Tantangan Teknologi Modern Bagi Seorang Muslim
Muqaddimah
Pada era modern ini, kemajuan teknologi adalah sebuah fenomena alam nyata yang tak terhindarkan dari lini kehidupan umat manusia. Bahkan seakan-akan alat-alat modern tersebut telah merasuk ke jantung setiap orang; lintas budaya, suku, bangsa, dan agama.
Perkembangan dunia teknologi pada zaman sekarang sangat menggeliat bak jamur di musim hujan. Berbagai alat modern bermunculan menawarkan kemudahan yang sangat mencengangkan berupa internet, handphone/smartphone, TV, transportasi modern, dan sebagainya yang sekarang menghiasi perkantoran, sekolah, rumah, dan lingkungan kita.
Bagaimana Islam memandang kemajuan teknologi ini? Apakah Islam mampu menjawab perkembangan modern ini? Bagaimana sikap seorang muslim di tengah kemajuan teknologi sekarang ini?! Inilah yang akan menjadi tema pembahasan kita kali ini. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.
Kesempurnaan Islam
Di antara nikmat terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana di dalam firman-Nya (yang artinya):
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS al-Ma‘idah [5]: 3)
Tidaklah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam meninggalkan dunia ini melainkan telah meninggalkan kaum Muslimin di jalan yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Semua permasalahan yang dibutuhkan oleh hamba telah dijelaskan di dalam syari’at Islam, sampai-sampai permasalahan yang dipandang remeh oleh kebanyakan manusia seperti adab buang hajat dan semisalnya.
Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya dan (tidak membutuhkan) nabi selain nabi mereka—oleh karena itu, Allah menjadikannya sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia—maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada agama selain apa yang dia syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya.”1
Demikian juga al-Imam asy-Syafi’i, beliau sangat meyakini kesempurnaan agama Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Imam asy-Syafi’i tatkala mengatakan:
فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ فِيْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِيْ كِتَابِ اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا.
“Tidak ada satu pun masalah baru yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama, kecuali di dalam al-Qur‘an telah ada jawaban dan petunjuknya.”2
Kemudian al-Imam asy-Syafi’i membawakan beberapa dalil untuk menguatkan ucapannya di atas, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur‘an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS an-Nahl [16]: 89)
Alangkah menariknya apa yang diceritakan oleh asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin bahwa pada suatu kali ada seorang Nasrani datang kepada seorang ulama untuk mencela al-Qur‘an. Di waktu itu, mereka berdua berada di ruang makan. Orang Nasrani berkata, “Katanya al-Qur‘an itu menjelaskan segala sesuatu, sekarang adakah keterangan dalam al-Qur‘an tentang cara membuat makanan ini?” Orang alim tersebut akhirnya memanggil pemilik ruang makan seraya mengatakan, “Tolong jelaskan kepada kami, bagaimana cara membuat makanan ini.” Lantas, sang pemilik ruang makan pun menjelaskan secara terperinci. Setelah selesai, sang alim tersebut berkata (kepada orang Nasrani), “Demikianlah al-Qur‘an juga menjelaskan.” Orang Nasrani itu kaget dan heran seraya mengatakan, “Kok bisa begitu?” Alim tadi mengatakan, “Ya, karena Allah berfirman (yang artinya):
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui”. (QS an-Nahl [16]: 43)
Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan kunci ilmu segala sesuatu adalah dengan menanyakan kepada ahlinya.”3
Asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi memiliki sebuah risalah yang sangat berharga berjudul al-Islam Dinun Kamil (Islam Adalah Agama yang Sempurna). Di dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan sepuluh contoh permasalahan sebagai bukti kesempurnaan agama Islam. Kita cukupkan di sini dua contoh saja yang marak dibicarakan akhir-akhir ini:
1. Masalah ekonomi
Al-Qur‘an telah menjelaskan kaidah-kaidah dalam masalah ekonomi, sebab perekonomian itu kembali kepada dua permasalahan:
a) Pintar di dalam mencari harta
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka lebar-lebar segala pintu untuk mencari harta selagi tidak melanggar agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah [62]: 10)
b) Pintar di dalam membelanjakan harta
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk hemat dan tidak boros dalam membelanjakan harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyifatkan hamba-hamba-Nya yang beriman (yang artinya):
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS al-Furqan [25]: 67)
2. Masalah politik
Al-Qur‘an telah menjelaskan masalah-masalah politik secara gamblang. Hal itu karena politik yang bermakna pengaturan negara terbagi menjadi dua macam:
a) Politik luar negeri
Politik ini kembali kepada dua sumber utama:
Pertama: Mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi serangan musuh/penjajah. Tentang hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”. (QS al-Anfal [8]: 60)
Kedua: Persatuan yang kuat dalam kekuatan tersebut. Tentang hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. (QS Ali Imran [3]: 103)
b) Politik dalam negeri
Politik ini kembali kepada penyebaran keamanan dalam negeri, membasmi kezhaliman, dan memberikan hak kepada pemiliknya. Dan sumber politik dalam negeri ada dalam enam perkara yang semuanya telah dijelaskan di dalam Islam secara terperinci:
(1) Agama. Oleh karenanya, Islam memerintahkan tauhid dan melarang syirik serta menghukum orang yang murtad karena agama bukan permainan.
(2) Jiwa. Oleh karenanya, Islam melarang pembunuhan dan bunuh diri serta memberikan hukuman dan ancaman yang keras bagi pelakunya.
(3) Akal. Oleh karenanya, Islam melarang minum khamar (setiap yang memabukkan) karena hal itu merusak akal.
(4) Nasab. Oleh karenanya, Islam menganjurkan pernikahan dan melarang perzinaan.
(5) Harta. Oleh karenanya, Islam melarang pencurian, perampokan, dan mengambil harta orang lain.
(6) Kehormatan. Oleh karenanya, Islam melarang untuk menuduh orang lain tanpa bukti.4
Islam dan perkembangan teknologi
Sebagai agama yang sempurna dan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, Islam sangat mendukung perkembangan teknologi dan tidak menolaknya. Maka, sungguh dusta ucapan sebagian kalangan tatkala berceloteh, “Kita sekarang, hidup di zaman teknologi modern, manusia sudah sampai ke bulan(!), akankah kita harus kembali kepada manhaj salaf dan zaman unta lagi?!”
Wahai miskin, siapakah yang mengatakan bahwa kembali ke manhaj salaf itu berarti mengharamkan alat-alat teknologi modern?! Tidakkah kalian membedakan antara keduanya?! Ketahuilah bahwa kembali kepada Islam yang murni bukan berarti mengharamkan teknologi modern yang tidak bertentangan dengan syari’at, bahkan bila hal tersebut digunakan di dalam kebaikan maka membuahkan pahala.5
Di antara contohnya adalah alat transportasi modern. Pada zaman sekarang, kita mendapati beberapa kendaraan modern yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dahulu seperti mobil, kereta, pesawat, dan sebagainya. Apakah hal ini disebutkan di dalam al-Qur‘an? Di dalam surat an-Nahl yang disebut juga dengan surat an-Ni’am (nikmat-nikmat)6, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal/bagal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS an-Nahl [16]: 8)
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan nikmat-Nya berupa kendaraan/alat transpor, yang terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Jenis kendaraan yang disaksikan ketika turunnya ayat berupa kuda, keledai, dan bighal.
Kedua: Jenis kendaraan yang tidak mereka saksikan saat itu, tetapi Allah mengabarkan bahwa Dia akan menciptakannya setelah mereka. Hal ini telah terbukti sekarang dengan adanya alat-alat transpor yang ajaib seperti pesawat, kereta, mobil, dan sebagainya.7
Asy-Syaikh Muhammad asy-Syinqithi berkata, “Pembagian yang benar mengenai sikap di dalam menghadapi penemuan modern Barat terbagi menjadi empat macam:
(1) Meninggalkan penemuan modern, baik yang bermanfaat dan berbahaya.
(2) Menerima penemuan modern, baik yang bermanfaat dan berbahaya.
(3) Menerima yang berbahaya dan meninggalkan yang bermanfaat.
(4) Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya.
Dengan pembagian penemuan modern menjadi empat ini, ternyata kita dapati bahwa pertama, kedua, dan ketiga adalah batil tanpa diragukan lagi, berarti yang benar hanya satu yaitu keempat.”8
Dan penemuan modern seringkali mengalami perkembangan dengan tiga fase:
(1) Tahsiniyyat yaitu bersifat kebutuhan tersier (mewah) seperti mobil.
(2) Hajiyyat yaitu bersifat sekunder seperti rekreasi.
(3) Dharuriyyat yaitu bersifat primer (pokok, harus dipenuhi) seperti sandang dan pangan.
Contohnya lampu listrik dan handphone/smartphone, awal munculnya adalah kebutuhan mewah, hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pada saat ini mungkin keduanya merupakan kebutuhan primer bagi sebagian orang, tak bisa aktivitas tanpa listrik dan handphone/smartphone.
Argumentasi hukum asal alat teknologi
Hukum asal alat teknologi modern dan memanfaatkannya dalam kebutuhan dan kebaikan adalah boleh karena ini termasuk urusan dunia, sampai ada dalil yang melarangnya seperti mengandung kerusakan yang lebih besar. Berikut beberapa argumennya:
1. Asal segala urusan dunia hukumnya boleh
Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung, yaitu bahwa asal semua urusan dunia adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya dan asal semua ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.
Banyak sekali dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits yang menunjukkan kaidah berharga ini, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini.9 Cukuplah dalil yang sangat jelas tentang masalah ini adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam:
«إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَشَأْنُكُمْ، وَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دِيْنِكُمْ فَإِلَيَّ».
“Apabila itu urusan dunia kalian maka itu terserah kalian, dan apabila urusan agama maka kepada saya.”10
Bila ada yang mengatakan: Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang nonmuslim? Jawabnya: Sekalipun begitu, bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi ketika Perang Khandaq?! Jadi, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah orang-orang kafir dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa strategi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir di dalam masalah dunia dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam kata hikmah Arab dikatakan:
اجْتَنِ الثِّمَارَ وَأَلْقِ الْخَشَبَةَ فِي النَّارِ
“Ambilah buahnya dan buanglah kayunya ke api.”11
Maka dari itu, tidak selayaknya seorang hamba untuk menolak nikmat Allah tanpa alasan syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
2. Agama itu dibangun di atas kemaslahatan
Perlu diketahui bahwa syari’at yang suci dan mudah ini dibangun di atas kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Barang siapa meneliti sikap para nabi dan kisah-kisah mereka yang diceritakan di dalam al-Qur‘an, niscaya dia akan mengetahui dengan yakin tanpa sedikit pun keraguan.12
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Berdasarkan kaidah ini, semua ilmu dan penemuan modern yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik untuk urusan agama maupun dunia, maka hal itu termasuk yang diperintahkan dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.”13
Sebagai contoh, mikrofon sangat membawa kemaslahatan yang sangat besar dan banyak sekali dalam penyebaran syi’ar-syi’ar Islam. Ada kisah yang menarik. Pada suatu ketika, ada seorang berkacamata mengatakan kepada asy-Syaikh as-Sa’di dengan nada mengingkari, “Mikrofon adalah perkara baru, buatan nonmuslim, kita tidak perlu menggunakannya.” Mendengarnya, asy-Syaikh as-Sa’di mendekati orang tersebut lalu melepas kacamatanya, kemudian beliau bertanya, “Apakah kamu bisa melihat dengan jelas?” Jawabnya, “Tidak.” Syaikh pun lalu mengembalikan kacamatanya, kemudian bertanya, “Kalau sekarang bagaimana?” Jawabnya, “Kalau sekarang, saya bisa melihat dengan jelas.” Ketika itu, beliau berkata, “Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kacamata dapat membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan, demikian juga halnya mikrofon, ia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan majelis-majelis ilmu. Jadi, mikrofon merupakan kenikmatan Allah kepada kita, maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.”14 Bahkan beliau pernah berkhutbah tentang nikmat mikrofon yang semestinya disyukuri.
3. Sarana tergantung pada tujuannya
Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dan berharga sekali.15 Seperti hukum menaiki pesawat terbang untuk berangkat haji, menggunakan bom, tank, dan alat-alat canggih/modern untuk jihad, dan sebagainya. Alat-alat tersebut tidak diragukan tentang bolehnya karena alat-alat tersebut merupakan sarana menuju ibadah yang mulia.
4. Kesulitan membawa kemudahan
Sesungguhnya syari’at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan al-Imam asy-Syathibi berkata, “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti.”16
Syari’at seluruhnya mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan al-Imam Syafi’i tatkala berkata:
بُنِيَتِ الأُصُوْلُ عَلَى أَنَّ الأَشْيَاءَ إِذَا ضَاقَتْ اتَّسَعَتْ
“Kaidah syari’at itu dibangun bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”17
Tidak diragukan bahwa alat teknologi modern pada zaman kita sekarang merupakan kebutuhan yang penting dalam kebutuhan manusia, sehingga terasa sulit bagi manusia untuk melakukan aktivitas mereka tanpa adanya mikrofon disebabkan luasnya masjid dan banyaknya jama’ah.
5. Tidak diingkari perubahan hukum dengan perubahan zaman
لَا يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan tempat dan waktu.”
Kaidah ini telah disepakati oleh para ulama sebagaimana dikatakan al-Qarrafi di dalam al-Ihkam fi Tamyiz Fatawa ’anil Ahkam hlm. 232. Namun, kaidah ini tidak berlaku secara umum begitu saja, karena hukum itu terbagi menjadi dua:
Pertama: Hukum syari’at yang sandarannya adalah dalil-dalil yang jelas dari al-Qur‘an, hadits, dan ijma’. Maka hal ini tidak mengalami perubahan menurut zaman dan tempat.
Kedua: Hukum syari’at yang sandarannya adalah ijtihad berupa kemaslahatan, qiyas, dan adat. Inilah yang mengikuti perubahan sesuai dengan perubahan sarana yang ada. Al-Qarrafi berkata, “Jumud terhadap dalil semata merupakan kesesatan dalam agama dan kejahilan dengan tujuan pokok syari’at yang dipahami oleh para ulama salaf.” 18 Di antara contohnya:
(a) Hukum jual beli salam dalam bejana. Para ulama dahulu melarangnya, sedangkan para ulama sekarang membolehkannya karena kemajuan alat cetak barang sekarang sesuai pesanan pembeli.
(b) Hukum bedah perut ibu hamil yang meninggal dunia untuk menyelamatkan bayinya. Para ulama dahulu banyak yang melarangnya, sedangkan ulama sekarang yang membolehkannya dengan prediksi kuat berhasil karena kemajuan alat kedokteran sekarang.
(c) Hukum dan undang-undang pemerintah demi kemaslahatan manusia yang tidak bertentangan dengan agama, seperti rambu-rambu lalu lintas, pencatatan nikah di KUA, dan lain-lain.
Bolehkah memanfaatkan teknologi penemuan orang kafir?
Bila ada yang mengatakan: Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang nonmuslim. Apakah tetap boleh ataukah tidak boleh karena termasuk larangan tasyabbuh dengan orang kafir?
Jawabnya: Hukum asalnya adalah boleh sekalipun hasil penemuan kaum kafir. Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi Radhiallahu’anhu ketika Perang Khandaq?! Jadi, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah dari orang-orang kafir dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa strategi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga, tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir dalam masalah duniawi dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam kata hikmah Arab dikatakan:
اجْتَنِ الثِّمَارَ وَأَلْقِ الْخَشَبَةَ فِي النَّارِ
“Ambillah buahnya dan buanglah kayunya ke api.”19
Maka dari itu, tidak selayaknya seorang hamba menolak nikmat Allah tanpa alasan syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.
Memanfaatkan dan meniru (pembuatan) mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk tasyabbuh. Sebab, apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakikatnya bukanlah ciri khas (kekhususan) yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim maupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya bukanlah bagian dari tasyabbuh karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan sebagainya, sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nasrani. Namun, bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk tasyabbuh.
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin Rahimahullahuta’ala berkata, “Yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kita yaitu orang-orang kafir terbagi menjadi tiga bagian: (1) ibadah-ibadah, (2) adat-adat kebiasaan, dan (3) keahlian-keahlian dan pekerjaan-pekerjaan.
Adapun ibadah-ibadah maka termasuk yang dimaklumi bahwa tidak boleh bagi seorang muslim pun untuk menyerupai mereka di dalam ibadah-ibadah orang-orang kafir. Barang siapa menyerupai mereka di dalam ibadah-ibadah mereka, maka sungguh dia berada di atas bahaya yang besar, maka kadang-kadang hal itu membawa kepada kekufurannya dan keluarnya dia dari Islam.
Adapun adat-adat kebiasaan seperti pakaian dan yang lainnya, maka sesungguhnya diharamkan menyerupai mereka di dalamnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.’
Adapun teknologi-teknologi dan keahlian-keahlian yang di dalamnya ada maslahat untuk umum, maka tidak apa-apa kita mempelajari dari apa-apa yang mereka buat dan mengambil faedah darinya, dan ini bukanlah termasuk bab tasyabbuh, melainkan termasuk bab keikutsertaan di dalam pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat yang pelakunya tidak dianggap bertasyabbuh dengan mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa‘il Ibn Utsaimin 3/40)
Etika seorang muslim
Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi modern, terkadang iman seorang menjadi goyah dan hati menjadi terombang-ambing. Bagaimana sikap seorang muslim di tengah kemajuan teknologi?
1. Mempelajari ilmu dan hukumnya
Al-Imam al-Bukhari pernah menuturkan “Bab Ilmu sebelum berucap dan berbuat”. Sebab itu, seorang mukmin sebelum menggunakan alat-alat teknologi, hendaknya mempelajari terlebih dahulu apakah alat tersebut boleh digunakan ataukah tidak. Contoh bisnis MLM, bisnis online, penggunaan Facebook, dll. Maka dari itu, pelajarilah terlebih dahulu gambaran masalahnya dan status hukumnya. Dahulu, dikatakan:
الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
“Menghukumi sesuatu adalah cabang dari gambaran permasalahannya.”
Dan setiap orang yang hendak mempelajari hukum suatu masalah, hendaknya dia menempuh beberapa langkah berikut:
1. Mengetahui gambaran masalah secara jelas
2. Mencari dalil atau kaidah yang sesuai dengan hukum masalah
3. Mempraktikkan hukum syar’i tersebut pada permasalahan
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Semua permasalahan yang muncul pada setiap waktu harus diketahui gambarannya secara jelas terlebih dahulu. Apabila telah diketahui hakikatnya, sifatnya, dan gambarannya secara gamblang, maka setelah itu dikembalikan kepada nash-nash syar’i dan kaidah-kaidahnya, karena syari’at mampu memberikan solusi bagi setiap problematik yang menimpa masyarakat atau pribadi, sebuah solusi yang akan diterima oleh akal yang sehat dan fitrah yang bersih. Dan seorang yang cerdas hendaknya mempelajari permasalahan dari setiap sudutnya, baik dari tinjauan kenyataan di lapangan dan hukum syara’-nya.”20
Dan apabila seseorang tidak mampu untuk sampai kepada hukumnya, baik karena belum memahami gambaran permasalahan secara jelas atau belum menemukan dalilnya, maka hendaknya dia berhenti terlebih dahulu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Barang siapa (mendapat) kesulitan tentang sesuatu maka hendaknya berhenti, tidak boleh baginya untuk menisbahkan kepada Allah suatu ucapan dalam agama-Nya padahal tidak ada dalilnya. Hal ini tiada perselisihan di kalangan ulama umat semenjak dahulu hingga sekarang. Perhatikanlah.”21
Bila kita perhatikan sejarah, niscaya kita akan menemukan beberapa pendapat tentang masalah kontemporer yang hilang ditelan oleh sejarah dikarenakan pendapat tersebut tidak dibangun di atas ilmu tentang agama dan gambaran permasalahan secara jelas. Berikut beberapa contoh tentangnya:
(1) Qahwah (kopi). Awal munculnya kopi, ia banyak diperdebatkan oleh ulama, bahkan banyak tulisan tentangnya. Ada yang mengharamkannya karena menganggapnya memabukkan dan ada yang menghalalkan karena asal minuman adalah halal.22 Kemudian dengan berjalannya waktu, pendapat yang mengharamkan itu hilang dan para ulama pun bersepakat tentang halalnya kopi.23
(2) Rokok. Awal munculnya rokok, sebagian ulama ada yang membolehkannya karena ada manfaatnya dan belum jelas bahayanya seperti asy-Syaukani di dalam Irsyad Sa‘il ila Dala‘il Masa‘il. Adapun pada zaman kita sekarang, bisa dikatakan bahwa ulama telah bersepakat tentang haramnya rokok karena bahayanya sangat nyata, bahkan pada bungkusnya sendiri tertulis “Rokok Membunuhmu”.
(3) Radio. Awal munculnya radio, ada sebagian orang yang mengharamkannya seperti Khiyar ibn Muhammad Fadhil di dalam kitabnya ar-Raddu ’ala Man Yahkumu bi Radiyu fil Masa‘il Syar‘iyyah. Namun, pendapat tersebut hilang ditelan sejarah24, tiada berguna kecuali sejarah perbedaan pendapat di dalam masalah ini.
(4) Telepon. Awal munculnya telepon, ada sebagian yang mengharamkan seperti Ibrahim ibn Musa di dalam kitabnya ad-Dalil al-Wadhih fir Raddi ’ala Man Ajaza al-A’mal bi Tilfun fi Shaum wal Ifthar. Namun, pendapat tersebut juga hilang ditelan zaman.25
2. Menguatkan iman dan tidak terjebak dalam godaan setan
Tidak dimungkiri lagi bahwa alat-alat modern tersebut ibarat sebuah pisau, ada sisi positif dan sisi negatifnya tergantung pada penggunaannya. Islam, pada dasarnya, tidak melarang perkembangan dan kemajuan teknologi karena memang hukum asalnya boleh. Namun, harus disadari bahwa para setan dari jenis jin dan manusia tidak akan tinggal diam. Mereka (para setan itu) berusaha menjadikan alat-alat teknologi tersebut tersebut guna memangsa korban-korban untuk dirusak iman dan akhlak mereka. Sungguh betapa banyak kerusakan dan kemaksiatan yang sumbernya adalah internet dan Facebook.
Oleh karenanya, sebagai seorang muslim yang sejati, hendaknya kita menempatkan alat-alat teknologi ini untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai lahan pahala bagi kita berupa dakwah, silaturrahmi, dan sebagainya, bukan malah menjadikannya sebagai alat ghibah, fitnah, provokasi, gosip, pelampiasan nafsu berahi, dan sebagainya.
Hendaknya kita ingat bahwa kemudahan seorang di dalam maksiat bukanlah pertanda bahwa Allah meridhainya. Namun, kita harus menyadari bahwa semua adalah ujian dan cobaan akan keimanan kita kepada Allah, apakah kita benar-benar jujur hanya takut kepada-Nya ataukah hanya sekadar pengakuan belaka tanpa bukti yang nyata. Faedah ini tersirat di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya adzab yang pedih. (QS al-Ma‘idah [5]: 94)
Selayaknya bagi seorang muslim yang mau menggunakan alat teknologi untuk mengetahui rambu-rambu syari’at dalam hal ini agar tidak terjerumus dalam bujuk rayu setan yang mengajak pengikutnya untuk ramai-ramai bersama masuk neraka.
3. Mensyukurinya dan menjadikannya sebagai ladang pahala
Hendaknya seorang yang menggunakan alat-alat teknologi modern meluruskan niatnya terlebih dahulu, dia benar-benar ingin menjadikannya untuk sesuatu yang bermanfaat. Jangan sampai dia terjerat dalam rayuan dan jerat-jerat setan. Ingatlah ucapan seorang ulama, “Setiap nikmat yang tidak semakin menjadikan dirimu dekat dengan Allah, maka itu adalah sebuah bencana.” Dan ucapan sebagian mereka juga, “Jika engkau dalam kenikmatan maka jagalah baik-baik, karena dosa bisa melenyapkannya.”
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi potensi dan kelebihan kepada manusia berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Ada sebagian hamba yang diberi kelebihan ilmu agama, ada yang diberi kelebihan harta, ada yang diberi kelebihan ahli dalam bidang elektronik, ada yang diberi kelebihan ahli di bidang kedokteran. Semua itu sangatlah indah jika disinergikan untuk menolong agama Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS al-Isra‘ [17]: 84)
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
«اعْمَلُوْا فَكُلُّ مٌيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ».
“Beramal-lah kalian, semua orang akan dimudahkan menuju arah penciptaannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Kalau kita telusuri di dalam sejarah kehidupan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, niscaya akan kita dapati aplikasi nyata dari kaidah berharga ini. Ada sebagian mereka yang menolong agama Allah dengan ilmu seperti Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Ada yang menolong agama Allah dengan harta bendanya seperti Abdurrahman ibn Auf Radhiallahu’anhu dan Abu Bakar Radhiallahu’anhu atau Utsman Radhiallahu’anhu. Ada pula yang menolong agamanya dengan keahliannya dalam bidang strategi perang seperti Khalid ibn Walid Radhiallahu’anhu. Ada juga yang menolong agama Allah dengan sastra bahasa dan syair seperti Hassan Radhiallahu’anhu. Ada yang menolong agama Allah dengan keahliannya di dalam pertukangan kayu seperti seorang sahabat yang menawarkan diri untuk membuatkan mimbar bagi Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Bahkan ada seorang sahabat wanita yang menolong agama Allah dengan keahlian yang dia miliki sekalipun rendah di sisi manusia yaitu membersihkan masjid sehingga Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menanyakan perihalnya lalu datang dan mendo’akan kebaikan untuknya.
Termasuk kisah indah dalam masalah ini adalah kisah yang dibawakan oleh al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 7/185 bahwa Abdullah ibn Abdul Aziz al-’Umari—seorang ahli ibadah—pernah menulis sepucuk surat untuk al-Imam Malik yang berisi anjuran untuk menyendiri agar fokus di dalam ibadah serta menganjurkannya untuk meninggalkan mengajarkan ilmu. Al-Imam Malik menjawab surat tersebut, “Sesungguhnya Allah telah membagi amal perbuatan sebagaimana Allah membagi rezeki. Ada sebagian orang yang dilebihkan di dalam shalat tetapi tidak di dalam puasa. Sebagian yang lain dilebihkan di dalam sedekah tetapi tidak di dalam puasa. Sebagian dilebihkan di dalam jihad namun tidak di dalam shalat. Dan menyebarkan ilmu termasuk pintu kebaikan yang amat mulia. Aku telah ridha dengan apa yang telah Allah lebihkan dan buka untuk saya. Saya sama sekali tidak merasa bahwa pintu kebaikan ini lebih rendah daripada pintu kebaikan yang Allah buka untukmu. Dan kita semua berharap agar kita berdua di dalam kebaikan. Dan hendaknya masing-masing kita semua ridha dengan apa yang telah Allah bagi untuk kita. Wassalam.” Ini merupakan wujud kecerdasan al-Imam Malik.
Oleh karenanya, wahai kaum Muslimin, marilah kita semua telusuri potensi dan kelebihan yang Allah berikan kepada kita. Wahai para guru, para pebisnis dan orang kaya, para dokter, arsitek, ahli komputer dan internet, bahkan kalian wahai para buruh dan pekerja biasa. Marilah kita semua gunakan potensi dan keterampilan kita masing-masing untuk menolong agama Allah sehingga cahaya Islam semakin berkilau. Marilah kita tanya di dalam hati kita masing-masing dengan penuh penghayatan, “Apa yang sudah kita persembahkan untuk kemajuan Islam?! Amalan apa yang telah kita perbuat untuk dakwah Islam?!”
4. Mengatur waktu
Hendaknya pengguna alat teknologi modern memahami akan mahalnya waktu. Janganlah dia terjebak dalam kesia-siaan atau terlena keenakan chatting, whatsapp, BBM, dan sebagainya hingga lalai dari shalatnya, kewajiban, dan tugasnya di rumah atau tempat kerja.
Oleh karenanya, Rasul kita yang mulia Shallallahu’alaihi wa sallam memberikan arahan untuk memanfaatkan waktu dengan baik di dalam sabdanya:
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَباَبَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِناَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَحَياَتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ، وَفَراَغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ
“Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, hidupmu sebelum matimu, dan kelapanganmu sebelum sibukmu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi dan dihasankan al-Iraqi dan al-Albani)
Pergunakanlah alat-alat tersebut untuk ketaatan. Janganlah engkau gunakan untuk dosa dan kesia-siaan. Ingat ucapan al-Imam asy-Syafi’i, “Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan ketaatan maka dirimu akan tersibukkan dengan selain ketaatan.”
5. Tatsabbut (teliti dan hati-hati)
Di antara hal yang harus selalu diingat bagi mereka yang menggunakan alat teknologi modern adalah hendaknya tatsabbut (memeriksa dengan teliti) dari semua yang dia ucapkan, yang dia dengarkan, yang dia baca, dan yang dia nukil, karena tidak semua yang ada pasti benar adanya. Bahkan betapa banyak gosip dan berita miring di dalamnya!!
Maka wajib atas seorang yang berakal agar memperhatikan perkara ini. Jika dia mengetahui suatu berita atau suatu perkara maka hendaknya tatsabbut tentangnya. Kalau sudah diketahui tentang kebenarannya maka hendaknya melihat perlu tidaknya dia sebarkan. Jika hal itu akan membawa kepada kebaikan maka hendaknya dikumpulkan dan disebarkan, dan jika tidak membawa kebaikan maka hendaknya dia lipat dan berpaling darinya.
Berapa banyak terjadi kejelekan dan fitnah dengan sebab kesembronoan di dalam hal ini. Berapa banyak dari manusia yang mengabaikan akalnya, dan memperlakukan segala sesuatu yang disebarkan di internet sebagaimana sebuah wahyu yang tidak ada kebatilan di depan dan di belakangnya.
Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk selektif ketika menyikapi gosip26, sebagaimana di dalam firman-Nya (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujurat [49]: 6)
Sungguh telah datang larangan yang jelas dari menyampaikan segala sesuatu yang didengar. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
«كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ».
“Cukuplah seseorang berdusta jika menyampaikan semua yang dia dengar.” (Shahih Muslim 1/8)
Ibnu Baadis berkata, “Tidak semua yang kita dengar dan kita lihat harus diyakini oleh hati hati kita, namun hendaknya kita mengeceknya dan memikirnya secara matang. Jika memang terbukti dengan bukti nyata maka kita mempercayainya, namun jika tidak maka kita meninggalkannya.”27
Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
1 Tafsir al-Qur‘anil Azhim 3/23
2 Ar-Risalah hlm. 20
3 Syarh Kasyfi Syubuhat hlm. 72
4 Lihat al-Islam Dinun Kamil hlm. 18–20 (secara ringkas).
5 Lihat Hadza Huwal Islam oleh Dr. Humud ibn Abdul Aziz al-Badr hlm. 142–144 dan Ta’liq Dr. Abdullah ath-Thayyar di dalam al-Ijabah ash-Shadirah fi Shihhatish Shalah fi Thairah hlm. 18.
6 Dinamakan dengan surat an-Ni’am karena Allah menyebutkan banyak kenikmatan kepada hamba-Nya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Athiyyah di dalam al-Muharrar al-Wajiz 3/377. Lihat pula Asma‘us Suwaril Qur‘an hlm. 242–243 karya Dr. Munirah binti Muhammad ad-Dusari, cet. Dar Ibnul Jauzi.
7 Al-Ijabah ash-Shadirah fi Shihhatish Shalah fi Thairah hlm. 14–15 karya asy-Syinqithi, Min Kulli Suratin Fa‘idah hlm. 131 karya asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
8 Adhwa‘ul Bayan 4/382
9 Jami’ul Ulum wal Hikam 2/166 oleh al-Imam Ibnu Rajab
10 HR Ibnu Hibban 1/201 dan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim
11 Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir 2/602 oleh Khalid ibn Utsman as-Sabt dan risalah Raf’u Dzull wa Shaghar hlm. 42–45 oleh asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
12 Adab Thalab wa Muntaha Arab hlm.159 asy-Syaukani
13 Al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah hlm. 12
14 Mawaqif Ijtima’iyyah min Hayatisy Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, Muhammad as-Sa’di dan Musa’id as-Sa’di, hlm. 100-101.
15 Lihat al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah hlm. 13–19 oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di.
16 Al-Muwafaqat, asy-Syathibi, 1/231.
17 Qawa’idul Ahkam hlm. 60
18 Al-Furuq 1/177
19 Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir 2/602 oleh Khalid ibn Utsman as-Sabt dan risalah Raf’u Dzull wa Shaghar hlm. 42–45 oleh asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
20 Al-Fatawa as-Sa’diyyah hlm. 190–191
21 Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/848
22 Asy-Syaikh Abdul Qadir ibn Muhammad al-Jazuri menulis sebuah kitab berjudul Umdah Shafwah fi Hilli Qahwah. Di dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan secara detail tentang halalnya kopi.
23 Sebagaimana dikatakan oleh Mar’i al-Karmi di dalam Tahqiq Burhan fi Sya‘ni Dukhan hlm. 154.
24 Lihat ad-Durar Saniyyah 15/125, 134, 141.
25 Diringkas dari as-Sa’yul Hamid fi Masyru’iyyatil Mas’a al-Jadid hlm. 17–23 oleh Syaikhuna Masyhur ibn Hasan alu Salman.
26 Lihat tentang masalah gosip dan bahayanya di dalam risalah asy-Syaa’iat Haqiqatuha Asbabuha wa Khathruha oleh Dr. Sulaiman Abu Khail.
27Ushul Hidayah hlm. 97
[…] kaidah berharga ini, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini.9 Cukuplah dalil yang sangat jelas tentang masalah ini adalah sabda Nabi […]