Polemik Hukum Rokok (Ibrah, Hukum, dan Nasehat)

Polemik Hukum Rokok
(Ibrah, Hukum, dan Nasehat)

Ditulis oleh : Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi

Ramai di medsos tentang sosok salah satu ustadz ? yang merokok dan membuka auratnya sehingga menjadi bola liar antara pro dan kontra. Ada yang membelanya dan ada pula yang mengkritiknya hingga menghujatnya.

Tulisan ini sebagai nasehat buat kami pribadi dan bagi saudara-saudara kami semua yang kami cintai karena Allah, bukan bermaksud menghujat individu orang atau membuka aib, namun kita akan fokus kepada inti permasalahan sebagai pembelajaran bagi kita semua. Kita akan bahas masalah ini dalam beberapa pembahasan agar lebih sistematis:

Ketergelinciran Ustadz, Ujian Untuk Kita

Kesalahan seorang yang dianggap tokoh, panutan atau ustadz merupakan ujian bagi kita antara mengujat dan mencela atau fanatik membelanya secara membabi buta.

Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman bin Yahya Al-Mu’allimi berkata:

واعلم أن الله تعالى قد يوقع بعض المخلصين في شيء من الخطأ ابتلاءً لغيره، أيتبعون الحق ويدعون قوله، أم يغترون بفضله وجلالته؟

“Ketahuilah olehmu, terkadang Allah menggelincirkan sebagian ‘alim dalam suatu kesalahan sebagai ujian bagi yang lain, apakah mereka lebih memilih mengikuti al-haq dan meninggalkan ucapannya? Ataukah terpedaya dengan keutamaan orang ‘alim tersebut dan kecerdasannya? (Atsar Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman bin Yahya Al-Mu’allimi 2/294)

Oleh karena itu, hendaknya bagi kita untuk pandai-pandai bersikap. Ingat, di antara ciri khas Ahlussunnah wal-Jama‘ah adalah mengagungkan dalil. Mereka berputar mengikuti dalil sekalipun harus dengan meninggalkan ucapan manusia.

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Ahlussunnah meninggalkan ucapan manusia karena dalil. Adapun ahli bid‘ah meninggalkan dalil karena ucapan manusia.” (Ash-Shawa‘iqul-Mursalah (4:1603).

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Mu’allimi berkata, “Orang yang mengerti agama tidak menaati dalam agama kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka menerima ucapan para ulama sebagai penyampai firman Allah dan (sabda) Rasul-Nya.
Oleh karena itu, mereka tidak menaati seorang pun dari ulama tatkala jelas bagi mereka bahwa pendapatnya menyelisihi al-Qur’an dan Rasul-Nya.
Dan jika mereka telah menerima ucapan seorang ulama kemudian jelas baginya bahwa pendapat tersebut menyelisihi al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya maka mereka meninggalkan pendapat tersebut.
Siapa pun di kalangan kaum Muslimin yang tidak mengikuti prinsip ini maka dia menyelisihi syari‘at dan tidak dianggap.” (Raf‘ul-Isytibah ‘An Ma‘na ‘Ibadah wal-Ilah (2:835), cet. Dar ‘Alamil-Fawa’id).

Maka agungkan kebenaran. Jangan fanatik kepada individu orang siapapun dia, sebagaimana juga jangan mencela dan merendahkan siapapun dia.

Mengkritik Bukanlah Mencela

Saat kita mengkritik pendapat dan pandangan seseorang siapapun dia, maka jangan disalahartikan sebagai sebuah celaan dan hinaan. Sungguh berbeda antara keduanya sebagaimana dijelaskan secara bagus oleh Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali dalam risalahnya Al Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir.

Al Allamah Al-Mu’allimi berkata: “Sesungguhnya melemahkan pendapat seorang alim tidaklah berarti mencelanya atau tidak beradab kepadanya atau menodai kehormatannya”. (Atsarul Mu’allimi 24/419)

Namun mengkritik harus dengan cara yang benar yaitu secara ilmiah dan adab yang mulia. Syeikh Abdur Rahman bin Yahya Al-Mu’allimi رحمه الله berkata: “Sebesar apapun kita mencintai kebenaran. Namun kita jangan membela kebenaran kecuali dengan cara yang benar”. (Majmu Muallafat wa Atsar Syeikh 4/6).

Oleh karena itu, fokus utama kita adalah mengkritik dan meluruskan pandangan dan pendapat bukan pada individu orang.

Al Allamah Muhammad Al Basyir Al Ibrahimi berkata: “Jika seorang hendak mengkritik, maka janganlah pendorong utamanya karena kedengkian. Namun hendaknya fokus mengkritik pada pendapat, bukan mencela orangnya”. (Atsar 3/67)

Mengumpulkan Ketergelinciran Ulama

Masalah hukum rokok yang sedang ramai saat ini sejatinya bukan pada masalah perbedaan pendapat semata, namun lebih daripada itu yaitu ucapan sang ustadz yang mengatakan bahwa dia meyakini kehalalan rokok dan bahwa rokok tidak haram dan dia berani mempertanggung jawabkan pendapatnya di hadapan Allah. Ditambah lagi menormalisasi perbuatannya tersebut dengan alasan pendapat Imam Asy Syaukani dan Ash Shan’ani yang membolehkannya.

Tentu saja ini kesalahan yang amat fatal karena beberapa sisi:

1. Mencari-cari pendapat lemah Ulama
Ini penyakit berbahaya, ketika seorang punya kebiasaan buruk yang sesuai dengan hawa nafsunya, lalu mencari-cari pendapat ulama untuk menguatkan pendapat yang sesuai hawa nafsunya tersebut.

Sulaiman At Taimi berkata: “Seandainya engkau mengambil ketergelinciran semua alim, niscaya akan terkumpul pada dirimu semua kerusakan”. (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/927)

Al-Kisah, suatu saat Ismail al-Qadhi pernah masuk kepada khalifah Abbasiyah waktu itu, lalu disuguhkan padanya sebuah kitab yang berisi tentang keringanan dan ketergelinciran para ulama. Setelah membacanya dia berkomentar: Penulis buku ini adalah zindiq, sebab orang yang membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mutah. Dan orang yang membolehkan nikah mutah tidaklah membolehkan nyanyian. Tidak ada seorang alimpun kecuali memiliki ketergelinciran. Barangsiapa memungut semua kesalahan ulama niscaya akan hilang agamanya”. Akhirnya, buku itu diperintahkan supaya dibakar. (Siyar Alam Nubala 13/465, adz-Dzahabi).

Sejarah berulang lagi saat ini!! Betapa banyak kita jumpai manusia pada zaman sekarang yang mengikuti arus hawa nafsunya dengan mencari-cari ketergelinciran ulama. Baginya musik boleh-boleh saja karena megikuti pendapat Ibnu Hazm!! Wanita nikah tanpa wali hukumnya boleh karena mengikuti madzhab Hanafiyah!! Binatang buas tidak haram karena mengikuti madzhab Malikiyah!! Melafadzkan niat boleh karena mengikuti madzhab Hanabilah dan Syafiiyyah!! Demikianlah dia memborong segudang bencana pada dirinya!!. (Lihat contoh-contoh lainnya dalam risalah Zajru Sufaha an TatabbuI Rukhas Fuqaha oleh Syaikh Jasim al-Fuhaid ad-Dusari dan Irsal Syuwath ala Man Tatabbaa Syawadz oleh Shalih asy-Syummari).

2. Perbedaan Ulama Bukanlah Dalil!

Sebagian kalangan seringkali menjadikan khilaf (perbedaan ulama) sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Menurutnya, rokok adalah boleh karena Asy Syaukani atau ulama lainnya membolehkannya dan contoh-contoh lainnya.

Alasan seperti ini sangatlah lemah sekali, karena khilaf bukanlah dalil dan hujjah, hujjah itu adalah dalil Al Qur’an dan hadits shahih serta ijma’.

Al-Khothobi mengatakan: “Ikhtilaf bukanlah hujjah. Menjelaskan sunnah Nabi itulah yang hujjah bagi orang-orang yang berselisih, baik dahulu maupun sekarang”. (A’lamul Hadits 3/2092)

Ibnu Abdil Barr mengatakan:

الاختلافُ ليس بحجةٍ عند أحدٍ علمتهُ من فقهاء الأمة،إلا من لا بَصَرَ له،ولا معرفةَ عنده،ولا حجةَ في قوله

“Ikhtilaf itu bukanlah hujjah menurut seorangpun dari ulama umat ini sepanjang ilmu saya kecuali bagi orang yang tidak memiliki ilmu dan ucapannya tidak dianggap”. (Jami Bayanil Ilmi 2/922)

Ibnu Taimiyyah mengatakan:

إنَّ تَعْلِيلَ الْأَحْكَامِ بِالْخِلَافِ عِلَّةٌ بَاطِلَةٌ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ،فَإِنَّ الْخِلَافَ لَيْسَ مِنْ الصِّفَاتِ الَّتِي يُعَلِّقُ الشَّارِعُ بِهَا الْأَحْكَامَ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ،فَإِنَّ ذَلِكَ وَصْفٌ حَادِثٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Alasan dengan khilaf dalam hukum merupakan alasan yang bathil, karena khilaf bukanlah sifat yang digantungkan oleh syari’at untuk menetapkan suatu hukum, sebab itu adalah hanya terjadi setelah Nabi. Biasanya hanya ditempuh oleh orang yang tidak mengilmui tentang dalil-dalil syari’ guna kehati-hatian”. (Majmu Fatawa 23/282-282)

Az Zarkasy mengatakan:

اعلم أنّ عينَ الخلافِ لا يَنتصِبُ شُبهةً و يُـراعى، بل النظر إلــى المأخذ وقوته

Ketahuilah bahwa khilaf tidaklah menghilangkan syubhat dan perlu dijaga, tetapi hendaknya dilihat pada kuatnya dalil. (al Bahrul Muhith 4/550)

Syaikhu Masayikhina Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

التعليلُ بالخلاف ليس تعليلاً صحيحاً تثبتُ به الأحكام الشرعية

Beralasan dengan khilaf bukanlah alasan yg benar untuk menetapkan hukum2 syar’i. (As Syarhu Mumti 3/76)

Jadi khilaf bukanlah alasan dalam menetapkan hukum, karena ini bertentangan dengan syariat yang menganjurkan kita mengikuti Al Quran dan hadits, justru alasan seperti ini adalah termasuk mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, tidak ada seorang ulama pun yang menyebutkan dalam kitab-kitab ushul fiqih bahwa khilaf adalah termasuk sumber hukum.
Apalagi, pendapat sebagian ulama yang membolehkan seperti Asy Syaukani, itu beda gambaran masalah dan beda zaman, karena saat itu kandungan rokok tidak seperti sekarang yang jelas bahayanya dengan kesepakatan ahli kedokteran.
Syeikh Masyhur bin Hasan setelah memaparkan perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini, antara yang mengharamkan, memakruhkan dan membolehkan:

اختلاف العلماء في حكم الدخان اختلاف زمان وأوان وليس اختلاف دليل وبرهان

Perbedaan pendapat ulama tentang hukum rokok adalah perbedaan zaman dan waktu bukan perbedaan dalil dan argumen. (Lihat Muqaddimah Syeikh Masyhur Hasan dalam Tahqiqul Burhan fi Sya’ni Dukhon, hlm. 57 karya Mula Ali Al Qari)

Antara Ushul dan Furu’

Sebagian orang meremehkan masalah jenggot, rokok, isbal dengan alasan bahwa itu masalah furu’ bukan masalah ushul. Pembagian dengan maksud dan tujuan seperti ini mirip sebagian harakiyyin yang mengatakan: “Mengapa kita sibuk dengan masalah-masalah kulit!! Lihatlah, banyak saudara-saudara kita yang teraniaya!! Gereja-gereja timur saling bantu-membantu dengan gereja barat. Lantas, masihkan kita menyibukkan diri dengan masalah-masalah kulit seperti ini?!!”

Ucapan ini sangat berbahaya sekali, karena akan berdampak meremehkan hukum-hukum Islam dengan alasan ini hanya masalah kulit, kecil dan sebagainya. Lalu tidak ada pengingkaran dalam hatinya kepada seorang yang melanggarnya, padahal mengingkari kemungkaran merupakan kewajiban setiap muslim.

Pembagian agama Islam kepada isi dan kulit merupakan pembagian yang bid`ah. Dan anggaplah pembagian ini benar, hal itu bukan berarti bahwa kita meremehkan kulit, karena kulit tidaklah diciptakan sia-sia tetapi untuk menjaga isi buah. Hal ini mendorong kita agar tidak meremehkan masalah kulit dalam agama!! (Lihat Tabshiru Ulil Albab bi Bid`ah Taqsim Diin Ila Qosyri wa Lubab Muhammad bin Ahmad Ismail hlm. 122-136. Lihat juga masalah ini secara panjang dalam kitab “Dalail Ash-Showab fi Bid`ah Taqsim Diin Ila Qosyr wa Lubab” oleh Syaikh Salim bin `Ied al-Hilali)

Kemudian apakah patokan ushul dan furu’ ? Apakah akhlak yang mulia bukan termasuk ushul dan perkara manhaj?

Bukankah mengatakan bahwa darah para pendemo halal ditumpahkan termasuk masalah ushul dan manhaj?

Bahkan dalam masalah rokok, ada larangan menteri kesehatan yang merupakan bagian dari pemerintah yang harus ditaati selama bukan dalam hal maksiat. Ini masalah ushul atau furu’ wahai hamba Allah ?!

Selektif Mencari Guru

Salah satu perkara ushul dan manhaj salaf adalah harus selektif dalam mencari guru agama, yang baik agama, ibadah dan akhlaknya.

Imam Malik rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah darah dan dagingmu, engkau akan ditanya tentangnya kelak di akhirat. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa engkau menimba ilmu”. (Al Kifayah, Al Khathib Al Baghdadi hlm. 21)

Abul Aliyah berkata:”Dulu aku melakukan perjalanan kepada seorang guru dengan perjalanan beberapa hari lamanya untuk belajar kepadanya.
Hal pertama yang aku cek darinya adalah shalatnya, bila aku mendapatinya menegakkan shalat maka akupun tinggal di sisinya untuk menuntut ilmu kepadanya. Namun jika aku mendapatinya melalaikan shalat maka aku akan pulang dan tidak jadi menimba ilmu darinya.

Akupun berkata: Bila dia meremehkan shalat, maka yang lainnya akan lebih dia remehkan”.(Ar Rihlah fii Thalabil Hadits, Al Khathib Al Baghdadi, hlm. 93)

Ini nasehat buat kita semua untuk selektif dan hati-hati dalam mencari guru agama.

Sebuah Nasehat

1. Untuk saudaraku yang masih kecanduan rokok, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha. Tidak perlu anda mencari-cari alasan untuk pembenaran dengan menukil ucapan ulama hanya karena hawa nafsu tanpa ilmu tentang kaidah fiqih dan maqashid syariah. Apalagi jika anda seorang ustadz yang semestinya menjadi teladan yang baik bagi umat. Ibnu Jama’ah Al Kinani berkata: “Hendaknya seorang pengajar itu tidak ridha’ dengan amalan-amalannya, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dengan amalan-amalan yang hukumnya adalah boleh, tetapi dia harus mengusahakan dirinya untuk beramal dengan amalan-amalan yang paling baik dan paling bagus. Karena sesungguhnya orang-orang yang berilmu itu adalah teladan, dan mereka adalah rujukan bagi orang-orang untuk mengetahui hukum-hukum Syari’at. Mereka adalah hujjah Allah Ta’ala kepada orang-orang awam. Dan bisa jadi ada orang yang memperhatikan gerak-gerak dan tindak-tanduk mereka untuk mengambil ilmu dari mereka padahal itu tidak disadari oleh mereka, dan ada orang yang mencontoh mereka padahal itu tidak diketahui oleh mereka.” (Tadzkirah Sami’ wal Mutakallim hlm. 52)

2. Untuk saudara-saudaraku semuanya. Jika anda mendapati saudara kita terjatuh dalam kesalahan. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian dari bencana dosa tersebut. Cintailah kebenaran dan ikutilah kebenaran, jangan ikuti dan membela dengan fanatik buta kepada siapapun yang salah. Namun jangan juga sibuk menghujat dan mencela pelakunya. Bisa jadi apa yang menimpanya sekarang kelak akan menimpa anda juga. Doakan dia agar bertaubat dan diberi hidayah oleh Allah.

Ibnu Mas’ud berkata: “Bila kalian mendapati saudara kalian melakukan dosa maka janganlah kalian menjadi penolong Syetan, dengan ucapan kalian:
“Semoga Allah menghinakannya, semoga Allah menjelekkannya”. Namun katakanlah: “Semoga Allah membuatnya bertaubat dan mengampuni dosanya”. (Makarimul Akhlak, Ath Thabarani: 35)

Demikianlah tulisan ini kami goreskan sebagai nasehat bagi kami pribadi dan semuanya. Tidak ada maksud merendahkan siapapun namun semata-mata fokus sama inti permasalahan.

Baca Juga Artikel Terbaru

Leave a Comment