang mampu menanggung akibat yang terjadi meskipun pahit. Akan tetapi, jika dia menyampaikannya dengan terang-terangan maka terkadang akan membahayakan orang lain karena sebagian penguasa akan membalas dendam atas setiap orang yang memiliki hubungan dengan orang yang menasihati dia dengan terang-terangan tersebut. Karena itulah, wajib atas seorang penyeru kepada kebaikan agar merasa menyayangi umatnya sebagaimana kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya. Inilah kebiasaan salaf, di mana mereka menasihati penguasa tentang hak-hak rakyat seperti seorang bapak membela anak-anaknya, seperti pernah dilakukan oleh Sufyan ibn Uyainah terhadap seorang penguasa yang bernama Ma’n ibn Zaidah. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata, “Sufyan ibn Uyainah masuk kepada Ma’n ibn Zaidah ketika di Yaman, dan Sufyan tidak pernah terkotori oleh perkara kekuasaan sebelumnya, maka Sufyan menasihati Ma’n dan menyebutkan kepadanya perkara-perkara kaum muslimin, maka Ma’n mengatakan, ‘Apakah kamu bapak mereka?! Apakah kamu bapak mereka?!’” Dan Ma’n adalah seorang gubernur dari Khalifah al-Manshur. (Lihat al-Jarh wat Ta’dil 1/53 dan Masa’il al-Imam Ahmad riwayat Shalih 1/240.)

3.   Agar rakyat tidak merasa bersih dari dosa.

Kebiasaan para da’i politik yang menyandarkan kezhaliman-kezhaliman kepada para penguasa mereka dengan terang-terangan di hadapan rakyat akan membutakan rakyat dari kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa mereka sendiri, sehingga mereka merasa bersih dari dosa dan tidak memperbaiki diri. Dan kapan seseorang buta dari dirinya maka dia telah fasik. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَتَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Hasyr [59]: 19)

Padahal, tidak akan baik suatu kaum hingga mereka memperbaiki diri-diri mereka. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’du [13]: 11)

4.   Nasihat di hadapan umum akan menghalangi diterimanya nasihat tersebut.

Orang yang memberikan nasihat mengharapkan tiga perkara:

Pertama: Mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua: Diterimanya nasihat tersebut oleh orang yang dinasihati sehingga dia kembali kepada kebenaran.

Ketiga: Menyebarkan rahmat kepada manusia dengan menyucikan negeri dari kesalahan orang yang dinasihati tersebut.

Nasihat secara sembunyi-sembunyi kepada penguasa akan membantu mereka untuk menerima nasihat dan memudahkan mereka untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan mereka. Sebaliknya, jika mereka dinasihati di hadapan umum maka akan menghalangi mereka dari taubat dan memperbaiki diri, bahkan terkadang membutakan mereka dari menerima kebenaran.

Demikian juga, orang yang memberikan nasihat di hadapan khalayak ramai dikhawatirkan sia-sia amalannya karena ingin didengarkan dan dilihat sehingga menghilangkan keikhlasan.

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata, “Di antara kecerdasan yang jeli bahwa engkau tidak membantah kesalahan orang yang memiliki banyak pengikut di hadapan umum, karena kedudukannya akan membawanya untuk membela kesalahan, dan itu adalah kesalahan yang kedua. Akan tetapi, hendaknya dengan sembunyi-sembunyi memberitahukan kepadanya hingga yang lainnya tidak ada yang tahu.” (ath-Thuruq al-Hukmiyyah hlm. 58)

Nasihat di hadapan umum memfitnah orang yang dinasihati sehingga dia tidak memandangnya kecuali pembeberan aib, Sulaiman al-Khawwash berkata:

من وعظ أخاه فيما بينه وبينه فهي نصيحة، ومن وعظه على رءوس الناس فإنما فضحه

“Siapa yang menasihati saudaranya secara empat mata saja maka ia adalah nasihat, dan siapa yang menasihatinya di hadapan manusia maka sesungguhnya ia adalah pembeberan aib.” (al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ’anil Munkar oleh Ibnu Abid Dunya hlm. 58)

5.   Menghindarkan diri dari menjatuhkan kewibawaan penguasa.

Jika manusia terbiasa merendahkan penguasa dengan mencelanya dan menyebutkan kejelekannya maka akan jatuhlah kewibawaan penguasa tersebut. Jika sudah hilang kewibawaannya maka rakyat akan lancang kepadanya dan melakukan hal-hal yang tidak baik akibatnya.

Dari Ziyad ibn Kusaib al-Asadi dia berkata, “Aku bersama Abu Bakrah Radhiallahu’anhu di bawah mimbar Ibnu ’Amir yang sedang berkhutbah dengan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilal (seorang Khawarij) berkata, ‘Lihatlah amir (penguasa) kita ini memakai pakaian orang-orang yang fasik!!’ Maka Abu Bakrah Radhiallahu’anhu berkata, ‘Diam kamu! Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ في الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ».

“Siapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi niscaya Allah akan menghinakannya.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’-nya: 2224 dan dihasankan oleh at-Tirmidzi dan asy-Syaikh al-Albani di dalam Takhrij as-Sunnah 2/492)

Al-Imam Ibnu Jama’ah berkata, “Hak penguasa yang keempat: Hendaknya diketahui agungnya haknya dan apa yang wajib dari mengagungkan kedudukannya, sehingga dia diperlakukan dengan apa-apa yang wajib baginya dari pemuliaan dan penghormatan, dan apa yang Allah berikan kepadanya dari pengagungan.” (Tahrirul Ahkam hlm. 20)

Contoh-Contoh dari Para Ulama Sunnah di Dalam Menasihati Penguasa

Para ulama Sunnah sejak zaman sahabat hingga hari ini telah memberikan teladan-teladan yang baik di dalam memberikan nasihat kepada para penguasa sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Di bawah ini akan kami bawakan sebagian dari teladan-teladan tersebut:

  1. Dari Abdurrahman ibn Abza bahwa seorang laki-laki mendatangi Umar Radhiallahu’anhu seraya berkata, “Aku berjunub, lalu tidak mendapatkan air.” Maka dia berkata, “Janganlah kamu shalat!” Lalu Ammar berkata, “Tidakkah kamu ingat, wahai Amirulmukminin, ketika saya dan kamu berada dalam suatu laskar, lalu kita berjunub, lalu kita tidak mendapatkan air. Adapun kamu, maka kamu tidak melakukan shalat, sedangkan saya maka saya berguling-guling di tanah, lalu aku shalat. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sudah cukup memadai bagi kamu untuk memukulkan kedua tanganmu pada tanah, kemudian meniupnya, kemudian kamu mengusap wajah dan kedua tanganmu dengan keduanya.’” Maka Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Bertaqwalah kepada Allah, wahai Ammar!” Dia berkata, “Jika kamu tidak berkenan maka aku tidak akan menceritakannya.” Umar berkata, “Kami serahkan engkau pada yang engkau pegang (yaitu sampaikanlah apa yang engkau anggap benar).” (Shahih al-Bukhari: 338 dan Shahih Muslim: 748)
  2. Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma berkata: Uyainah ibn Hishan ibn Hudzafah datang, lalu singgah di rumah anak saudaranya yaitu al-Hurr ibn Qais. Ia adalah salah seorang yang dekat dengan Umar Radhiallahu’anhu, salah seorang qari di Majlis Umar dan dewan syuranya. Baik ketika ia masih muda maupun sudah tua. Uyainah berkata kepada anak saudaranya, “Wahai anak saudaraku, apakah kamu ada masalah dengan Amirulmukminin, izinkanlah aku menemuinya.” Al-Hurr berkata, “Aku akan memintakan izin untukmu.” Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma berkata: Maka al-Hurr meminta izin untuk Uyainah agar bisa menemui Umar Radhiallahu’anhu, Umar Radhiallahu’anhu pun mengizinkannya. Tatkala ia masuk, ia berkata, “Wahai Ibnul Khaththab, Demi Allah, Anda tidak memenuhi hak kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.” Maka Umar Radhiallahu’anhu pun marah, hampir saja ia akan memukulnya. Lalu al-Hurr berkata kepadanya, “Wahai Amirulmukminin, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.’ Dan ini terhadap orang-orang yang bodoh.” Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma berkata: Maka demi Allah, Umar Radhiallahu’anhu pun tidak melampauinya ketika ayat itu dibacakan kepadanya. Ia berhenti pada Kitabullah. (Shahih al-Bukhari: 4642)
  3. Dari Khalid ibn Shafwan bahwa dia masuk kepada Umar ibn Abdul Aziz, maka Umar berkata kepadanya, “Nasihatilah aku, wahai Khalid!” Khalid berkata, “Sesungguhnya Allah tidak ridha ada seseorang yang di atasmu, maka Dia tidak ridha ada seseorang yang lebih pantas bersyukur daripadamu.” Maka Umar ibn Abdul Aziz menangis hingga pingsan. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman: 7432)
  4. Fudhail ibn Iyadh masuk kepada Harun ar-Rasyid seraya mengatakan, “Engkau ini—wahai yang berwajah tampan—engkau yang tidak ada antara Allah dan para makhluk-Nya seorang pun selainmu, engkau yang setiap orang ditanya pada hari kiamat tentang dirinya, sedangkan engkau ditanya tentang umat ini.” Maka menangislah Harun ar-Rasyid. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman: 7424)
  5. Asy-Syaikh Falah ibn Isma’il—seorang ulama Kuwait—menceritakan bahwa telah diputuskan di Somalia hukuman mati atas 6 orang warga negara Somalia yang empat orang dari mereka adalah da’i yang ditugasi dakwah oleh asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz yang eksekusi 6 orang tersebut adalah besok paginya. Maka asy-Syaikh Falah bersama para mahasiswa Universitas Islam Madinah yang lainnya mendatangi asy-Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iri. Ketika mendengar hal tersebut maka asy-Syaikh Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iri langsung menelepon asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz, tetapi pegawai kantor asy-Syaikh Bin Baz meminta maaf bahwa Syaikh sedang tidur, maka asy-Syaikh Abu Bakar berkata, “Ini adalah perkara darurat tidak bisa ditangguhkan.” Maka asy-Syaikh Bin Baz dibangunkan ketika sudah melewati tengah malam, ketika beliau mendengar berita itu maka beliau menangis, kemudian beliau menelepon istana Amir Abdullah ibn Abdul Aziz alu Su’ud—yang waktu itu masih sebagai putra Mahkota Saudi Arabia dan sekarang telah menjadi raja Saudi Arabia—, maka pegawai istana menyatakan bahwa beliau sedang tidur. Asy-Syaikh Bin Baz berupaya meyakinkan para pegawai tersebut, tetapi mereka tetap menolak. Akhirnya, Syaikh mengatakan, “Kalian bangunkan Amir atau saya akan datang sendiri ke istana!” Maka mereka membangunkan Amir Abdullah dan waktu itu sudah pukul 2 malam lebih. Amir Abdullah bersemangat mengurus hal dan langsung menelepon Presiden Somalia. Ketika semua menunggu hasilnya, maka datanglah berita gembira bahwa seluruh terpidana hari itu diampuni. (Thariqatus Salaf fi Nushhih as-Salathin wal Dzawisy Syaraf hlm. 47–48)

Penutup

Inilah yang bisa kami paparkan tentang metode syar’i di dalam menasihati penguasa. Semoga sedikit yang telah kami paparkan bisa menjadi penerang di dalam masalah ini dan menjadi rambu-rambu di dalam kita melangkah.

Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan taufiq kepada kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, selalu menjaga kita dari kejelekan-kejelekan jiwa-jiwa kita dan amal-amal kita. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan hidayah kepada seluruh pemimpin kaum muslimin kepada agama yang lurus dan mempersatukan kalimat mereka di atas kebenaran. Amin.

 

والله أعلم بالصواب

Al-Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Baca Juga Artikel Terbaru

Leave a Comment