Mengkritik Ritual Awal Tahun dan Renungan Akhir Tahun
Muqaddimah
Perputaran waktu dari tahun ke tahun berikutnya merupakan tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Banyak sekali kejadian dan kenangan selama perputaran waktu tersebut yang semestinya membuahkan pelajaran berharga bagi kita semua.
Detik-detik pergantian tahun adalah saat-saat yang sangat bersejarah dalam lembaran umat manusia, sehingga menjadikan sebagian orang membuat ritual-ritual dan amalan yang keabsahan dalilnya dipertanyakan. Berikut ini pembahasan ringkas tentang “amalan akhir tahun dan awal tahun”, kemudian pembahasan tambahan tentang amalan lainnya serta renungan akan pergantian tahun. Semoga Allah memberkahi waktu kita semua dalam ketaatan kepada Allah.
Teks Hadits
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ، فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةَ بِصَوْمٍ، جَعَلَ اللَّهُ لَهُ كَفَّارَةً خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang siapa berpuasa akhir hari bulan Dzulhijjah dan awal Muharram, maka dia telah menutup tahun lalunya dengan puasa dan membuka tahun barunya dengan puasa, Allah menjadikan baginya kaffarah lima puluh tahun.”
MAUDHU’. Dibawakan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhū’āt 2/566 dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Abbas, lalu katanya, “Al-Harawi adalah al-Juwaibari dan Wahb, kedunya adalah pendusta dan pemalsu hadits.” Dan disetujui As-Suyuthi[1], Ibnu Arraq[2], dan Asy-Syaukani.[3]
Mengkritik Matan
Dengan demikian, maka pengkhususan akhir tahun dan awal tahun dengan puasa termasuk kebid’ahan dalam agama.[4] Demikian juga ritual-ritual serupa yang tidak ada dalilnya, seperti:
1 Do’a awal dan akhir tahun[5]
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Tidak ada dalam syari’at ini sedikit pun do’a atau dzikir untuk awal tahun. Manusia zaman sekarang banyak membuat bid’ah berupa do’a, dzikir, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun, dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali!!”[6]
2 Peringatan tahun baru
Tidak ragu lagi perkara ini termasuk bid’ah. Tidak ada keterangan dalam As-Sunnah anjuran mengadakan peringatan tahun baru Hijriah. Perkara ini termasuk bid’ah yang jelek.[7]
3 Menghidupkan malam pertama bulan Muharram[8]
Syaikh Abu Syamah berkata, “Tidak ada keutamaan sama sekali pada malam pertama bulan Muharram. Aku sudah meneliti atsar-atsar yang shahih maupun yang lemah dalam masalah ini. Bahkan dalam hadits-hadits yang palsu juga tidak disebutkan!! Aku khawatir—aku berlindung kepada Allah—bahwa perkara ini hanya muncul dari seorang pendusta yang membuat-buat hadits!!”[9]
Banyak sekali kemungkaran dan bid’ah-bid’ah yang dibuat pada hari Asyura.[10] Kita mulai dari malam harinya. Banyak manusia yang menghidupkan malam hari Asyura, baik dengan shalat, do’a dan dzikir, atau sekadar berkumpul-kumpul. Perkara ini jelas tidak ada tuntunan yang menganjurkannya.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Termasuk bentuk bid’ah dzikir dan do’a adalah menghidupkan malam hari Asyura dengan dzikir dan ibadah. Mengkhususkan do’a pada malam hari ini dengan nama do’a hari Asyura, yang konon kabarnya barang siapa yang membaca do’a ini tidak akan mati tahun tersebut. Atau membaca surat Al-Qur‘an yang disebutkan nama Musa pada shalat Subuh hari Asyura.[11] Semua ini adalah perkara yang tidak dikehendaki oleh Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin!!”[12]
4 Shalat Asyura
Shalat Asyura adalah shalat yang dikerjakan antara waktu zhuhur dan asar, empat raka’at, setiap raka’at membaca Al-Fātihah sekali, kemudian membaca Ayat Kursi sepuluh kali, “Qul Huwallahu Ahad” (Surat al-Ikhlāsh, Red.) sepuluh kali, Al-Falaq dan An-Nās lima kali. Apabila selesai salam, istighfar tujuh puluh kali. Orang-orang yang menganjurkan shalat ini dasarnya hanyalah sebuah hadits palsu!![13]
Asy-Syuqairy berkata, “Hadits shalat Asyura adalah hadits palsu. Para perawinya majhul, sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Al-’Alā‘ al-Mashnū’ah. Tidak boleh meriwayatkan hadits ini, lebih-lebih sampai mengamalkannya!!”[14]
5 Do’a hari Asyura
Di antara contoh do’a Asyura adalah, “Barang siapa yang mengucapkan Hasbiyallah wa Ni’mal Wakil an-Nashir sebanyak tujuh puluh kali pada hari Asyura maka Allah akan menjaganya dari kejelekan pada hari itu.”
Do’a ini tidak ada asalnya dari Nabi, para sahabat, maupun para tabi’in. Tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang lemah apalagi hadits yang shahih. Do’a ini hanya berasal dari ucapan sebagian manusia!! Bahkan sebagian syaikh sufi ada yang berlebihan menyatakan bahwa barang siapa membaca do’a ini pada hari Asyura dia tidak akan mati pada tahun tersebut!![15] Ucapan ini jelas batil dan mungkar karena Allah telah berfirman:
إِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ إِذَا جَآءَ لَا يُؤَخَّرُ ۖ لَوْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٤﴾
Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui. (QS. Nūh [71]: 4)[16]
Renungan Akhir Tahun
Datangnya tahun baru ini dan pergantian tahun ini seharusnya memberi kita banyak pelajaran. Setidaknya ada dua hal yang perlu kita renungkan bersama:
1 Mengoreksi diri
Ibarat seorang pedagang setelah berdagang, dia akan mengoreksi apakah dia mendapatkan untung ataukah malah rugi? Demikianlah semestinya seorang hamba, hendaknya mengoreksi dirinya, apakah selama tahun yang lalu dia beruntung dengan pahala, karena rajin shalatnya, puasanya, berakhlak baik kepada sesama manusia, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya, ataukah dia rugi karena shalatnya yang masih ‘bolong-bolong’, menerjang larangan Allah, masih sering bermusuhan dengan sesama manusia, dan lain-lainnya. Allah berfirman dalam Al-Qur‘an:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿١٨﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr [59]: 18)
Dengan mengoreksi seperti ini, kita akan mendapat tiga faedah:
- Kita akan menyibukkan diri dengan dosa kita sendiri dan tidak menyibukkan dosa orang lain, apalagi pada zaman sekarang yang penuh dengan gosip—isu yang kadang benar tetapi tak jarang hanyalah dusta dan omong kosong belaka.
- Kita akan mengagungkan Allah, mengakui dosa-dosa kita dan banyak meminta ampunan dari-Nya.
- Kita akan memperbaiki diri kita dan tidak terjatuh dalam kesalahan untuk kedua kalinya.
2 Mengingat kematian
Dengan datangnya tahun baru berarti umur kita bertambah, dan kematian semakin dekat. Perhatikanlah rembulan, di awal bulan dia kecil, kemudian membesar ketika di pertengahan bulan, lalu dia mengecil lagi di akhir bulan. Demikianlah juga keadaan manusia, awal lahir dia kecil, kemudian tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan segar, lalu dia tua dan lemah, kemudian meninggal dunia.
Demikianlah keadaan kita, kita di dunia ini hanyalah mampir sebentar, kita semua akan kembali kepada Allah. Namun, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadap Allah?!
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍۢ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴿٣٥﴾
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiyā‘ [21]: 35)
Apabila kita mengingat kampung akhirat dan kematian, maka kita akan mendapatkan tiga faedah:
- Semangat dalam ibadah dan membaguskannya karena dia merasa bahwa amalnya masih sedikit dan banyak dosa, barangkali ini ibadah yang terakhir kali.
- Segera dalam taubat, dia tidak menunda-nunda sembari berkata, “Oh, nanti saja kalau sudah tua, sekarang selagi masih muda senang-senang dulu, dosa-dosa sedikit gak masalah.” Subhanallah, siapa yang tahu kapan kita akan meninggal dunia?? Mungkin setahun lagi, sebulan lagi, seminggu lagi, satu jam, atau satu menit lagi—kita tidak tahu—lantas kenapa taubat perlu ditunda-tunda??
- Qana’ah dengan rezeki dari Allah. Apa yang telah Allah rezekikan kepada kita dari yang halal, marilah kita syukuri, dan kita merasa cukup dengannya. Adapun apabila kita merasa tidak cukup dengan rezeki Allah, maka gaji seratus juta per bulan pun niscaya akan terasa masih kurang, demikianlah sifat manusia. Maka lihatlah orang-orang yang di bawah kita, jangan lihat yang lebih atas. Kalau kita masih bisa makan tiga kali sehari, lihatlah masih banyak saudara kita yang belum punya rumah, kelaparan, dan kesusahan untuk mencari makan walaupun hanya sekali dalam sehari.
Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
[1] Al-Alāi 2/108
[2] Tanzīh Syarī’ah 2/148
[3] Al-Fawāid al-Majmū’ah hlm. 96
[4] Lihat As-Sunan wal Mubtada’āt hlm. 191, Bida’ wa Akhthā‘ Ahmad bin Abdullah as-Sulami hlm. 221
[5] Ishlāhul Masājid Al-Qashimi hlm. 129, As-Sunan wal Mubtada’āt Muhammad Ahmad Abdus Salam hlm. 155.
[6] Tashhīh ad-Du’ā‘, Bakr Abu Zaid hlm. 107
[7] Bida’ wa Akhthā‘ hlm. 218. Lihat secara luas masalah ini dalam risalah Al-Ihtifāl bi Ra‘si Sanah wa Musybahati Ashhābil Jahīm oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari.
[8] Tashhīh ad-Du’ā‘ hlm. 107, Bida’ wa Akhthā‘ hlm. 221
[9] Al-Ba’its ’alā Inkāril Bida’ wal Hawādits hlm. 239
[10] Iqthidhā‘ ash-Shirāth al-Mustaqīm 2/129–134, Majmū’ Fatāwā 25/307–314 keduanya oleh Ibnu Taimiyyah, Al-Ibdā’ fī Madharil Ibtidā’ Ali Mahfuzh hlm. 56, 269, As-Sunan wal Mubtada’āt hlm. 154–158, 191.
[11] Bida’ al-Qurrā‘, Bakr Abu Zaid hlm. 9
[12] Tashhīh ad-Du’ā‘ hlm. 109
[13] Al-Fawāid al-Majmū’ah no. 60, al-’Alāi al-Masnū’ah 2/92.
[14] As-Sunan wal Mubtada’āt hlm. 154
[15] Du’ā‘ Khatmil Qur‘ān, Ahmad Muhammad al-Barrak, buku ini sarat dengan khurafat dan kedustaan!! (Bida’ wa Akhtha‘ hlm. 230)
[16] Dinukil dari buku Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyyah hlm. 19–23 karya Abu Ubaidah as-Sidawi dan Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Darul Ilmi, Bogor.