Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa-Bagian ke-2 (selesai)

Melihat Allah di Akhirat  Anugerah Teristimewa-Bagian ke-2 (selesai)

Pada edisi lalu, telah kita bahas tentang akidah Ahlusunah wal Jamaah dalam masalah melihat Allah di akhirat kelak berdasarkan dalil-dalil Alquran, hadis yang mutawatir, ijmak, dan akal, serta mungkinkah melihat Allah di dunia dan apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat Allah. Nah, pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan ini pada beberapa poin berikut:

1.  Kiat meraih anugerah melihat Allah

2.  Kelompok yang menyimpang dalam masalah ini

3.  Syubhat para pengingkar dan jawabannya

4.  Beberapa masalah tentang melihat Allah

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menetapkan akidah kita di atas kebenaran dan mematikan kita di atasnya.

Kiat Meraih Anugerah Melihat Allah di Akhirat

Setiap mukmin pasti mendambakan untuk bisa menggapai dan meraih kenikmatan Surga yang paling agung ini, yaitu melihat Allah. Namun, tentu saja untuk meraihnya bukan hanya sekadar dengan impian belaka atau isapan jempol, melainkan dengan usaha dan amal saleh. Di antara kiat untuk meraihnya adalah sebagai berikut:

1.   Iman dan ihsan (merasa selalu diawasi oleh Allah)

Al-Hafiz Ibn Rajab al-Hanbali Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لِّلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ ٱلْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌۭ ۖ

Bagi orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). (QS Yunus [10]: 26)

Telah sahih dalam Ṣaḥīḥ Muslim dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menafsirkan ziyādah (tambahan) dalam ayat ini dengan melihat wajah Allah di Surga. Hal ini sangat sesuai sebagai ganjaran bagi orang-orang yang berbuat ihsan, karena ihsan adalah pada saat seorang hamba mukmin beribadah kepada Rabbnya di dunia dengan penuh pengawasan dan mendekat kepada-Nya, seakan-akan dia melihat-Nya dengan hatinya di saat beribadah kepada-Nya. Maka ganjarannya adalah dengan melihat wajah Allah dengan mata kepala di akhirat.

Sebaliknya, Allah telah mengabarkan tentang balasan bagi orang-orang kafir di akhirat:

كَلَّآ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍۢ لَّمَحْجُوبُونَ ﴿١٥﴾

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalangi dari (melihat) Rabb mereka. (QS al-Muṭaffifīn [83]: 15)

Allah menjadikan hal itu balasan bagi keadaan mereka di dunia, di mana hati mereka penuh dengan titik hitam yang menghalangi mereka mengenal dan mendekat kepada Allah di dunia. Sehingga balasan mereka adalah terhalangi dari melihat-Nya di akhirat.”[1]

2.   Menjaga salat Subuh dan Asar

Salat adalah ibadah mulia dan utama[2] yang bisa mengantarkan seorang hamba untuk meraih kenikmatan melihat Allah. Hal ini secara jelas ditegaskan dalam hadits Nabi.

عَنْ جَرِيْرٍ a قَالَ: كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ النَّبِيِّ n إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ قَالَ: إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تُضَامُّوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَصَلاَةٍ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ فَافْعَلُوْا

Dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba beliau melihat ke arah bulan di malam purnama seraya berkata, ’Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini[3]. Kalian tidak samar dalam melihatnya. Jika kalian mampu untuk tidak meninggalkan salat sebelum terbitnya matahari (Subuh) dan salat sebelum terbenamnya matahari (Asar), maka lakukanlah.” (HR al-Bukhari: 7434, Muslim: 1432)

Dalam hadis ini terdapat penjelasan gamblang tentang hubungan erat antara rukyah (melihat Allah) dengan salat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada Hari Akhir bukanlah diraih dengan sekadar angan-angan belaka, bahkan harus dengan kesungguhan dalam beramal. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengarahkan kepada kiat-kiat agar seorang hamba menggapai nikmat melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat dengan cara memperhatikan dan menjaga dua salat yang agung yaitu salat Fajar (Subuh) dan salat Asar yang memiliki banyak keutamaan dan berat bagi orang munafik.

Hadis ini juga memberikan faedah berharga bagi kita bahwa akidah yang benar sangat memberikan pengaruh positif terhadap ibadah dan akhlak seorang hamba. Semakin kuat dan bertambah iman seorang hamba akan semakin bersemangat dalam menjalankan ketaatan.[4] Alangkah indahnya ucapan al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullahu Ta’ala tatkala berucap, “Setiap ilmu dan amal yang tidak menambahkan kuat keimanan dan keyakinan maka ilmunya tercampuri (terkotori). Dan setiap iman yang tidak menimbulkan amal maka keimanannya terkotori.”[5]

3.   Doa

Doa adalah ibadah yang sangat mulia dan utama. Doa menunjukkan kesungguhan dan keseriusan seorang hamba untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Oleh karenanya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada kita semua dengan doa meminta “nikmat melihat Allah” sebagai bukti akan kerinduannya untuk melihat Allah.

وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّة

“Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia) tanpa ada mara bahaya dan fitnah yang menyesatkan.”[6]

Doa ini diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau memunajatkan dalam ibadah yang paling utama yaitu salat. Maka hendaknya seorang mukmin meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga bisa menggapai nikmat tertinggi di surga.

Kelompok yang Menyimpang Dalam Masalah Ini

Ketahuilah bahwa akidah ini telah diingkari oleh kelompok-kelompok yang menyimpang sejak dahulu hingga sekarang. Inilah yang melatarbelakangi para ulama kita dahulu membantah secara keras dan menulis tulisan-tulisan khusus seputar masalah ini, bahkan hampir tidak dijumpai sebuah kitab akidah yang ditulis oleh ulama salaf kecuali membahas masalah urgen ini. Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Masalah ini termasuk masalah ideologi mendasar yang sangat keras pengingkaran para imam dan ulama salaf terhadap orang yang menyelisihinya, dan mereka menulis karya-karya yang banyak lagi masyhur.”[7]

Adapun yang menyimpang dalam masalah ini adalah kelompok-kelompok sebagai berikut:

1.  Jahmiyyah

2.  Mu‘tazilah

3.  Khawarij

4.  Syi‘ah Imamiyyah

5.  Asya‘irah

6.  Maturidiyyah

Al-Allamah Ibn Abil-‘Izz Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Golongan yang menyelisihi dalam masalah ‘melihat Allah di akhirat’ adalah Jahmiyyah[8], Mu‘tazilah, dan yang mengikuti mereka dari kalangan kaum Khawarij dan Imamiyyah. Ucapan mereka batil dan tertolak dengan Alquran dan Sunah. Sungguh para sahabat, tabiin, dan imam Islam yang dikenal dengan keunggulan dalam agama, ahli hadis, dan seluruh ahli kalam yang dinisbahkan kepada sunah dan jamaah, seluruhnya menetapkan rukyah (melihat Allah di akhirat).”[9]

Dr. Muhammad ibn ‘Abdirrahman al-Khumayyis berkata[10], “Sesungguhnya kelompok Asy‘ariyyah dan Maturidiyyah berlagak menampakkan diri menetapkan ‘melihat Allah’, tetapi mereka memberikan beberapa persyaratan yang menjadikan termasuk suatu hal yang mustahil. Oleh karena itu, seorang yang cerdas di antara mereka mengatakan, ‘Tidak ada perbedaan di antara kita dengan Mu‘tazilah dalam masalah rukyah (melihat Allah di akhirat). Kita semua sama-sama menetapkan pandangan secara ilmu (hati) bukan pandangan dengan mata kepala.’ Karenanya pula, mereka mengatakan bahwa orang buta di Cina bisa melihat suatu tempat di Andalusia (Spanyol), padahal tidak ragu lagi bahwa penglihatan di sini adalah penglihatan ilmiah (hati) dan bukan penglihatan dengan mata kepala.”[11]

Syubhat dan Jawaban

Akidah dan agama adalah perkara yang paling mahal harganya, merupakan jalan yang jelas bercahaya dan tidak pernah berbasa-basi membedakan antara manusia. Siapa pun yang menyimpang ke kanan dan ke kiri akan tersesat jalan menuju jalan-jalan yang gelap gulita. Oleh karena itu, tanamkan pada diri kita masing-masing perasaan cinta akan kebenaran tanpa mengikat kepada individu (perorangan) dan kelompok tertentu. Ingat, kebenaran di atas segalanya.

Ada beberapa syubhat yang dihembuskan oleh para pengingkar akidah ini, kami akan menyebutkan sebagiannya berikut jawabannya sehingga kita tidak terjebak oleh syubhat mereka:

1.  Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘āla:

لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَـٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَـٰرَ ۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ ﴿١٠٣﴾

Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS al-An‘ām [6]: 103)

Segi perdalilannya menurut mereka ialah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala meniadakan untuk diliputi dengan mata, maka itu berarti bahwa tidak ada mata penglihatan yang bisa melihat-Nya.[12]

Jawaban:

a.  Ayat ini sama sekali tidak mendukung akidah rusak mereka, bahkan seperti dikatakan oleh Syaikhul-Islam bahwa tidak ada satu ayat pun yang dijadikan dalil oleh ahli bidah kecuali dalam ayat tersebut terdapat dalil yang membantahnya.

b.  Sebagian  ulama salaf  menafsirkan ayat ini, “‘Dia (Allah) tidak dapat diliputi oleh penglihatan mata’ maksudnya adalah di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti maka pandangan mata bisa melihat-Nya.”

c.  Dalam ayat ini, Allah hanya menafikan al-idrāk yang berarti al-iḥāṭah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat itu tidak sama dengan al-iḥāṭah (meliputi). Bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tetapi tidak bisa meliputinya secara keseluruhan?!

d.  Al-idrāk (meliputi/melihat secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari pada al-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-idrāk menunjukkan adanya al-ru’yah (melihat Allah Ta‘āla), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan adanya sesuatu yang lebih umum. Maka ini membuktikan bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.[13]

2.  Mereka berdalil dengan firman Allah Ta‘āla:

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِى وَلَـٰكِنِ ٱنظُرْ إِلَى ٱلْجَبَلِ فَإِنِ ٱسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرَىٰنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّۭا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًۭا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَـٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ﴿١٤٣﴾

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa: “Wahai Rabbku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman” (QS al-A‘rāf [7]: 143)

Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan bahwa Allah  tidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya.[14]

Jawaban :

a.  Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah tidak benar.

Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab,  berkata dalam Al-Kafiyah asy-Syafiyah:

وَمَنْ رَأَى النَّفْيَ بِلَنْ مُؤَبَّدًا… فَقَوْلُهُ ارْدُدْ وَسِوَاهُ فَاعْضُدَا

Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya

Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya.

Demikian juga al-Imam Ibn Hisyam Rahimahullahu Ta’ala, beliau mengatakan, “Lan tidak menunjukkan penafian selama-lamanya, berbeda dengan pendapat yang mengatakan seperti itu.”[15]

b.  Makna yang benar dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta‘āla menolak permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorang pun yang bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di akhirat nanti, Allah Ta‘āla akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman.

c.  Permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam dalam ayat ini untuk melihat Allah Ta‘āla justru menunjukkan bahwa Allah Ta‘āla mungkin untuk dilihat, karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan saleh seperti Nabi Musa ‘Alaihissalam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui batas.

d.  Seandainya permintaan Nabi Musa ‘Alaihissalam adalah batil dan mungkar maka Allah Ta‘āla akan mengingkarinya sebagaimana Allah Ta‘āla mengingkari permintaan Nabi Nuh ‘Alaihissalam.

e.  Allah Ta‘āla menggantungkan rukyah pada gunung. Dan itu adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin saja bisa terjadi.

f.   Jika Allah saja bisa menampakkan diri kepada benda mati seperti gunung, lantas apakah yang mustahil untuk menampakkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat?![16]

Beberapa Masalah Seputar Ini

Untuk melengkapi pembahasan ini, ada beberapa masalah yang perlu disampaikan di sini seputar masalah ini:

1.   Klasifikasi dalam menyikapi masalah

Manusia, dalam hal melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, terbagi menjadi tiga:

Pertama: Golongan yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak bisa dilihat secara mutlak baik di dunia maupun di akhirat, seperti Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.

Kedua: Golongan yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa dilihat di dunia, seperti anggapan kaum ahli khurafat dan tasawuf.

Ketiga: Golongan yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat di dunia tetapi dilihat di akhirat. Inilah pendapat yang benar berdasarkan dalil-dalil yang jelas. Dan inilah akidah Ahlusunah wal Jamaah.

2.   Macam-macam manusia ketika melihat Allah di akhirat

Manusia kelak pada Hari Kiamat terbagi menjadi tiga macam:

a.  Orang-orang beriman. Mereka akan melihat Allah di surga dan padang mahsyar.

b.  Orang-orang kafir. Mereka tidak melihat Allah sama sekali.

c.  Orang-orang munafik. Mereka akan melihat Allah dengan penglihatan hisab bukan penglihatan nikmat kemudian setelah itu mereka terhijab (terhalang) dari melihat Allah sebagai siksaan bagi mereka.[17]

3.   Apakah wanita juga melihat Allah seperti kaum pria?!

Al-Hafiz Ibn Kasir menyebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini menjadi tiga pendapat:

Pertama: Wanita tidak melihat Allah karena wanita tinggal di tempat tinggal masing-masing.

Kedua: Wanita juga melihat Allah berdasarkan keumuman dalil.

Ketiga: Wanita melihat Allah hanya saat-saat perayaan. Namun, ini perlu dalil khusus.

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua berdasarkan keumuman dalil.[18]

4.   Apakah Jin melihat Allah?

Al-Bulqini mengatakan bahwa jin yang beriman akan melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ini sesuai dengan kepemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Saffarini mengomentari, “Pendapat yang benar ialah bahwa setiap yang masuk Surga akan melihat Allah.”[19]

Lantas, apakah jin masuk Surga? Ada perinciannya:

a.  Jin kafir, maka mereka akan masuk Neraka berdasarkan dalil-dalil Alquran, hadis, dan ijmak ulama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَوْ شِئْنَا لَءَاتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَىٰهَا وَلَـٰكِنْ حَقَّ ٱلْقَوْلُ مِنِّى لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلْجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجْمَعِينَ ﴿١٣﴾

Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk. Akan tetapi, telah tetaplah perkataan daripada-Ku: “Sesungguhnya akan Aku penuhi Neraka Jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS al-Sajdah [32]: 13)

Dan para ulama bersepakat tentang hal ini.[20]

b.  Jin mukmin, apakah mereka bisa masuk surga? Tentang hal itu, ada perselisihan di kalangan ulama. Mayoritas mereka mengatakan bahwa jin mukmin akan masuk surga sebagaimana manusia mukmin; ini pendapat al-Auza‘i, Ibn Abi Laila, Abu Yusuf, dan dinukil dari Malik, al-Syafi‘i, dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلِكُلٍّۢ دَرَجَـٰتٌۭ مِّمَّا عَمِلُوا۟ ۖ وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَـٰلَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ ﴿١٩﴾

Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan. (QS al-Aḥqāf: 19)

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa jin mukmin tidak masuk surga, lalu mereka berselisih apakah akan menjadi tanah seperti hewan ataukah ganjaran mereka sekadar selamat dari neraka.

Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama (masuk surga).[21]

Penutup

Demikianlah pembahasan yang dapat kami hadirkan. Kita berdoa kepada Allah Ta‘āla agar menjadikan kita semua termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang dikaruniai kenikmatan melihat wajah-Nya yang agung. Āmīn, āmīn, āmīn ya Rabbal-‘ālamīn.



[1]     Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikām 1/126

[2]     Lihat kitab Ta‘ẓīm Qadri Ṣalāh karya al-Imam Ibn Nashr al-Marwazi dan Ta‘ẓīm Ṣalāh karya al-Syaikh ‘Abdurrazzaq ibn ‘Abdil-Muhsin al-‘Abbad.

[3]     Al-‘Allamah Ibn Abil-‘Izz al-Hanafi berkata dalam Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥawiyyah 1/219, “Penyerupaan ‘melihat Allah’ dengan ‘melihat matahari’ dan ‘(melihat) bulan’ bukanlah berarti menyerupakan zat Allah, tetapi yang diserupakan adalah ‘melihat’ dengan ‘melihat’, bukan zat yang dilihat. Dalam akidah ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah atas makhluk-Nya. Sebab, bagaimana mungkin melihat tanpa berhadapan?! Barangsiapa mengatakan ‘Allah dilihat tanpa arah’, maka hendaknya dia memeriksakan akalnya!”

[4]     Tażkirah al-Mu‘tasi Syarḥ ‘Aqīdah al-Hāfiẓ ‘Abdil-Gani hlm. 180–184 karya al-Syaikh ‘Abdurrazzaq ibn ‘Abdil-Muhsin al-‘Abbad. Lihat pula pada hlm. 21-22, padanya terdapat faedah penting juga dalam masalah ini.

[5]     Al-Fawā’id hlm. 86

[6]     Diriwayatkan oleh al-Nasa’i: 1305, al-Bazzar: 1393, Ibn Hibban: 1971 dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Ṣaḥīḥ al-Jāmi‘ 1301.

[7]     Majmū‘ al-Fatāwa 6/469

[8]     Dalam Masā’il Isḥāq ibn Ibrāhīm ibn Hani al-Naisaburi 2/152/1850, beliau berkata, “Saya mendengar Abu ‘Abdillah (Ahmad ibn Hanbal) mengatakan, ‘Barangsiapa tidak beriman dengan rukyah (melihat Allah di akhirat) maka dia Jahmi, dan Jahmi adalah kafir.’”

[9]     Syarḥ al-‘Aqīdah al- Ṭaḥawiyyah 1/207

[10]   I‘tiqād Ahl al-Sunnah Aṣḥāb al-Ḥadīṡ (hal. 73)

[11]   Lihat Kitāb al-Tauḥīd hlm. 58 kar. al-Maturidi, al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah hlm. 73, dan Isyārat al-Marām hlm. 202.

[12]   Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah hlm. 232 kar. al-Qadi ‘Abdul-Jabbar

[13]   Lihat Ḥadi Arwāḥ hlm. 201 karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah.

[14]   Lihat Tafsīr Fakhr al-Rāzi 14/233 dan al-Kasysyāf 2/115 kar. az-Zamakhsyari.

[15]   Lihat Auḍah al-Masālik 4/148 dan Syarḥ al-Kāfiyah al-Syāfiyah 2/105.

[16]   Lihat al-Kawāsyif al-Jaliyyah hlm. 409 karya al-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz Salman.

[17]   Lihat Syarḥ al-‘Aqīdah al- Ṭaḥawiyyah 1/247 karya al-Syaikh Salih ibn ‘Abdil-‘Aziz alusy-Syaikh.

[18]   Lihat  al-Nihāyah 12/184.

[19]   Lawā’ih al-Anwār al-Saniyyah 1/197

[20]   Sebagaimana dinukil oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah dalam al-Nubuwwat hlm. 396, Ibn al-Qayyim dalam Ṭarīq al-Hijratain hlm. 417, dan Ibn Muflih dalam al-Furū‘ 1/603.

[21]   Sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul-Islam dalam al-Nubuwwat hlm. 397, Ibn Katsir dalam Tafsīr-nya 7/287 dan Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatāwa al-Ḥadīṡiyyah hlm. 70. (Diringkas dari Fatḥ al-Mannān 1/144–150 karya Masyhur ibn Hasan dan Buḥūṡ Nādirah hlm. 214 karya Fahd ibn ‘Abdillah al-Saq‘abi.)

Baca Juga Artikel Terbaru

Leave a Comment