Natal Bersama dan Selamat Natal Dalam Timbangan
Mukadimah
Nuansa Natal di negeri yang mayoritas muslim ini sangat terasa kemeriahannya. Mal-mal dan pusat perbelanjaan serta media televisi menggelar acara-acara bertemakan Natal. Semua itu untuk memeriahkan hari Christmas yang diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al-Masih atau Yesus yang diklaim sebagai Tuhan atau anak Tuhan, sebuah akidah kufur yang sangat bertentangan 180 derajat dengan akidah Islam.
Di tengah-tengah zaman penuh fitnah ini, prinsip akidah yang sudah mapan seringkali digoyang dan dianulir. Atas dalih toleransi umat beragama, sebagian umat muslim menghormati perayaan agama orang lain. Dengan dalih kerukunan antarumat beragama, sebagian umat Islam ikut-ikutan merayakan dan memeriahkan hari besar kufur dan syirik ini. Sebagian mereka bahkan dengan suka rela mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir atas hari raya mereka yang berisi kekufuran dan kesyirikan tersebut.
Lebih tragis lagi, pembenaran saling mengucapkan selamat atas hari raya antar umat beragama dilontarkan oleh para tokoh intelektual muslim. Tidak sedikit mereka yang bergelar profesor dan doktor.(!)
Prof. Dr. Din Syamsuddin, M.A., Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen. “Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani,” katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10/2005).[1]
Tatkala Gus Dur dalam kondisi kritis dan menjelang wafatnya, dia masih sempat mengucapkan selamat Natal, sebagaimana dituturkan oleh putri beliau Inayah Wahid. Ia berkata, “Saat itu, kondisi ayah yang makin kritis saat berbaring di rumah sakit. Teman, rekan, sahabat Gus Dur dari kalangan Nasrani datang menjenguk, bertepatan dengan Hari Natal, 25 Desember. Dengan kondisi yang sakit, Gus Dur masih bisa mengucapkan selamat Natal. Ucapan itu persis pada pada tanggal 25 Desember.”[2]
Prof. Dr. Muh. Quraish Syihab mendukung ucapan selamat Natal. Setelah membawakan surat Maryam ayat 23–30, dia mengatakan, “Itu cuplikan kisah Natal dari Alquran. Dengan demikian, Alquran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa ‘alaihis-salām.”[3]
Hari Raya Natal Syiar Agama Nasrani[4]
Setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing untuk mengenang dan menghidupkan peristiwa tertentu atau untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesenangan, dan syukur yang sifatnya berulang setiap tahun sebagai syiar agama. Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Perayaan adalah syariat dan ibadah yang difirmankan oleh Allah:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًۭا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَـٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ لِكُلٍّۢ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةًۭ وَمِنْهَاجًۭا ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةًۭ وَٰحِدَةًۭ وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًۭا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ ﴿٤٨﴾
Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS al-Mā’idah [5]: 48)
Bahkan perayaan termasuk syariat yang paling menonjol dibandingkan dengan lainnya dan termasuk syiar yang paling tampak. Oleh karenanya, tidak diragukan lagi bahwa menyerupai dan ikut-ikutan dengan mereka dalam syiar kufur akan menjurus kepada kekufuran.”[5]
Nah, hari Natal telah dijadikan umat Nasrani sebagai hari besar mereka dan syiar agama mereka. Apa itu hari Natal?! Natal adalah sebuah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa al-Masih ‘alaihis-salām) yang dalam pandangan umat Kristen saat ini ia adalah anak Tuhan dan Tuhan anak serta meyakini ajaran Trinitas.
Hari Natal adalah hari perayaan kaum Nasrani. Apa yang sedang mereka rayakan? Apa yang sedang mereka gembirakan? Tentunya semua kaum Nasrani—dari Sabang sampai Merauke—sepakat bahwa mereka sedang merayakan hari kelahiran tuhan dan sembahan mereka. Mereka tidak sedang merayakan kelahiran Yesus sebagai seorang nabi, tetapi merayakan kelahiran Yesus sebagai ‘Tuhan’ atau ‘anak Tuhan’.
Dan satu hal yang mesti kita ingat, bahwa asal-usul perayaan Natal bukan berasal dari ajaran Injil atau Taurat. Ia adalah perayaan yang muncul kemudian, dan menurut sebagian pendapat, momen 25 Desember itu dikaitkan dengan hari lahir “Dewa Matahari”. Perayaan Natal ini semacam kompromi antara basis agama Nasrani yang berasal dari risalah Samawi dengan paganisme Romawi.[6]
Islam telah membatalkan perayaan-perayaan jahiliah dan sudah menetapkan dua hari raya bagi pemeluknya untuk mengapresiasikannya dengan cara yang mulia. Yaitu dengan mengingatkan hikmah penciptaan, tugas manusia, beribadah kepada Allah, dan bergembira dengan cara yang dimubahkan.
Anas ibn Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu jahiliah, lalu beliau bersabda, ‘Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu jahiliah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, Idul Adha dan Idul Fitri.”[7]
Akidah Kufur Umat Kristen
Dalam akidah Islam, Isa putra Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Ta‘āla. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Bahkan Allah Ta‘āla telah membantah di banyak ayat-Nya bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putra-Nya:
وَأَنَّهُۥ تَعَـٰلَىٰ جَدُّ رَبِّنَا مَا ٱتَّخَذَ صَـٰحِبَةًۭ وَلَا وَلَدًۭا ﴿٣﴾
Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak. (QS al-Jinn [72]: 3)
Allah mengabarkan bahwa Dia Maha Kaya tidak butuh kepada yang lainnya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.
قَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدًۭا ۗ سُبْحَـٰنَهُۥ ۖ هُوَ ٱلْغَنِىُّ ۖ لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ إِنْ عِندَكُم مِّن سُلْطَـٰنٍۭ بِهَـٰذَآ ۚ أَتَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴿٦٨﴾
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempunyai anak.” Maha Suci Allah; Dialah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS Yūnus [10]: 68)
Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hampir-hampir langit dan bumi pecah.
وَقَالُوا۟ ٱتَّخَذَ ٱلرَّحْمَـٰنُ وَلَدًۭا ﴿٨٨﴾ لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْـًٔا إِدًّۭا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ ٱلسَّمَـٰوَٰتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُّ ٱلْأَرْضُ وَتَخِرُّ ٱلْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَن دَعَوْا۟ لِلرَّحْمَـٰنِ وَلَدًۭا ﴿٩١﴾ وَمَا يَنۢبَغِى لِلرَّحْمَـٰنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا ﴿٩٢﴾ إِن كُلُّ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ إِلَّآ ءَاتِى ٱلرَّحْمَـٰنِ عَبْدًۭا ﴿٩٣﴾
Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS Maryam [19]: 88–93)
Dan secara tegas Allah telah menyatakan “kafir” para penganut ajaran Trinitas tersebut.[8]
لَقَدْ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ ٱلْمَسِيحُ يَـٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ رَبِّى وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍۢ ﴿٧٢﴾ لَّقَدْ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَـٰثَةٍۢ ۘ وَمَا مِنْ إِلَـٰهٍ إِلَّآ إِلَـٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا۟ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٧٣﴾
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam”, padahal al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Isra’il, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS al-Mā’idah [5]: 72–73)
Sesungguhnya ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani adalah kafir, berdasarkan Alquran, hadis, dan ijmak, bukan seperti celotehan para pengusung paham Liberalisme.(!)
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَـٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ ﴿٦﴾
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.[9]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ a عَنْ رَسُولِ اللهِ n أَنَّهُ قَالَ : « وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ »
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Demi Zat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, melainkan dia termasuk ahli Neraka.”[10]
Al-Imam al-Syatibi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kami melihat dan mendengar bahwa kebanyakan Yahudi dan Nasrani mengetahui tentang agama Islam dan seluk-beluknya, tetapi semua itu tidak bermanfaat bagi mereka selagi mereka tetap di atas kekufuran dengan kesepakatan ahli Islam.”[11]
Bolehkah Umat Muslim Natal Bersama?!
Setelah kita tahu bahwa perayaan natal adalah mengandung akidah kufur yang menuhankan Isa al-Masih. Sungguh, tidak mungkin seorang muslim yang menauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya tersebut yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan.
Berikut ini akan kami utarakan hujah-hujah yang melarang kita untuk Natal bersama, mendukung atau ikut serta di dalamnya.[12]
Kami katakan: Orang yang ikut serta dalam Natal tidak lepas dari dua keadaan:
1. Tujuannya adalah mengagungkan perayaan mereka. Ini tidak ada perselisihan di kalangan ahli ilmu tentang haramnya[13], bahkan sebagian ulama mengafirkan pelakunya.[14]
2. Tujuannya adalah sekadar berbasa-basi dan kebiasaan saja. Ini pun tidak boleh karena termasuk tasyabuh (menyerupai orang kafir) dengan kesepakatan ulama.[15]
Dalil-dalil yang melarang ikut serta dalam perayaan mereka banyak sekali, di antaranya:
1. Alquran
Allah Ta‘āla menyifati ‘Ibādurraḥman (hamba-hamba Allah yang sejati):
وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu… (QS al-Furqān [25]: 72)
Makna al-zūr adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibn ‘Abbas, Abu al-‘Aliyah, Ibn Sirin, al-Dahak, Rabi‘ ibn Anas, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabiin.[16]
Al-Razi mengatakan, “Mengandung kemungkinan ayat ini mencakup menghadiri tempat-tempat yang di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak pantas, termasuk perayaan-perayaan kaum musyrikin dan perkumpulan orang fasik, sebab siapa saja yang bergaul dengan orang jelek, melihat perbuatan mereka, dan hadir dalam perkumpulan mereka, maka itu berarti telah berserikat dalam maksiat, sebab kehadiran adalah lambang keridaan bahkan merupakan sebab bertambahnya jumlah mereka…”[17]
2. Hadis
Dari Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.” (HR Abu Dawud: 4031 dll. dan dinilai sahih oleh al-Albani)
Perayaan adalah syiar utama orang kafir, maka lebih utama untuk dilarang menyerupai mereka dalam perayaan. Ibn Muflih Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Segala hal yang merupakan ciri khas bagi perayaan mereka maka saya tidak mengetahui perselisihan pendapat bahwa itu termasuk tasyabuh sedangkan tasyabuh dengan orang kafir adalah terlarang.”[18]
Demikian juga, di antara dalil lainnya adalah hadis Anas ibn Malik Radhiallahu ‘Anhu:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ a قَالَ : كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ n الْمَدِينَةَ قَالَ : « كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى »
Dari Anas ibn Malik Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu jahiliah, lalu beliau bersabda, ‘Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu jahiliah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, Idul Adha dan Idul Fitri.”[19]
Dalam hadis ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang umatnya untuk mengikuti perayaan kafir karena Islam telah menggantinya dengan perayaan yang mulia. Hadis ini mengandung larangan bergembira pada hari Nairuz dan Mahrajan (dua perayaan jahiliah). Maka tidak boleh bagi seorang mukmin untuk menyerupai orang-orang kafir dalam mengagungkan perayaan-perayaan orang kafir.[20]
3. Ijma’ Ulama
Para ulama telah bersepakat tentang tidak bolehnya ikut serta dalam perayaan-perayaan orang kafir.[21] Oleh karenanya, sekalipun orang kafir dahulu merayakan perayaan mereka sejak dahulu tapi tidak dinukil dari salaf bahwa mereka ikut serta dalam perayaan mereka.
Telah datang beberapa asar salaf yang tegas melarang ikut serta dalam perayaan orang kafir, seperti ucapan ‘Umar ibn al-Khattab Radhiallahu ‘Anhu, “Janganlah kalian masuk ke gereja orang-orang musyrikin saat perayaan mereka, sebab kemurkaan Allah turun atas mereka.” “Barangsiapa tinggal di negara kafir lalu ikut merayakan hari perayaan mereka dan menyerupai mereka, maka kelak akan dikumpulkan bersama mereka di Hari Kiamat.”[22]
4. Akal
Secara akal, ikut serta dalam perayaan mereka itu berarti mengagungkan perayaan mereka, mendukung dan membantu kekufuran dan kesyirikan mereka.[23] Apalagi jika yang hadir dan mendukung adalah para tokoh yang menjadi panutan umat maka hal itu akan menyenangkan mereka dalam kebatilan. Lantas, siapa yang bisa membendung pengaruh dan dampak negatif dari semua itu?!!
Dan MUI telah mengeluarkan fatwa resmi tentang haramnya umat Islam ikut Natal bersama. (Lihat di rubrik fatwa ulama.)
“Selamat Natal” Dalam Timbangan
Setelah kita tahu bahwa perayaan Natal mengandung akidah kufur yang menuhankan Isa al-Masih, maka pantaskah seorang muslim mengucapkan selamat atas perayaan tersebut.
Jawabnya: Tentu tidak boleh, dengan berbagai alasan sebagai berikut:
1. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “selamat” artinya terhindar dari bencana, aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat artinya adalah doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera, tidak kurang suatu apa, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.
Lalu bagaimana bisa seorang muslim yang bertolak belakang dan jelas berbeda pemahamannya mengenai Nabi Isa p\ mendoakan kaum Kristen keselamatan atas apa yang mereka pahami tadi? Padahal, dengan sangat jelas Allah Ta‘āla menyatakan mereka sebagai orang kafir (QS al-Mā’idah [5]: 72–75).
2. Coba kita renungkan dengan akal sehat, tatkala seorang muslim mengucapkan selamat kepada mereka, apakah yang dipahami oleh mereka? Apakah mereka memahami seorang muslim sedang menyatakan “selamat atas kelahiran Yesus sebagai seorang nabi”? Tentunya sama sekali tidak!!! Karena, jika mereka memahami demikian tentunya mereka akan mengamuk dan merasa dihina oleh seorang muslim, sebagaimana mereka (Nasrani) meyakini Yesus (Isa al-Masih p\) sebagai ‘Tuhan’ atau ‘anak Tuhan’ bukan nabi.
Karena itu, mengucapkan selamat hari Natal menimbulkan kelaziman-kelaziman yang sangat buruk:
(Selamat Hari Natal = Selamat hari lahirnya ‘Tuhan’ kalian = selamat menyembah salib = selamat kalau Allah punya anak = selamat bertrinitas = selamat memusuhi agama tauhid [Islam] = Selamat bahagia dengan bangkitnya kaum salibis yang senantiasa mengharapkan hancurnya Islam)
Ucapan “selamat Natal” lebih parah daripada ucapan “selamat berzina…”, “selamat mabuk…”, “selamat mencuri…”, “selamat membunuh…”, “selamat korupsi…”, karena dosa terbesar adalah dosa kesyirikan.
Akan tetapi, masih banyak kaum Muslimin yang tidak menyadarinya…!!!!
Dan ternyata, hal ini telah jauh-jauh hari yang lalu diperingatkan oleh para ulama. Ibn al-Qayyim Rahimahullahu Ta’ala menegaskan:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل
“Adapun ucapan selamat dengan syiar-syiar kekufuran yang khusus, maka hukumnya adalah haram dengan kesepakatan ulama, seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi selamat atas sujud mereka terhadap salib, bahkan hal itu lebih parah dosanya dan lebih dahsyat kemurkaan di sisi Allah dibandingkan dengan ucapan selamat atas minum khamar, membunuh, zina, dan sebagainya. Sungguh, banyak orang yang tidak memiliki agama dalam hatinya terjatuh dalam hal tersebut dan tidak mengetahui kejinya perbuatannya tersebut.”[24]
Tidak diragukan lagi bagi orang yang berakal/waras bahwasanya jika seseorang berkata kepada orang lain “selamat berzina” sambil mengirimkan kartu ucapan selamat, disertai senyuman tatkala mengucapkannya, maka tidak diragukan lagi bahwasanya menunjukkan ia rida dengan zina tersebut. Dan itulah yang dipahami oleh sang pelaku zina.
Lantas, jika ada orang yang mengucapkan “selamat hari Natal”, bukankah ini menunjukkan ia rida dengan acara kesyirikan dan kekufuran tersebut?? Ucapan selamat seperti ini, tidak diragukan lagi secara lahir menunjukkan keridaan!!!
Dari sinilah kenapa para ulama mengharamkan ucapan “selamat Natal” meskipun pelakunya tidak bermaksud rida dengan kekufuran dan kesyirikan bahkan ini merupakan kesepakatan ulama sebagaimana nukilan Ibn al-Qayyim di atas dan ini merupakan fatwa para ulama masa kini seperti al-Syaikh Ibn Baz dan al-Syaikh Ibn ‘Usaimin, juga Ketua MUI KH. Ma‘ruf Amin[25].
Meridai kekufuran, dengan cara memberikan selamat atau bahkan membantu mereka dalam perayaan tersebut, merupakan perbuatan yang diharamkan. Hal ini dikarenakan Allah Ta‘āla sendiri tidak meridai hal tersebut, dalam firman-Nya:
إِن تَكْفُرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا۟ يَرْضَهُ لَكُمْ ۗ
Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu. (QS al-Zumar [39]: 7)
3. Jika kita membolehkan ucapan “selamat Natal”, berarti kita akan membolehkan juga ucapan-ucapan selamat yang lain yang berkaitan dengan hari-hari raya orang Kristiani dan Yahudi itu? Misalnya, kita harus juga mengucapkan “selamat Paskah”, “selamat Misa Kudus”, “selamat Barnispah” (hari raya Yahudi), dan lainnya. Bahkan hal ini bisa berkembang lebih jauh, menjadi “selamat Hari Raya Nyepi”, “selamat Hari Raya Galungan”, “selamat Imlek”, “selamat Hari Raya Komunis”, dan seterusnya. Toh, pertimbangannya, mereka tidak selalu memerangi kaum Muslimin secara agama dan mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman. Jika demikian cara berpikirnya, ya hancur agama ini. Masya Allah, lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.
4. Bila diperbolehkan ucapan “selamat Natal”, maka hal ini merupakan kemenangan besar bagi syiar agama Kristiani. Mereka akan merasa memiliki kesejajaran dengan kaum Muslimin dalam syiar keagamaan.
5. Siapa bisa menjamin bahwa masyarakat tak akan terjerumus lebih jauh untuk rida dengan agama kafir lantaran telah dibukanya pintu-pintu menuju pengakuan terhadap kebenaran agama lain. Bukankah termasuk kaidah dalam agama adalah sadd al-żarī‘ah (membendung segala sarana menuju kepada perbuatan haram) dan meninggalkan perkara syubhat?![26]
Berbuat Baik Bukan Berarti Korbankan Akidah
Banyak di antara para tokoh agama yang membolehkan ucapan “selamat Natal” berdalih dengan firman Allah:
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَـٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾ إِنَّمَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَـٰتَلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمْ وَظَـٰهَرُوا۟ عَلَىٰٓ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ﴿٩﴾
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS al-Mumtaḥanah [60]: 8–9)
Mereka telah lalai atau pura-pura lalai bahwa berbuat baik kepada orang kafir, sekalipun memang boleh, bukan berarti kita mengorbankan akidah dan prinsip kita dengan melakukan loyalitas dan cinta kepada mereka yang terlarang dalam agama.[27] Allah Ta‘āla berfirman:
لَّا تَجِدُ قَوْمًۭا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَتَبَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْإِيمَـٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍۢ مِّنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ حِزْبُ ٱللَّهِ ۚ أَلَآ إِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ﴿٢٢﴾
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah ḥizbullāh (golongan Allah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ḥizbullāh (golongan Allah) itu adalah golongan yang beruntung. (QS al-Mujādilah [58]: 22)
Ibn al-Jauzi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan ketika menafsirkan QS al-Mumtaḥanah [60]: 8, “Ayat ini merupakan keringanan tentang bolehnya menyambung tali kerabat terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin dan bolehnya berbuat baik kepada mereka sekalipun loyalitas (saling mencintai) terputus dari mereka.”[28] Bahkan dalam surat al-Mumtaḥanah itu sendiri terdapat penjelasan gamblang tentang prinsip pokok akidah walā’ (loyalitas kepada setiap muslim) dan barā’ (membenci dan memusuhi orang kafir) seperti firman Allah Ta‘āla:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا۟ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ ٱلْحَقِّ يُخْرِجُونَ ٱلرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَـٰدًۭا فِى سَبِيلِى وَٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِى ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَأَنَا۠ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ أَعْلَنتُمْ ۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ﴿١﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (QS al-Mumtaḥanah [60]: 1)
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذْ قَالُوا۟ لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُا۟ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةُ وَٱلْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحْدَهُۥٓ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَٰهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ أَمْلِكُ لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن شَىْءٍۢ ۖ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ ﴿٤﴾
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS al-Mumtaḥanah [60]: 4)
Nah, di antara bentuk loyalitas kepada orang kafir yang terlarang adalah ikut serta dalam hari raya mereka dan mengucapkan selamat natal kepada mereka. Jadi, masalah ini merupakan masalah akidah bukan masalah adat semata.[29]
Lagi pula, andaikan kita tidak mengucapkan “selamat Natal” bukan berarti kita menutup pintu-pintu perbuatan baik kepada Kristiani-Yahudi. Tidak demikian. Kita boleh berlaku sopan santun dan ramah kepada mereka, kita boleh bertetangga dan bergaul dengan mereka, kita boleh bermuamalah dengan mereka, kita boleh saling membantu dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan bersama, dan lain-lain. Jadi, tatkala Anda tidak mengucapkan “selamat Natal”, bukan berarti Anda kehilangan kesempatan untuk berbuat baik kepada mereka. Apalagi, kalau alasan ucapan “selamat Natal” itu sebatas basa-basi belaka. Sudah basa-basi, melanggar prinsip akidah, dan tidak ada mudaratnya kalau kita tidak mengucap “selamat Natal”.
Akhirnya, kita berdoa kepada Allah Ta‘āla agar menjadikan kita umat yang bangga dan kuat dengan prinsip-prinsip agama Islam dan tidak terkecoh oleh tipu daya dan fitnah yang kerapkali meruntuhkan akidah.
Oleh al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi ḥafiẓahullāh
[1] http://www.voa-islam.com/islamia/aqidah/2010/12/21/12415/hukum-mengucapkan-dan-menjawab-selamat-natal/
[2] Sebagaimana dinukil dari http://www.tribunnews.com/2011/01/01/gus-dur-masih-bisa-ucapkan-selamat-natal
[3] Membumikan Al-Qur’an hlm. 579–580 cet. Mizan, Bandung, edisi baru cetakan pertama Juli 2007/Rajab 1428 H.
[4] Faedah: Hendaknya kita tidak menyebut mereka dengan lafaz “Masiḥiyyun” (kaum Masehi) karena pada dasarnya umat Nasrani bukanlah pengikut Isa al-Masih p\ yang sejati. Seandainya mereka pengikutnya yang sejati, niscaya mereka akan mengikuti agama Islam yang dikabarkan oleh Nabi Isa p\ sendiri. Oleh karenanya, istilah dalam Alquran dan Sunah tatkala menyebut mereka adalah dengan lafaz Naṣara (Nasrani) bukan Masiḥiyyun, sebagaimana hendaknya tidak menyebut kaum Yahudi dengan istilah Isra’il karena mereka bukanlah pengikut Isra’il (Ya‘qub p\) yang sejati. (Lihat Fatāwa ‘Ulamā’ Balad al-Ḥarām hlm. 205-206 dan Mu‘jam Manahi Lafẓiyyah hlm. 93 karya al-Syaikh Bakr Abu Zaid.)
[5] Iqtiḍā’ al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm 1/208
[6] Lihat secara luas dalam buku Perayaan Natal 25 Desember: Antara Dogma & Toleransi karya Ibu Irena Handono.
[7] HR Ahmad 3/103, Abu Dawud: 1134, dan al-Nasa’i 3/179
[8] Hal ini membantah klaim kaum liberal dan sejawatnya yang mengatakan bahwa mereka bukan kafir, melainkan ahli kitab. Termasuk mereka juga adalah Dr. M. Quraish Syihab dalam buku hitamnya Membumikan Al-Qur‘an hlm. 290 tatkala mengatakan, “… Hanya saja, penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan penjelasan bahwa penganut ajaran Trinitas tidak disebut ‘Kafir’ oleh Alquran melainkan ‘Ahli kitab’.”
[9] QS al-Bayyinah [98]: 6
[10] HR Muslim: 153
[11] Al-Muwāfaqāt 1/85 tahqiq al-Syaikh Masyhur Hasan
[12] Pembahasan bab ini banyak mengambil faedah dari kitab Aḥkām al-Ma‘ābid Dirāsah Fiqhiyyah Muqaranah karya Dr. ‘Abdurrahman ibn Dakhil al-‘Usaimi hlm. 124–132 cet. Kunuz Isybiliya dan al-Tasyabbuh al-Manhiyyu ‘anhu fi al-Fiqh al-Islāmi hlm. 335–342 karya Jamil ibn Habib al-Luwaihiq cet. Dar Andalus Khadra.
[13] Lihat al-Fatāwa al-Kubra 2/489, Mawāhib al-Jalīl 6/290, Kanzu Daqā’iq 5/133.
[14] Lihat Radd al-Mukhtār 6/755, Tuḥfah al-Muḥtāj 9/182.
[15] Kasysyaf al-Qanā‘ 3/132
[16] Lihat al-Durr al-Manṡūr 6/282 karya al-Suyuti, Zād al-Masīr 9/109 karya Ibn al-Jauzi, Tafsīr Ibn Kaṡīr 3/328.
[17] Al-Tafsīr al-Kabīr 24/99
[18] Al-Furū‘ 5/309
[19] HR Ahmad 3/103, Abu Dawud: 1134, dan al-Nasa’i 3/179
[20] Al-Manhal al-Maurid 1/295
[21] Maṭālib Ulil-Nuha 2/608, Iqtiḍā’ al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm 1/198, Aḥkām Ahl Żimmah 3/1245.
[22] Sunan Kubra karya al-Baihaqi 9/392
[23] Al-Fatāwa al-Kubra 2/478
[24] Aḥkām Ahl Żimmah hlm. 202–203
[25] Lihat fatwa-fatwa mereka di rubrik fatwa ulama di Majalah ini.
[26] Diringkas dari artikel di http://www.hidayatullah.com/read/26525/27/12/2012/sekali-lagi,-hukum-mengucap-%E2%80%9Cselamat-natal%E2%80%9D.html dan http://www.firanda.com/index.php/artikel/status-facebook/363-dibalik-ucapan-selamat-hari-natal
[27] Lihat al-Ta‘āmul Ma‘a Gair al-Muslimīn hlm. 19 karya Dr. ‘Abdullah ibn Ibrahim al-Tariqi.
[28] Zād al-Masīr 8/237. Lihat pula Aḥkām al-Qur’ān 2/191 karya al-Syafi‘i, Aḥkām al-Qur’ān: 907 karya Ibn al-‘Arabi, dan Fatāwa Hindiyyah 5/347.
[29] Risalah al-Walā’ wa al-Barā’ hlm. 13 karya al-Syaikh Salih ibn Fauzan al-Fauzan