Madzhab Tafwidz, Madzhab Salaf?
Oleh: Abu Ubaidah As Sidawi
Sebagian orang mengklaim bahwa Tafwidh (Menyerahkan Makna Kepada Allah) Adalah Metode Salaf Shalih. Perkataan ini merupakan kedustaan terhadap ulama-ulama salaf. Hal itu dapat kita jelaskan dalam beberapa poin:
1. Apa itu tafwidh?
Tafwidh adalah menyerahkan pengetahuan makna nash-nash kepada Allah.
2. Macam-Macam Tafwidz
Dan tafwidh ada dua macam:
Pertama: Tafwidh Makna (menyerahkan makna kepada Allah). Hal ini tercela, karena konsekuensinya berat dan fatal, sebagaimana nanti akan kita bahas.
Kedua: Tafwidh Kaifiyyah (Menyerahkan bagaimana keadaan sifat tersebut kepada Allah). Tafwidh inilah yang terpuji dan dimaksud oleh para ulama salaf.
Nah, tafwidh yang diinginkan oleh sebagian ahli ahwa’ dan dia nisbahkan kepada salaf adalah tafwidh jenis pertama, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah; hanya mengimani lafazh al-Qur’an dan hadits tanpa mengetahui arti yang sebenarnya, karena makna sesungguhnya hanya Allah yang Tahu.
Contohnya istiwa’, mereka mengatakan, “Kita serahkan hakikat maknanya kepada Allah, karena hanya Allah yang Tahu tentangnya, kita tidak usah membahas masalah artinya, apakah artinya istiwa’ itu ‘tinggi’ ataukah ‘menguasai’. Kita serahkan saja kepada Allah karena Allah yang lebih tahu.”
Dari pintu inilah, masuk pintu ta’wil (mengubah) makna dari zhahir-nya kepada makna majaz.
Adapun kaum salaf, mereka menetapkan bahwa nama-nama dan sifat itu memiliki makna yang dikenal dalam bahasa Arab, karena Allah Berfirman dengan bahasa Arab yang dipahami oleh masyarakat Arab, bukan hanya Dipahami oleh Allah aja. Yang mereka serahkan kepada Allah adalah kaifiyyah-nya (bagaimana keadaannya) bukan maknanya. Ini harus dibedakan dan diperhatikan baik-baik. (Lihat secara terperinci masalah ini dalam Madzhab Ahli Tafwidh karya Dr. Ahmad ibn ‘Abdirrahman al-Qadhi).
3. Sumber Kesalahan
Sumber kesalahan dalam masalah ini adalah anggapan bahwa dalil-dalil al-Qur’an dan hadits tentang nama dan sifat Allah termasuk ayat-ayat mutasyabihat (samar) yang hanya diketahui Allah.
Padahal, tidak ada seorang pun ulama salaf yang memasukkan nama dan sifat Allah ke dalam kategori mutasyabih (samar) yang hanya diketahui artinya oleh Allah —seperti halnya huruf-huruf hija’iyyah di awal Surat al-Qur’an: Alif Lam Mim, Yasin, Qaf, dan sebagainya—, bahkan para ulama secara tegas menetapkan makna sifat-sifat Allah secara hakikatnya dan mengingkari kaum Jahmiyyah yang mengubah-ubah makna ayat-ayat sifat dari zhahirnya.
Para ulama ahli tafsir semisal Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Ibnul-Jauzi yang memaparkan makna mutasyabih, tidak satu pun dari mereka memasukkan ayat-ayat sifat termasuk mutasyabih.
Bahkan al-Imam Abul-Hasan al-Asy‘ari tatkala menyebutkan pendapat-pendapat tentang muhkam dan mutasyabih, beliau sama sekali tidak menyebutkan bahwa ayat-ayat sifat termasuk mutasyabih.
Sebelumnya juga, al-Harits al-Muhasibi dalam kitabnya, Fahmul-Qur’an, membuat pasal pembahasan tentang muhkam dan mutasyabih serta menyebutkan pendapat-pendapat manusia, tetapi tidak menyebutkan bahwa ayat-ayat sifat Allah termasuk ayat-ayat mutasyabihat. (Al-‘Aqlu wa Fahmul-Qur’an (hlm. 325–331).
Demikian juga seluruh kitab-kitab sunnah yang menukil atsar salaf dalam masalah aqidah, tidak dinukil dari seorang pun ulama salaf yang mengatakan bahwa ayat-ayat sifat termasuk mutasyabih.
Dengan demikian, anggapan bahwa ayat-ayat dan hadits tentang sifat Allah termasuk mutasyabih (samar) yang hanya diketahui artinya oleh Allah adalah adalah anggapan yang bathil. Tidak ada seorang pun ulama salaf yang mengatakan demikian. (Lihat al-Iklil Fil-Mutasyabih wat-Ta’wil karya Ibnu Taimiyyah (hlm. 25–26), Ta’wil Musykil Qur’an karya Ibnu Qutaibah (hlm. 98–10), al-Asya‘irah Fi Mizan Ahlis-Sunnah karya Faishal al-Jasim (hlm. 254–259)
Al-Alusi berkata, “Ketahuilah! Bahwasanya kebanyakan manusia sekarang menjadikan sifat-sifat Allah seperti istiwa’ (tinggi), tangan, kaki, turun ke langit, tertawa, takjub, dan sebagainya termasuk mutasyabih, padahal madzhab salaf dan al-Asy‘ari dalam al-Ibanah menegaskan bahwa itu adalah sifat-sifat yang ditetapkan. Kita tidak dibebani kecuali meyakininya tanpa tasybih dan tajsim (menyerupakannya dengan makhluk).” (Ruhul-Ma‘ani karya al-Alusi (2:85).
4. Konsekuensi Tafwidh Sangatlah Fatal
Tafwidh bukanlah metode salaf, bahkan diingkari oleh mereka, karena konsekuensinya sangat fatal. Hal itu karena Allah Menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab yang jelas dan dipahami oleh orang Arab. Allah Menganjurkan agar para hamba-Nya merenunginya dalam banyak ayat-Nya serta mencela orang yang tidak memahaminya dalam banyak ayat-Nya juga. Lantas, apakah pantas dan masuk akal kalau Allah Mengabarkan tentang sifat-sifat-Nya, tetapi para hamba-Nya tidak bisa memahami artinya, padahal Allah Menyuruh kita untuk memahami dan menadaburkan al-Qur’an?!!
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat tafwidh ini merupakan celaan terhadap al-Qur’an dan para nabi. Karena, Allah Menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan Allah q\ juga Memerintahkan agar para Rasul-Nya menyampaikan dan menerangkan wahyu, lantas (dikatakan bahwa) tidak seorang pun mengetahui artinya?! Lalu bagaimana seseorang akan merenungi al-Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk? Kalau pendapat (tafwidh) ini diterima, maka setiap mubtadi‘ (ahli bid‘ah) akan bebas menyatakan bahwa kebenaran adalah apa yang diketahui pikiran dan akal kita masing-masing.
Pemikiran ini merupakan penutup petunjuk Ilahi dan pembuka pintu bagi para penyeleweng untuk mengatakan, ‘Sesungguhnya petunjuk itu ada pada jalan kami, bukan pada jalan para nabi; karena kami mengerti apa yang kami katakan, sedangkan para nabi tidak mengerti apa yang mereka katakan.’ Dari ini jelaslah bahwa perkataan ahlu tafwidh (orang yang berpaham tafwidh) yang mengaku mengikuti as-Sunnah dan salaf, termasuk perkataan ahli bid‘ah yang sangat keji.” (Dar’u Ta‘arudhil-‘Aql wan-Naql (1:201–205).
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin menukil perkataan beliau ini, lalu mengomentari sebagai berikut, “Ini merupakan perkataan yang sangat bagus; keluar dari pikiran yang cerdas. Semoga Allah Merahmatinya dengan (rahmat yang) seluas-luasnya serta mengumpulkan kita di surga-Nya.” (Al-Qawa‘idul-Mutsla Fi Asma’ al-Husna (hlm. 43–44).
Para ulama salaf menetapkan bahwa sifat-sifat Allah itu memiliki makna yang dipahami. Yang mereka serahkan kepada Allah adalah kaifiyyah-nya bukan maknanya. Inilah makna ucapan al-Imam Malik ibn Anas dalam atsar yang shahih dan masyhur,
الاسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa’ itu maklum (diketahui maknanya); adapun bagaimana (keadaan)nya, majhul (tidak diketahui); mengimaninya, wajib; bertanya tentang bagaimana (keadaan)nya, bid‘ah.”
Syaikhul-Islam berkata, “Jawaban al-Imam Malik dalam istiwa’ sangatlah memuaskan dan mencakup seluruh sifat Allah, seperti turun, datang, tangan, wajah, dan lain-lain. Maka dikatakan dalam sifat turun, misalnya, ‘Turun itu maknanya diketahui, adapun bagaimana (keadaan)nya tidak diketahui, mengimaninya hukumnya wajib, bertanya tentangnya adalah bid‘ah. Demikian pula dalam semua sifat-sifat Allah lainnya.(Majmu‘ Fatawa (4:4).
Perhatikanlah atsar ini baik-baik, beliau mengatakan istiwa’ itu maklum, yakni diketahui maknanya dalam bahasa Arab, adapun bagaimana (keadaan)nya itu yang tidak diketahui, karena sifat itu cabang dari zat, sebagaimana kita tidak mengetahui bagaimana zat Allah, demikian juga kita tidak mengetahui bagaimana sifat Allah, tetapi kalau artinya dan maknanya kita mengerti karena Allah Menurunkan al-Qur’an dengan bahasa Arab yang dipahami.
Jadi, yang diserahkan kepada Allah itu bagaimana (keadaan)nya bukan maknanya. Pahamilah hal ini baik-baik dan jangan salah paham!
Adapun memahami ucapan al-Imam Malik seperti pemahaman sebagian yang mengartikan dengan tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) sehingga tidak diketahui secara pasti makna istiwa’ yang disandarkan kepada Allah, maka ini termasuk kedustaan tentang salaf shalih dan menghimpun beberapa kesalahan, di antaranya:
1) Menganggap salaf shalih itu bodoh, karena menganggap mereka tidak paham makna sifat-sifat Allah, tetapi mereka hanya membaca lafazhnya(!);
2) Kejahilan terhadap madzhab salaf; (Adakah kejahilan terhadap madzhab salaf daripada ini?)
3) Kedustaan terhadap salaf karena menuduh mereka tidak memahami makna;
4) Mendustakan al-Qur’an; karena Allah Berfirman:
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami Bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami Datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami Turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” {QS an-Nahl (16):89}
(Bagaimana al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas jika maknanya tidak diketahui?!)
5) Membuka pintu kerusakan bagi para penyebar kesesatan dan kebathilan karena mereka akan mempermainkan ayat-ayat Allah sesuka mereka;
6) Menganggap bahwa metode khalaf (orang belakangan) lebih baik dan lebih selamat daripada metode salaf;
7) Dan kerusakan-kerusakan lainnya yang ditimbulkan oleh aqidah tafwidh.(Lihat al-Atsarul-Masyhur ‘Anil-Imam Malik Fi Shifatil-Istiwa’ karya Dr. ‘Abdurrazzaq ibn ‘Abdulmuhsin al-‘Abbad (hlm. 156–157)! Lihat pula Mukhtashar ash-Shawa‘iq al-Mursalah karya Ibnul-Qayyim (1:314).