Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa

 Melihat Allah di Akhirat Anugerah Teristimewa

Bagian 1

 Muqaddimah

Masalah ini merupakan salah satu pembahasan aqidah yang sangat penting. Bagaimana tidak, sedangkan hal itu merupakan kenikmatan yang teramat agung. Inilah salah satu pokok di antara pokok-pokok aqidah yang telah mapan dalam Islam, perkara aqidah yang didukung oleh banyak sekali dalil-dalil al-Qur‘an dan as-Sunnah, disepakati oleh seluruh nabi dan rasul serta para sahabat dan imam-imam Islam sepanjang masa. Pembahasannya menyejukkan pandangan Ahli Sunnah dan membuat geram para ahli bid’ah, dan menyembulkan semangat hamba untuk berlomba-lomba meningkatkan amal shalih dalam menggapainya.[1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Ia merupakan kenikmatan surga yang paling tinggi dan puncak harapan para hamba yang beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Menurut mayoritas ulama salaf, seorang yang mengingkarinya telah jatuh dalam kubang kekufuran.”[2]

Aneh tapi nyata, kendatipun masalah ini begitu gamblang dan jelas, ternyata ia diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu yang dibutakan mata hatinya. Mereka berasal dari kalangan Jahmiyyah yang hina, Bathiniyyah yang nista, dan Rafidhah yang dimurka. Mereka tidak mempercayainya, menolaknya, atau minimal meragukannya.

Mengingat begitu pentingnya masalah ini, para ulama kita turut berpartisipasi mengulasnya. Tidak sedikit di antara mereka yang menulis kitab khusus tentangnya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Ibnu Wadhdhah (287 H), Yahya bin Umar al-Kindi al-Andalusi (289 H), Ibnu A’rabi (340 H), Abu Bakar ash-Shibghi (342 H), Abu Ahmad al-’Assal (349 H), al-Ajurri (360 H), ath-Thabrani (360 H), ad-Daruquthni (378 H), Ibnu Nahhas (416 H), Abu Nu’aim al-Ashbahani (430 H), dan sebagainya.[3]

Oleh sebab itu, untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan para ulama tersebut dan menghidupkan ilmu mereka kepada para pembaca yang kami cintai, pada kesempatan kali ini penulis berupaya mengumpulkan penjelasan para ulama tentang masalah penting ini. Semoga Allah memperbaiki keadaan kita semua dan meneguhkan langkah kita di atas al-Qur‘an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Amin.

Argumentasi Aqidah

Sesungguhnya keyakinan “melihat Allah di akhirat kelak” merupakan aqidah yang mapan dalam al-Qur‘an, hadits, dan ijma’. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Berikut ini beberapa dalil tersebut:

1. Al-Qur‘an

a.  Firman Allah Ta’ala:

وُجُوهٌۭ يَوْمَئِذٍۢ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌۭ ﴿٢٣﴾

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat. (QS al-Qiyamah [75]: 22–23)

Ketahuilah wahai saudaraku—semoga Allah merahmatimu—bahwa ayat yang mulia ini termasuk dalil yang sangat kuat dan jelas yang menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah Ta’ala dengan mata mereka di akhirat nanti.[4] Hal itu bisa dilihat dari tiga segi:

1)   Dalam ayat ini Allah Ta’ala menggandengkan kata “melihat” dengan kata depan ila (kepada) yang ini berarti mereka melihat wajah Allah Ta’ala dengan indra penglihatan mereka.

2)   Dalam ayat ini juga disandarkan kepada wajah yang merupakan anggota untuk melihat.

3)      Dalam ayat ini dinyatakan bahwa “wajah-wajah mereka berseri-seri” karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan sesuai dengan tingkatan surga yang mereka tempati. Dan keceriaan wajah seperti itu diraih dengan melihat.[5]

Oleh karenanya, as-Suyuthi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan tentang ayat di atas, “Dalam ayat ini terdapat bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang mengingkari ru‘yah (melihat Allah di akhirat).”[6]

b.   Firman Allah:

كَلَّآ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍۢ لَّمَحْجُوبُونَ ﴿١٥﴾

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalangi dari (melihat) Rabb mereka. (QS al-Muthaffifin [83]: 15)

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Harm al-Qurasyi berkata, “Saya mendengar asy-Syafi’i berkata tentang firman Allah di atas: ‘Tatkala Allah menghalangi mereka dengan kemurkaan, maka hal ini menunjukkan bahwa kaum mukminin akan melihat-Nya dengan keridhaan.’”[7]

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu Ta’ala berkomentar, “Apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i di atas bagus sekali. Beliau berdalil dengan mafhum mukhalafah (pemahaman keterbalikan) dari ayat ini, yang secara jelasnya ditegaskan dalam firman-Nya:

وُجُوهٌۭ يَوْمَئِذٍۢ نَّاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌۭ ﴿٢٣﴾

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat. (QS al-Qiyamah [75]: 22–23)

Dan sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits yang shahih, bahkan mutawatir, kaum mukminin akan melihat Rabb mereka di kampung akhirat dengan mata kepala.”[8]

Sebenarnya, masih ada beberapa ayat lainnya lagi yang dijadikan dalil Ahlus Sunnah untuk menetapkan aqidah ini, di antaranya surat Yunus [10]: 26, Qaf [50]: 35,[9] dan ayat-ayat yang menceritakan tentang perjumpaan dengan Allah seperti al-Baqarah [2]: 223, al-Kahfi [18]: 110, ar-Ra’du [13]: 3, dan lain-lain.[10]

2. Hadits

Ketahuilah wahai saudaraku yang mulia—semoga Allah selalu membimbingmu—hadits-hadits tentang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat banyak sekali.[11] Bahkan, menurut timbangan para ahli hadits telah mencapai derajat mutawatir sehingga tidak perlu diragukan keabsahannya. Kalau memang demikian keadaannya maka kita pilih salah satu di antaranya:

عَنْ جَرِيْرٍ a قَالَ : كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ النَّبِيِّ n إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ قَالَ : إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوْا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَصَلَاةٍ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ فَافْعَلُوْا

Dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tiba-tiba beliau melihat ke arah bulan di malam purnama seraya berkata, ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini[12]. Kalian tidak samar dalam melihat-Nya. Jika kalian mampu untuk tidak meninggalkan shalat sebelum terbitnya matahari (Subuh) dan shalat sebelum terbenamnya matahari (Asar) maka lakukanlah.’” (HR al-Bukhari: 7434, Muslim: 1432)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya tentang “melihat Allah di akhirat” hingga menurut para pakar ilmu hadits mencapai derajat mutawatir sehingga tidak perlu diragukan keabsahannya.

Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Adapun hadits-hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melihat Allah di akhirat derajatnya mutawatir. Diriwayatkan oleh banyak sahabat: Abu Bakar ash-Shiddiq, Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudri, Jarir bin Abdullah al-Bajali, Shuhaib bin Sinan ar-Rumi, Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali, Ali bin Abu Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, ’Adi bin Hatim ath-Tha’i, Anas bin Malik al-Anshari, Buraidah bin Hushaih al-Aslami, Abu Razin al-Uqaili, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Umamah al-Bahili, Zaid bin Tsabit, Ammar bin Yasir, Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah bin Umar, Umarah bin Ruwaibah, Salman al-Farisi, Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin ’Ash secara mauquf, Ubay bin Ka’ab, Ka’ab bin ’Ujrah, Fadhalah bin ’Ubaid secara mauquf, dan seorang sahabat yang tidak disebutkan namanya (semoga Allah meridhai mereka semua).”[13]

Imam adz-Dzahabi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Adapun melihat Allah dengan mata kepala di akhirat merupakan hal yang pasti dan yakin. Telah mutawatir nash-nash tentangnya. Hadits-hadits tentangnya telah dikumpulkan oleh ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya.”[14]

Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Ad-Daruquthni telah mengumpulkan hadits-hadits tentang melihat Allah di akhirat hingga mencapai dua puluh hadits. Ibnul Qayyim menelitinya hingga mampu mencapai tiga puluh hadits yang kebanyakan sanadnya bagus. Ad-Daruquthni menukil dari Yahya bin Ma’in bahwa dia mengatakan, ‘Saya memiliki tujuh belas hadits tentang melihat Allah di akhirat, semuanya shahih.’”[15]

Dan masih banyak lagi ulama lainnya seperti Imam Nawawi[16], Ibnu Abil Izzi al-Hanafi[17], Muhammad Amin asy-Syinqithi[18], al-Kattani.[19]

3. Ijma’

Banyak para ulama menukil ijma’ tentang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak:

a.         Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau berkata, “Dan mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) bersepakat bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat dengan mata kepala mereka.”[20]

b.         Imam al-Baihaqi. Beliau berkata, “Kami meriwayatkan dalam kitab Itsbat Ru‘yah dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Musa, dan lain-lain, tidak dinukil dari seorang pun di antara mereka yang meniadakannya. Sekiranya mereka berselisih, tentu perselisihan mereka itu akan dinukil kepada kita. Nah, tatkala telah dinukil kepada kita bahwa mereka menetapkan melihat Allah di akhirat dengan mata kepala dan tidak dinukil adanya perselisihan di antara mereka, maka kita mengetahui bahwasanya mereka semua telah bersepakat satu kata tentang melihat Allah di akhirat dengan mata kepala.”[21]

c.         Imam ad-Darimi. Beliau berkata, “Sungguh telah shahih atsar-atsar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ahli ilmu setelahnya, demikian pula al-Qur‘an telah menegaskannya. Apabila berkumpul al-Qur‘an, hadits Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ijma’ (kesepakatan umat), maka tidak ada peluang bagi seorang pun untuk menakwilkannya, kecuali seorang yang sombong atau pengingkar.”[22]

d.         Imam Ibnu Khuzaimah. Beliau berkata, “Ahli Islam dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka hingga para ulama yang kita saksikan pada zaman kita, tidak berselisih dan tidak meragukan bahwa seluruh kaum mukminin akan melihat Pencipta mereka kelak di akhirat dengan mata kepala.”[23]

e.         Imam an-Nawawi. Beliau berkata, “Ketahuilah, madzhab seluruh Ahlus Sunnah menetapkan ru‘yatullah (melihat Allah) di akhirat bagi kaum mukminin, bukan kaum kafirin. Hal itu bukanlah mustahil. Sebagian kelompok ahli bid’ah dari Mu’tazilah, Khawarij, dan sebagian Murji‘ah beranggapan, tidak ada seorang pun yang dapat melihat-Nya dan merupakan suatu hal yang mustahil secara logika. Anggapan mereka ini sangat jelas keliru. Banyak sekali dalil dari al-Qur‘an, hadits, dan ijma’ sahabat serta para ulama salaf setelah mereka yang menetapkan melihat Allah di akhirat bagi kaum mukminin, diriwayatkan oleh dua puluh sahabat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ayat-ayat al-Qur‘an juga masyhur. Adapun syubhat-syubhat ahli bid’ah telah dijawab secara tuntas di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah.”[24]

f.          Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau berkata—setelah memaparkan beberapa dalil berupa ayat, hadits, ucapan para salaf tentang masalah ini, “Al-Qur‘an, hadits mutawatir, ijma’ sahabat, imam Islam, dan ahli hadits menunjukkan bahwa Allah akan dilihat kelak di akhirat dengan mata kepala secara terang, sebagaimana rembulan di malam bulan purnama dapat terlihat secara jelas dan sebagaimana matahari dapat dilihat secara terang di siang bolong.”[25]

g.         Imam al-Ajurri. Beliau berkata, “Apabila ada yang menentang masalah ini dari seorang jahil yang tidak berilmu atau sebagian Jahmiyyah yang tidak diberi petunjuk dan dipermainkan setan, seraya mengatakan, ‘Benarkah orang-orang yang beriman akan melihat Allah kelak di akhirat?’ Jawablah, ‘Ya, benar. Segala puji bagi Allah atas hal itu.’ Kalau orang Jahmi berkata, ‘Saya tidak mempercayainya.’ Katakan kepadanya, ‘Engkau telah kufur kepada Allah, Dzat Yang Maha Agung.’ Kalau dia mengatakan, ‘Apa alasannya?’ Katakan kepadanya, ‘Karena kamu telah menolak al-Qur‘an, hadits, ucapan para sahabat, dan ucapan seluruh ulama kaum muslimin, serta kamu tidak mengikuti jalan orang-orang yang beriman. Sehingga engkau termasuk dalam ayat:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS an-Nisa‘ [4]: 115).’”

Selanjutnya, al-Ajurri mengatakan, “Barangsiapa membenci aqidah yang dianut oleh para imam tersebut dan menyelisihi al-Qur‘an dan as-Sunnah, serta ridha dengan ucapan Jahm, Bisyr al-Mirrisi, dan sejenisnya maka dia kafir.”[26]

Dengan penjelasan di atas, tidak kita ragukan lagi bahwa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat merupakan masalah ijma’ (konsensus ulama) dan tidak ada perselisihan di kalangan Sahabat Radhiallahu ‘Anhum sedikit pun selama-lamanya. Inilah pendapat seluruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan tabi’in dan para imam. Bahkan, kata Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Rahimahullahu Ta’ala, “Sesungguhnya kaum mukminin tidak berselisih pendapat bahwa mereka akan melihat pencipta mereka kelak di Hari Akhir. Barangsiapa mengingkarinya, dia tidak termasuk orang yang beriman.”[27]

4. Akal

Adapun dalil akal yang menunjukkan masalah ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hamba-Nya sehingga tidak ada yang mustahil dalam akal jika hamba juga bisa melihat-Nya, sebab segala sesuatu yang ada maka bisa dilihat, sedangkan yang tidak dilihat itu adalah sesuatu yang tidak ada. Maka tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang ada maka bukanlah mustahil jika Dia memperlihatkan diri-Nya kepada kita semua.[28]

Mungkinkah Melihat Allah di Dunia?

Melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mata kepala di dunia ini adalah tidak mungkin terjadi selama-lamanya, berdasarkan hadits:

وَإِنَّكُمْ لَمْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا

“Dan sesungguhnya kalian tidak akan melihat Rabb kalian (di dunia) sampai kalian mati.”[29]

Hal itu karena manusia tidak akan kuat jika melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia. Karenanya, tatkala Nabi Musa ‘Alaihissalam meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memperlihatkan diri-Nya kepadanya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepadanya:

لَن تَرَىٰنِى

“Kamu sekali-kali tidak bisa melihat-Ku.” (QS al-A’raf [7]: 143)

Maksudnya, kamu tidak bisa melihat-Ku sekarang di dunia karena kamu tidak akan kuat.

Para ulama telah bersepakat tentang hal ini. Tidak ada yang menyelisihinya kecuali orang yang jahil tidak mengetahui tentang agama atau membangun agamanya dengan dasar yang batil atau orang yang terjerumus dalam kubang tasawuf yang berlebihan. Kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Setiap orang yang mengaku melihat Allah dengan mata kepalanya sebelum mati maka pengakuannya adalah batil dengan kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena mereka telah bersepakat bahwa seorang mukmin tidak bisa melihat Allah dengan mata kepalanya hingga dia meninggal dunia.”[30]

Dahulu, dikatakan oleh al-Kalabadzi dalam kitabnya at-Ta’arruf hlm. 78, “Melihat Allah adalah kenikmatan yang sangat tinggi dan kesenangan yang sangat mengagumkan. Oleh karenanya, tidak terjadi kecuali di kampung yang tidak tercampuri oleh kemaksiatan, yaitu kampung Surga. Adapun bumi, maka telah ternodai oleh dosa-dosa yang begitu banyak, maka tidak mungkin terjadi padanya nikmat yang teragung yaitu melihat Allah yang melalaikan ahli surga dari kenikmatan surga lainnya.”[31]

Pernahkah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Melihat Allah?

Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat[32]:

1)      Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu ketika peristiwa isra‘ mi’raj. Hal ini dikuatkan oleh Sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma; beliau berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Allah dengan matanya.” Dalam riwayat lain dengan lafal: “Melihat dengan hatinya.”[33]

2)   Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melihat Allah. Hal ini dikuatkan oleh Aisyah Radhiallahu ‘Anha; Masruq pernah bertanya kepadanya, “Wahai ibunda, apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Rabbnya?” Beliau (Aisyah Radhiallahu ‘Anha) menjawab, “Sungguh berdiri bulu kudukku tatkala mendengar ucapanmu. Di manakah dirimu dari tiga perkara yang apabila seorang bercerita tentangnya maka dia telah berdusta?! Barangsiapa bercerita kepadamu bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Rabbnya maka dia berdusta”, lalu Aisyah Radhiallahu ‘Anha membaca:

لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَـٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَـٰرَ ۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ ﴿١٠٣﴾

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS al-An’am [6]: 103)

Dan ini juga dikuatkan oleh hadits dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Apakah engkau melihat Rabbmu?’ Beliau menjawab, ‘Cahaya, bagaimana mungkin saya melihat-Nya.’”

Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang maksudnya: ‘Saat itu ada cahaya, saya terhalangi oleh cahaya, lantas bagaimana mungkin saya melihat-Nya?’”[34]

Namun, perselisihan antara Aisyah Radhiallahu ‘Anha dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma di atas telah dikompromikan oleh para ulama. Yang diingkari Aisyah Radhiallahu ‘Anha adalah penglihatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan mata kepala. Adapun yang ditetapkan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma adalah penglihatan dengan hati.[35] Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma ada yang bersifat muthlaq dan ada yang bersifat muqayyad. Maka ucapan yang muthlaq dibawa kepada yang muqayyad (melihat dengan hati) … lalu beliau melanjutkan, “Riwayat yang paling jelas tentang hal itu adalah riwayat Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwasanya beliau mengatakan, ‘Rasulullah tidak melihat Allah dengan mata kepalanya, namun dengan hatinya.’”[36]

Satu hal yang perlu diingat pula, bahwa perselisihan dalam masalah ini hanya khusus pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun selain beliau maka tidak ada perselisihan. Oleh karenanya, kita harus membedakan antara tiga permasalahan sebagai berikut:

1)   Masalah melihat Allah di akhirat.

2)   Masalah melihat Allah di dunia.

3)   Masalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Rabbnya di dunia.

Kesimpulan dari tiga permasalahan ini adalah ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala, “Salaf dan imam umat ini telah bersepakat kaum mukminin akan melihat Allah dengan mata kepala mereka di akhirat kelak. Dan mereka juga bersepakat kaum manusia tidak mungkin melihat Allah di dunia dengan mata kepala, mereka tidak berselisih pendapat kecuali pada diri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[37]

Ketahuilah dan camkanlah kesimpulan ini baik-baik agar engkau tidak tertipu dengan kerancuan sebagian kalangan yang sengaja mencampuradukkan antara permasalahan di atas untuk membuat asumsi bahwa masalah “melihat Allah di akhirat” adalah masalah khilafiyyah di kalangan Sahabat Radhiallahu ‘Anhum, lantas, untuk apa kita ribut membahasnya?!![38]

Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi



[1]     Lihat Hadi Arwah ila Biladil Afrah kar. Ibnul Qayyim hlm. 402, Lawa’ih Anwar as-Saniyyah kar. as-Saffarini 1/282.

[2]     Majmu’ Fatawa 6/486

[3]     Lihat Tarikh Tadwin al-Aqidah as-Salafiyyah kar. Syaikh Dr. Abdul Karim bin Barjas alu Abdil Karim, cet. Dar ash-Shuma’i.

[4]     ’Izhamul Minnah fi Ru‘yatil Mukminina Rabbahum fil Jannah kar. Abdurrahman al-Ahdal hlm. 6

[5]     Lihat at-Taudhihat al-Atsariyyah ’ala Syarhil Aqidah ath-Thahawiyyah kar. Dr. Abdurrahman al-Khumais 1/427 dan Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah kar. Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh 1/238.

[6]     Al-Iklil fi Istinbath Tanzil 3/1290

[7]     Manaqib Syafi’i 1/420

[8]     Tafsir al-Qur‘anil Azhim 8/351

[9]     Lihat penjelasannya lebih rinci dalam ’Izhamul Minnah fi Ru‘yatil Mukminina fil Jannah hlm. 6–43 dan Ru‘yatullah ’Azza wa Jalla hlm. 14–25, skripsi akhuna al-Ustadz Kamalul Qurun di Universitas Madinah tahun ajaran 1422–1423 H.

[10]   Sebab, sebagaimana kata Tsa’lab (seorang imam pakar bahasa Arab), “Para ahli bahasa bersepakat bahwa ‘pertemuan’ di sini adalah ‘melihat’ karena tidak mungkin pertemuan, ucapan selamat, dan pembicaraan kecuali dengan melihat.” (al-Ibanah kar. Ibnu Baththah 3/62)

[11]   Lihat secara terperinci dalam kitab-kitab yang membahas masalah ini secara khusus seperti Kitab ar-Ru‘yah kar. ad-Daruquthni (tahqiq Dr. al-Faqihi), Ru‘yatullah Tabaraka wa Ta’ala kar. Ibnu Nahhas (tahqiq Dr. Mahfuzhurrahman), ath-Tashdiq bin Nazhar kar. al-Ajurri, Majis Imla‘ ad-Daqqaq fi Ru‘yatillahi kar. al-Ashbahani (tahqiq Hatim al-Auni), dan lain-lain.

[12]   Al-Allamah Ibnu Abil Izzi al-Hanafi Rahimahullahu Ta’ala berkata dalam Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/219, “Penyerupaan melihat Allah dengan melihat matahari dan bulan bukanlah berarti menyerupakan dzat Allah, tetapi yang diserupakan adalah melihat dengan melihat, bukan dzat yang dilihat. Dalam aqidah ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah atas makhluk-Nya. Sebab bagaimana mungkin melihat tanpa berhadapan?! Barangsiapa mengatakan ‘Allah dilihat tanpa arah’, maka hendaknya dia memeriksakan akalnya!”

[13]   Hadi Arwah hlm. 416. Lihat pula al-Kafiyah asy-Syafiyah fil Intishar lil Firqah Najiyah kar. Ibnul Qayyim hlm. 321, 324.

[14]   Siyar A’lam Nubala‘ 2/167

[15]   Fathul Bari 13/434

[16]   Syarh Shahih Muslim 3/18

[17]   Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/215, 217

[18]   Adhwa‘ul Bayan 1/431 surat al-A’raf: 143 dan Daf’u I’ham Idhthirab ’an Ayat Kitab hlm. 122

[19]   Nazhmul Mutanatsir hlm. 250–252

[20]   Risalah ila Ahli Saghar hlm. 237

[21]   Hadi Arwah hlm. 301

[22]   Ar-Radd ’ala Jahmiyyah hlm. 122–123

[23]   Kitab at-Tauhid 1/467

[24]   Syarh Shahih Muslim 3/18

[25]   Hadi Arwah hlm. 319

[26]   At-Tashdiq Bi Nazhari ila Allah fi Akhirah hlm. 28–29, 34

[27]   Hadi Arwah hlm. 317

[28]   Lihat al-Ibanah ’an Ushul Diyanah hlm. 296, tahqiq Dr. Shalih bin Muqbil al-‘Ushoimi. Ucapan ini juga dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Bayanu Talbis Jahmiyyah 2/349 seraya mengomentarinya bahwa perdalilan al-Asy’ari di atas sebenarnya diambil dari ucapan para imam salaf.

[29]   HR Ahmad 5/334, an-Nasa‘i dalam Sunan Kubra: 7764, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah: 428. Dan dishahihkan al-Albani dalam Zhilalul Jannah.

[30]   Majmu’ Fatawa 3/389–390

[31]   Ucapan ini dinukil oleh sejumlah ulama seperti al-Qadhi ’Iyadh dalam asy-Syifa 1/128, al-Qurthubi dalam Tafsir-nya 7/38, al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani 5/48049, dan as-Saffarini dalam Lawami’ul Anwar 2/251. (Dinukil dari ta’liq Syaikhuna Masyhur Hasan Salman terhadap al-Mu’lim ’ala Hurufil Mu’jam fi Ta’biril Ahlam kar. Ibnu Ghannam al-Maqdisi hlm. 114–115)

[32]   Lihat asy-Syifa bi Ta’rifi Huquqil Musthafa kar. al-Qadhi ’Iyadh 1/125–129.

[33]   Lihat Shahih al-Bukhari: 4716 dan Shahih Muslim: 176.

[34]   Lihat Dilalatul Qur‘an wal Atsar ’ala Ru‘yatillah Ta’ala bil Bashar hlm. 40, Majmu’ Fatawa 6/507–508.

[35]   Majmu’ Fatawa 6/507–508

[36]   Fathul Bari 8/608

[37]   Al-As‘ilah wal Ajwibah 1/122–123

[38]   Seperti dilakukan oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya Aqidah Muslim hlm. 195–196. Lihat bantahan terhadapnya dalam Jinayah Syaikh Muhammad al-Ghazali ’ala Haditsi wa Ahlihi hlm. 424–428 oleh Syaikh Asyraf Abdul Maqshud.

Baca Juga Artikel Terbaru

Leave a Comment