Memukul Anak Untuk Shalat

“Memukul Anak Untuk Shalat”

Ditulis oleh: Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi.

Sebagai orang tua, kita diperintahkan untuk mendidik anak-anak sejak dini untuk beribadah, terutama shalat. Nabi bersabda:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ, وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشَرِ سِنِيْنَ, وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فيِ الْمَضَاجِعِ

Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasulullah bersabda: “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat tatkala mereka berumur tujuh tahun dan pukul mereka (jika tidak mau shalat) pada umur sepuluh tahun serta pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu Dawud 495, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1002 dan dihasankan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ 3/12)

Hadits ini menunjukkan anjuran Nabi kepada orang tua untuk membiasakan anak sejak kecil untuk shalat.
1. Bila usia masih tujuh tahun, maka mereka dianjurkan shalat saja tanpa dipukul kalau tidak mau shalat, karena mereka tidak meninggalkan kewajiban.
2. Bila usia sepuluh tahun tidak mau shalat maka boleh untuk dipukul dengan pukulan mendidik yang tidak melukai karena mereka bisa jadi sudah baligh atau mendekati baligh.
3. Jika usia sepuluh tahun maka dipisah ranjangnya karena dikhawatirkan syahwat. Ini salah satu dalil larangan campur baur laki-laki dan perempuan.

Inilah metode pendidikan anak yang benar sesuai Islam. Kita mengambilnya dari sumber agama kita, bukan dari teori barat yang tidak ada kebaikan di dalamnya. (Bayanul Ma’ani Syarah Muqaddimah Ibnu Zaid Al Qairawani hlm. 27-28 karya Syeikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)

Semua itu dalam rangka membiasakan anak untuk shalat sejak kecil agar kelak saat baligh sudah terbiasa. Imam Nawawi berkata, Syafii mengatakan dalam al-Mukhtashar, Kewajiban bapak dan ibu mendidik anak-anak mereka serta mengajari mereka thaharah (bersuci) dan shalat. Para sahabat kami (madzhab Syafii) mengatakan, Orang tua juga wajib mendidik mereka hadir shalat secara berjama’ah dan menjelaskan mereka haramnya zina, homoseks, minum khamr, dusta, ghibah, dan sejenisnya, kepada anak laki-laki maupun perempuan.” (Al Majmu’, An Nawawi 3/12)

Namun disyaratkan dalam pukulan ini beberapa syarat sebagai berikut:
1. Anak tersebut mengerti atas alasan apakah dia dipukul
2. Orang yang memukul adalah walinya seperti ayahnya
3. Tidak boleh berlebihan dalam memukul
4. Kesalahan anak memang berhak untuk mendapatkan hukuman
5. Bermaksud untuk mendidik, bukan melampiaskan amarah. (Al-Qaulul Mufid, Ibnu Utsaimin 2/473-474)

Beberapa waktu yang lalu saya mendapati ceramah sebagian ustadz yang menyalahkan terjemahan “pukulah mereka” dalam hadits di atas dan bahwasanya terjemahan yang benar adalah memberikan contoh.

Namun pendapat ini adalah bathil karena:

1. Asli makna ضرب adalah memukul sebagaimana dikatakan oleh seorang pakar bahasa Arab, Ibnu Faris dalam kitabnya Mu’jam Maqayis Lughah 3/397, adapun makna lainnya maka itu sifatnya majaz sebagaimana dikatakan oleh Az Zamakhsyari dalam Asasul Balaghah 1/577.

2. Memalingkan dari makna asli dan merubahnya kepada makna yang lainnya bertentangan dengan kaidah asal dalam ucapan.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakikatnya. Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan hal itu.” (Tanbih Rajulil-‘Aqil (2:460)

3. Penafsiran seperti ini tidak dikenal oleh para ulama sebelumnya sepanjang pengetahuan kami. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Hati-hatilah dari berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak ada imam pendahulunya” (Manaqib Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi hlm. 178)

4. Jika kita membuka pintu ini maka kita akan mudah memalingkan dari makna aslinya yang tidak sesuai dengan konteksnya dan merubah syariat Allah.
Apakah setiap kali barat memiliki teori yang bertentangan dengan agama kita, kita malah yang merubah makna agar sesuai teori mereka?!

5. Adapun mengartikan dengan memberi contoh dengan hujjah QS. Al Baqarah: 26

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسْتَحْىِۦٓ أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۚ

Artinya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.

Maka ini konteksnya berbeda, karena dalam ayat ini ضرب dipadukan dengan مثلا. Tentu konteksnya berbeda. Dalam bahasa Arab memahami arti tergantung konteks kalimatnya.

Semoga Allah menjadikan putra putri kita penyejuk mata kita dan pemberi syafaat kita kelak di surga

Baca Juga Artikel Terbaru

Leave a Comment