Perayaan Maulid Nabi Dalam Tinjauan
Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
Kahuilah wahai saudaraku -semoga Alloh memberi pemahaman kepadamu- bahwa perayaan maulid Nabi tidaklah dikenal di zaman Nabi r, para sahabat, para tabiin dan tabi’ut tabiin. Dan tidak dikenal oleh Imam-imam madzhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i sekalipun karena memang perayaan ini adalah perkara baru (baca: bid’ah).
Adapun orang yang pertama kali mengadakannya adalah Bani Ubaid Al-Qaddakh yang menamai diri mereka dengan “Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 H.
Dari sinilah kemudian mulai tumbuh berkembang perayaan maulid secara umum dan maulid Nabi secara khusus.
Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Miqrizi -seorang ulama ahli sejarah- mengatakan: “Para khalifah Fathimiyun mempunyai perayaan yang bermacam-macam setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan Asyura’, perayaan maulid Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan, maulid Husain, maulid Fathimah Az-Zahra dan maulid khalifah. Perayaan awal bulan Rajab, awal Sya’ban, nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan dan penutupan Ramadhan ….”. (Al-Mawaidz wal I’tibar bi Dzikril Khuthathi wal Atsar 1/490)
Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihani berkata, “Amma ba’du, banyak muncul pertanyaan dari saudara-saudara kami tentang perkumpulan yang biasa diamalkan sebagian manusia pada bulan Rabi’ul Awal, yang mereka namakan dengan maulid. Adakah dalilnya? Ataukah itu perkara bid’ah dalam agama? Maka saya katakan, “Saya tidak mengetahui dalil tentang maulid ini baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Tidak pula dinukil dari seorang pun dari kalangan ulama umat yang merupakan panutan dalam agama, yaitu orang-orang yang berpegang teguh terhadap ajaran para pendahulu. Bahkan maulid ini merupakan perkara bid’ah yang dibuat-buat oleh para pengangguran dan dorongan nafsu syahwat yang dipertuhankan oleh orang-orang yang buncit perut (suka makan).”(Al-Maurid fi Amalil Maulid, hlm. 8-9)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Demikian pula apa yang diada-adakan oleh sebagian manusia tentang perayaan hari kelahiran Nabi r, padahal ulama telah berselisih tentang (tanggal) kelahirannya. Semua ini tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) … dan seandainya hal itu baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi r, dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan. Sesungguhnya cinta Rasul adalah dengan mengikuti beliau, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara zhahir dan batin, menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan, ataupun lisan. Karena inilah jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim 2/123-124).