Perbedaan Adzan Saat Shalat Jum’at dan Tatswib Saat Subuh
Oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Soal:
Assalamu’alaikum. Kami mendapati pada sebagian masjid ada yang menjadikan adzan untuk shalat Jum’at sekali dan ada yang dua kali, sebagaimana ada juga yang menjadikan tatswib pada adzan pertama sebelum subuh dan ada yang saat adzan subuh. Kami mohon penjelasan tentang perbedaan ini. Manakah yang benar dan bagaimana menyikapinya?! Jazakumullahu khairan. (Hamba Allah, 081…)
Jawab:
Masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sebab itu, sebelum kami mengetengahkan jawaban atas pertanyaan ini, perlu kiranya kami menghimbau kepada saudara-saudara kami untuk menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini dengan bijak, yaitu sikap lapang dada. Masalah ini juga hendaknya menjadikan kita untuk lebih memperluas wacana tentang perselisihan ulama, karena sebagaimana kata Imam Qatadah, “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih.”[1]
Adapun mengenai pertanyaan Saudara, terdapat dua permasalahan yang perlu dijelaskan:
Masalah Pertama: Tatswib
Tatswib adalah ucapan seorang muadzin الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ (artinya: “Shalat lebih baik daripada tidur”). Tatswib hukumnya sunnah pada adzan shalat Subuh saja[2], selain shalat Subuh tidak disyari’atkan. Hanya, kapankah tatswib diucapkan? Apakah pada adzan pertama sebelum subuh ataukah adzan subuh setelah terbitnya fajar? Masalah ini diperselisihkan ulama:
Pendapat Pertama: Tatswib disyari’atkan pada adzan pertama sebelum subuh. Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hanbali[3] dan dipilih oleh ash-Shan’ani[4] dan Syaikh Albani[5]. Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Dalil hadits
عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ a، قَالَ: كُنْتُ أُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ ، وَكُنْتُ أَقُولُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ الأَوَّل: حَيَّ عَلَى الْفَلاحِ، الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
Dari Abu Mahdzurah berkata, “Saya adzan untuk Rasulullah dan saya mengatakan pada adzan fajar pertama ‘Hayya ’alal Falah: Ash-shalatu khairun minan naum.’”[6]
Mereka mengatakan, hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa tatswib itu hanya khusus pada adzan pertama dari shalat Subuh.
2. Dalil akal. Mereka mengatakan, tujuan utama adzan pertama adalah membangunkan orang tidur, sedangkan adzan kedua adalah pemberitahuan masuknya waktu.
Pendapat Kedua: Tatswib disyari’atkan pada adzan kedua setelah subuh. Inilah madzhab Hanabilah[7] dan dipilih oleh Syaikh Ibnu Baz[8], Syaikh Ibnu Utsaimin[9], dll. Dalil mereka adalah:
1. Semua riwayat hadits yang menyebutkan disyari’atkannya tatswib menegaskannya dengan adzan untuk shalat Subuh atau shalat Fajar. Hal ini tidak mungkin dipahami kecuali untuk shalat Subuh setelah masuknya waktu shalat. Adapun adzan pertama bukanlah panggilan untuk shalat.
2. Hadits Nu’aim bin Nahham sebagai berikut:
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ النَّحَّامِ قَالَ: كُنْتُ مَعَ امْرَأَتِي فِي مِرْطِهَا فِي غَدَاةٍ بَارِدَةٍ فَنَادَى مُنَادِى رَسُولِ اللَّهِ إِلَى صَلَاةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا سَمِعْتُ قُلْتُ لَوْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ وَمَنْ قَعَدَ فَلَا حَرَجَ، فَلَمَّا قَالَ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ قَالَ: وَمَنْ قَعَدَ فَلَا حَرَجَ.
Dari Nu’aim bin Nahham berkata, “Pada suatu malam aku bersama istriku dalam selimutnya pada subuh yang sangat dingin, lalu muadzin Rasulullah memanggil untuk shalat Subuh. Tatkala aku mendengar maka aku berkata, ‘Seandainya dia mengatakan: Barangsiapa yang duduk maka tidak apa-apa.’ Tatkala dia mengatakan: ‘Ash-shalatu khairun minan naum’ dia mengatakan, ‘Barangsiapa yang duduk maka tidak apa-apa.’”[10]
Segi perdalilan dari hadits ini dari beberapa segi[11]:
a. Lafazh “Pada ghadah yang dingin dia memanggil”, ini merupakan dalil bahwa panggilan ini terjadi pada waktu ghadah yaitu subuh/fajar shadiq, bukan akhir malam, karena ghadah dalam bahasa Arab adalah semenjak terbitnya fajar hingga terbitnya matahari.[12]
b. Lafazh “Memanggil untuk shalat Subuh”, ini merupakan dalil bahwa panggilan tersebut untuk shalat, tentu saja ini tidak bisa dipahami kecuali adzan setelah masuknya waktu shalat Subuh.
c. Lafazh “Barangsiapa yang duduk maka tidak apa-apa”, ini juga merupakan dalil bahwa panggilan tersebut mewajibkan pergi ke masjid untuk melakukan shalat bagi orang yang mendengarnya.
3. Ucapan Sahabat Anas:
عَنْ أَنَسٍ a قَالَ: كَانَ التَّثْوِيْبُ فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ, قَالَ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
Dari Anas berkata, “Adalah tatswib pada shalat Subuh apabila muadzin mengatakan: ‘Hayya ’alal Falah’ dia mengatakan: ‘Ash-shalatu khairun minan naum.’”[13]
Tidak ragu lagi bahwa pendapat kedua ini adalah pendapat yang sangat kuat, karena beberapa segi:
Pertama: Dalil pendapat pertama dengan hadits Abu Mahdzurah bisa dijawab bahwa maksud adzan pertama dari shalat Subuh adalah adzan subuh setelah masuknya waktu, sedangkan adzan keduanya adalah iqamat, sebab iqamat juga disebut dengan adzan sebagaimana dalam hadits:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاة
“Antara dua adzan disunnahkan shalat.”[14]
Demikian juga dalam hadits Saib bin Yazid:
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ الَّذِي زَادَ التَّأْذِينَ الثَّالِثَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ a حِينَ كَثُرَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ
“Sesungguhnya yang menambahkan adzan ketiga pada hari Jum’at adalah Utsman setelah manusia banyak.”[15]
Padahal tidak ada dalam Jum’at kecuali dua adzan dan iqamat. Lebih jelas lagi, mari kita perhatikan hadits Aisyah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ s قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ n إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ بِالأُوْلَى مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ بَعْدَ أَنْ يَسْتَبِيْنَ الْفَجْرُ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلإِقَامَةِ
Dari Aisyah berkata, “Adalah Rasulullah apabila muadzin selesai dari adzan pertama shalat Subuh beliau berdiri lalu shalat dua raka’at ringan sebelum shalat Fajar setelah jelas fajar kemudian beliau berbaring pada bagian kanannya sehingga muadzin datang kepada beliau untuk iqamat.”[16]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Maksud beliau dengan pertama adalah adzan setelah masuknya waktu, dia disebut awal dibanding dengan iqamat, dan juga disebut kedua dibanding dengan adzan sebelum fajar”.[17] Jadi, dalam hadits ini Aisyah menggunakan lafazh yang sama dengan maksud untuk adzan subuh setelah masuknya waktu.
Kedua: Dalam hadits Abu Mahdzurah dikatakan “Adzan pertama dari subuh” atau “dari fajar” menunjukkan untuk shalat Subuh, sedangkan adzan pertama itu belum masuk waktu subuh atau fajar, tetapi masih malam. Lebih-lebih lagi terdapat riwayat “Apabila pada shalat Subuh” sedangkan shalat Subuh itu jelas setelah masuknya waktu.
Ketiga: Dalam sebagian riwayat Abu Mahdzurah tatswib diiringi dengan iqamat, ini adalah indikasi yang sangat kuat bahwa maksudnya adalah adzan yang setelah itu adalah iqamat yaitu adzan subuh bukan sebelum subuh.
Keempat: Rasulullah mengajarkan tatswib kepada Abu Mahdzurah, hal ini bisa dipahami bahwa maksudnya adalah adzan setelah masuknya waktu sebagaimana zhahirnya hadits.[18]
Kelima: Tidak dinukil bahwa Abu Mahdzurah kadang-kadang melakukan adzan sebelum subuh dan kadang setelah subuh.[19] Adanya dua adzan tersebut hanya ada ketika di Madinah.
Keenam: Adzan subuh sangat tepat dengan tatswib, yaitu dengan menjelaskan kepada manusia bahwa shalat yang diwajibkan oleh Allah kepada para hamba-Nya lebih baik bagi mereka daripada tidur pada saat itu, maka sewajibnya bagi hamba untuk segera bangkit dari tidur untuk menuju masjid.[20]
Ketujuh: Adapun dalil akal mereka bahwa tujuan adzan pertama adalah untuk membangunkan orang, kita putar dalil ini bahwa justru dalil ini menguatkan pendapat kami, karena sebagaimana diakui bersama bahwa tujuan adzan ini bukan untuk shalat Subuh melainkan untuk membangunkan, padahal tatswib itu disyari’atkan untuk adzan shalat Subuh sebagaimana dalam hadits “Adzan pertama dari subuh”.[21]
Sengaja kami sedikit memperluas masalah ini dengan tujuan untuk mengingatkan saudara-saudara kami tercinta agar tidak tergesa-gesa dalam mengingkari ibadah yang sudah berjalan di masyarakat, kecuali apabila kita memiliki dalil yang sangat jelas—sejelas matahari di siang bolong. Alangkah bagusnya nasihat Syaikh Ibnu Utsaimin tatkala mengatakan, “Tidak boleh kita tergesa-gesa menyelisihi masyarakat, kecuali setelah sangat jelas kebenaran bagi kita, maka saat itu kita harus menjelaskan kebenaran.”[22]
Setelah itu, tinggal kami ingatkan bahwa letak ucapan “Ash-shalatu khairun minan naum” adalah setelah “Hayya ’alal falah” sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Sementara itu, bagi pendengarnya hendaknya menjawab seperti ucapan muadzin tersebut.
Masalah Kedua: Adzan Jumat Dua Kali
Adzan untuk shalat Jum’at pada zaman Nabi hanya sekali saja, demikian juga pada masa Abu Bakar dan Umar, yaitu ketika imam naik di atas mimbar. Namun, tatkala pada masa Khalifah Utsman, beliau menambah adzan kedua untuk shalat Jum’at karena melihat banyaknya orang.
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ يَقُولُ : إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ n وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ d فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ a وَكَثُرُوا، أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالأَذَانِ الثَّالِثِ، فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ، فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Dari Sa’ib bin Yazid berkata, “Sesungguhnya adzan pada hari Jum’at pada awalnya adalah ketika imam duduk pada hari Jum’at di atas mimbar pada masa Rasulullah, juga Abu Bakar dan Umar. Tatkala pada masa Khalifah Utsman dan manusia telah banyak, maka beliau memerintahkan pada hari Jum’at dengan adzan ketiga, dikumandangkan pada pasar az-Zaura’. Akhirnya, tetaplah perkara tersebut.”[23]
Maksud ucapan Sa’ib bin Yazid “Utsman memerintahkan dengan adzan ketiga” yakni dengan (termasuk) iqamat karena iqamat juga disebut adzan.
Para fuqaha (ahli fiqih) berselisih pendapat tentang hukum adzan kedua untuk hari Jum’at sebagai berikut:
Pendapat Pertama: Sunnah, hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama ahli fiqih[24] dan dipilih oleh Lajnah Da’imah[25], Syaikh Abdul Aziz bin Baz[26], Syaikh Ibnu Utsaimin[27], dll. Dalil mereka sebagai berikut:
1. Sabda Nabi:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Kamu wajib mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan menunjukkan jalan yang benar, berpeganglah dengan sunnahnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu.”[28]
Segi perdalilannya dari hadits, bahwa Nabi memerintahkan kepada kita untuk mengikuti sunnah Khulafa’ur Rasyidin, sedangkan Utsman termasuk Khulafa’ur Rasyidin, sehingga mengikuti adzannya adalah termasuk syari’at yang diikuti.
2. Ijma’ sahabat, karena sahabat Utsman memerintahkan adzan ini pada masa sahabat masih banyak, dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.[29]
Pendapat Kedua: Tidak disyari’atkan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i[30], sebuah riwayat dari Imam Malik[31] dan sebagian Hanafiyyah[32], didukung oleh ash-Shan’ani[33] dan al-Albani[34]. Dalil mereka:
1. Mengikuti sunnah Nabi, Abu Bakar, dan Umar lebih utama.
2. Sebagian riwayat dari para salaf seperti Ibnu Umar, Hasan al-Bashri, Atha’, dan sebagainya yang menyatakan bahwa adzan dua kali pada hari Jum’at adalah muhdats (perkara baru).
3. Khalifah Utsman mengadakan adzan kedua karena suatu sebab yaitu banyaknya manusia dan jauhnya rumah, padahal sebab tersebut sudah tidak ada pada zaman sekarang karena adanya jam dan jadwal shalat.
Demikianlah, sebagaimana Anda lihat, hujjah masing-masing pendapat cukup kuat sehingga harus kita akui bahwa masalah ini termasuk masalah khilafiyyah yang muktabar (perselisihan yang dianggap), maka berlapangdadalah wahai saudaraku terhadap perselisihan seperti ini dan janganlah engkau sesak dada dengan adanya orang yang menyelisihi pendapatmu.
Sebagaimana janganlah kita gegabah untuk memvonis orang yang menyelisihi kita dengan kata bid’ah, apalagi pendapat pertama diikuti oleh mayoritas ulama yang kita semua cintai. Kita harus pandai-pandai menjaga persatuan barisan kita dan jangan sampai perselisihan ini menjadikan kita saling bermusuhan. Alangkah bagusnya nasihat Syaikh Ibnu Utsaimin, “Hendaknya bagi para penuntut ilmu khususnya dan semua manusia umumnya untuk berusaha menuju persatuan semampu mungkin, karena bidikan utama orang-orang fasik dan kafir adalah bagaimana orang-orang baik berselisih di antara mereka, sebab tidak ada senjata yang lebih ampuh daripada perselisihan.”[35]
Faedah. Hendaknya antara adzan pertama dan adzan kedua ada jarak yang cukup untuk persiapan menghadiri Jum’at—misalnya kurang lebih satu jam. Adapun jarak yang singkat—seperti hanya lima menit atau sepuluh menit—sebagaimana yang ada di sebagian masjid, maka hal ini keliru karena tujuan adanya adzan pertama adalah agar manusia meninggalkan pekerjaan mereka dan persiapan shalat Jum’at.[36]
[1] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814–815
[2] Imam Ibnu Hubairah berkata dalam al-Ifshah (1/234), “Mereka bersepakat bahwa tatswib dalam adzan hanya dalam shalat Fajar saja.”
[3] Syarh Muntahal Iradat 1/134 oleh al-Buhuti
[4] Subulus Salam 1/231
[5] Ats-Tsamarul Mustathab 1/131–132, Tamamul Minnah hlm. 147.
[6] HR. Nasa’i: 1611 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Nasa’i 1/215.
[7] Syarh Muntahal Iradat 1/134
[8] Fatawa Lajnah Da’imah 6/58–60
[9] Asy-Syarh al-Mumti’ 2/61, Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 12/186.
[10] HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 1/502, Ahmad no. 18099, al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 1/398 dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/117.
[11] Al-Adzan hlm. 71–72 oleh Usamah al-Qushi
[12] Lihat ash-Shihah 6/442 oleh al-Jauhari dan Lisanul Arab 10/26 oleh Ibnul Mandhur.
[13] Dikeluarkan ath-Thahawi 1/137, ad-Daraquthni 1/243, al-Baihaqi 1/423 dan beliau menshahihkannya.
[14] HR. Bukhari: 601 dan Muslim: 838
[15] HR. Bukhari: 912
[16] HR. Bukhari: 626
[17] Fathul Bari 2/109
[18] Lihat at-Tarjih fi Masail Thaharah wash Shalah hlm. 148–149 oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Umar Bazimul.
[19] Fatawa Ibnu Utsaimin 12/176
[20] Minhatul Alam 2/245 oleh Abdullah al-Fauzan. Lihat pula asy-Syarh al-Mumti’ 2/63–64 oleh Ibnu Utsaimin.
[21] Ahkamul Adzan hlm. 91 oleh Sami al-Farraj. Lihat pula Buhuts Ilmiyyah Nadirah: 127–134 oleh Syaikh Fahd bin Abdullah ash-Shaq’abi.
[22] Fathu Dzil Jalali wal Ikram 2/137 oleh Ibnu Utsaimin
[23] HR. Bukhari: 874
[24] Bada’i’ ash-Shana’i’ 1/152, Fathul Bari 2/458, al-Kafi Ibnu Qudamah 1/222.
[25] Fatawa Lajnah Da’imah 8/198
[26] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 12/347
[27] Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 15/123–124
[28] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/126–127, Abu Dawud: 4607, Tirmidzi: 2676, Ibnu Majah: 42, 43, ad-Darimi: 96, Ibnu Hibban: 5, al-Hakim 1/95–97, al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila Sunan Kubra: 50–51 dan Sunan Kubra 10/114 serta al-I’tiqad hlm. 301, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi: 2024–2026, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah: 27–33, al-Ajurri dalam asy-Syari’ah hlm. 46–47 dan Arba’una Haditsan hlm. 33, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah: 102, Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 18/246–249, 257, dan Mu’jam al-Ausath: 66. Dishahihkan Tirmidzi, al-Harawi, al-Bazar, Ibnu Abdil Barr, Abu Nu’aim, al-Hakim, al-Baghawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, asy-Syathibi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, dan al-Albani dalam ash-Shahihah: 937)
[29] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/193–194.
[30] Al-Umm 1/190
[31] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 18/88–89
[32] Ahkamul Qur’an 5/336 oleh al-Jashash
[33] Subulus Salam 1/217
[34] Al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 26
[35] Asy-Syarh al-Mumti’ 4/63
[36] Dinukil dari al-Fiqh al-Muyassar 1/246–250 oleh Abdullah ath-Thayyar dkk. dengan beberapa tambahan.