Catatan Kelima: Jangan Salah Faham!!!
Perlu diingat dan diperhatikan dari tulisan ini adalah bahwa dengan membahas masalah ini bukan berarti kami melarang membaca surat Yasin, tetapi kami ingin menjelaskan kesalahan orang-orang yang menyandarkan dalil keutamaannya kepada Nabi karena berdusta atas nama Nabi adalah diharamkan dan diancam masuk neraka.
Selain itu pula kita wajib melihat apakah ada contoh Nabi yang menerangkan bahwa Nabi membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, setiap mulai atau menutup majlis taklim, ketika ada orang mati dan lain-lain.
Mudah-mudahan, dari penjelasan dan keterangan ini, bukan mematahkan semangat tetapi malah sebagai dorongan untuk membaca dan menghafal seluruh isi Al-Qur’an dan berupaya untuk mengamalkannya.[1]
Maka janganlah engkau tertipu dengan silat lidah ahli bid’ah yang menuduh ahli sunnah tatkala mengingkari ritual seperti ini dengan ucapan mereka: “Mereka adalah Wahhabi!! Melarang manusia dari dzikir dan membaca Al-Qur’an! Tidak suka bacaan Al-Qur’an dan Sholawat kepada Nabi!!”.
Dari Said bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua rakaat, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya Said bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah aka menyiksaku dengan sebab shalat? “Beliau menjawab tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah”[2])
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengomentari atsar ini: “Ini adalah jawaban Said bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlu Sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam dzikir, shalat dan lain-lain”.[3]
Catatan Keenam: Menepis Beberapa Syubhat
Ada beberapa alasan yang dijadikan landasan sebagian kalangan yang biasa menyelenggarakan acara tersebut seperti ucapan mereka: “Ritual itu sudah merupakan bagian mayoritas masyarakat yang tidak bisa ditinggalkan”, “Hadits-hadits keutamaan Yasin”, dan lain sebagainya.
Kami tidak ingin membahasnya satu persatu[4], karena kami kira keterangan di atas sudah memuat jawabannya, hanya saja ada dua syubhat lainnya yang kami merasa penting untuk menjawabnya:
Syubhat Pertama: Yasinan adalah masalah Khilafiyyah.
Syubhat ini mereka lontarkan seakan-akan Yasinan adalah masalah ijtihadiyyah yang boleh berbeda pendapat tentangnya, sehingga tidak boleh diingkari[5]
Jawaban:
- Kita bertanya-tanya: Apakah setiap perbedaan pendapat tidak boleh diingkari?! Jawabannya: Tidak[6], sebagaimana dahulu dikatakan:
وَ لَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا
إِلاَّ خِلاَفًا لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ
Tidak seluruh perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat[7].
- Kewajiban setiap muslim ketika menjumpai perbedaan pendapat adalah mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah:
﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)
- Kemudian anggapan mereka bahwa Yasinan adalah masalah khilafiyyah adalah tidak benar, karena perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama salaf adalah tentang masalah “menghadiahkan pahala amalan kepada orang mati” bukan masalah Yasinan, karena Yasinan adalah pengkhususan bacaan-bacaan tertentu sebagaimana yang mereka lakukan, dan ini termasuk bid’ah idhofiyyah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka.
Walaupun seandainya kita mengatakan pahala bacaan Al-Qur’an yang dihadiahkan akan sampai kepada orang mati, tetapi sama sekali ini bukan dalil untuk melegalisasi acara Yasinan.
- Kemudian, mengapa mereka mengikuti sesuatu yang tidak ada landasannya, sedangkan sunnah-sunnah lainnya yang jelas disyari’atkan mereka lalaikan?!![8]
Syubhat Kedua: Jangan Sibukkan Dengan Masalah Parsial!!
Sebagian dai yang hikmah (!) dan ustadz gaul yang tidak kolot (!) dengan kearifan mereka (!) mencoba untuk menempuh jalan pintas: Mengapa sih kita sibuk dengan masalah-masalah kulit!! Lihatlah, banyak saudara-saudara kita yang teraniaya!! Gereja-gereja timur saling bantu-membantu dengan gereja barat. Lantas, masihkan kita menyibukkan diri dengan masalah-masalah kulit seperti ini?!! Semuanya baik, yang yasinan atau gak yasinan baik, yang gaik baik adalah yang gak ngaji Al-Qur’an!!”
Jawaban:
- Ucapan ini sangat berbahaya sekali, karena akan berdampak meremehkan hukum-hukum Islam dengan alasan bahwa ini hanya masalah kulit, kecil dan sebagainya. Lalu tidak ada pengingkaran dalam hatinya kepada seorang yang melanggarnya, padahal mengingkari kemunkaran merupakan kawajiban setiap muslim. Apakah kita ingin seperti ahli kitab yang dilaknat Allah karena mereka tidak mengingkari kemunkaran?!! Bukankah kewajiban bagi orang yangmengerti untuk tegas mengingkari kemunkaran?! Lantas, mengapa harus ditutup-tutupi?!
- Pembagian agama Islam kepada isi dan kulit merupakan pembagian yang bid’ah. Dan anggaplah pembagian ini benar, hal itu bukan berarti bahwa kita meremehkan kulit, karena kulit tidaklah diciptakan sia-sia tetapi untuk menjaga isi buah. Hal ini mendorong kita agar tidak meremehkan masalah kulit dalam agama!! Alangkah indahnya ucapan Al-Izz bin Abdussalam: “Seandainya dikatakan kepada seorang di antara mereka: Sesungguhnya ucapan gurumu itu cuma kulit, niscaya dia akan sangat mengingkarinya, lantas bagaimana dia menganggap kulit terhadap syari’at Islam!! Padahal syari’at diambil dari Al-Qur’an dan sunnah. Maka hendaknya orang jahil ini mendapatkan hukuman yang pantas karena dosanya tersebut”.[9]
- Adapun masalah kehinaan kaum muslimin dan gencarnya makar musuh-musuh Islam, hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan penerapan sunnah Nabi. Bukankah para sahabat dan salaf dahulu juga menghadapi perlawanan hebat dari musuh-musuh Islam. Tapi apakah hal itu menjadikan mereka meremehkan dan meninggalkan penerapan sunnah Nabi dan meningkari bid’ah?!! Sama sekali tidak.[10]
Catatan Ketujuh: Beberapa Bid’ah Berkaitan Surat Yasin
Ada beberapa kesalahan dan kebid’ahan yang biasa dilakukan oleh sebagian manusia berkaitan dengan surat Yasin, di antaranya:
- Membaca surat Yasin ketika memandikan mayit.
- Membaca surat Yasin kepada orang yang akan meninggal dunia.
- Membaca surat Yasin di kuburan.
- Menjadikan surat Yasin sebagai jimat.
- Membaca surat Yasin sebanyak empat puluh kali.[11]
Catatan Kedelapan: Marilah Banyak Membaca dan Mempelajari Al-Qur’an
Sekali lagi, bukanlah tujuan tulisan ini untuk menggembosi semangat kaum muslimin untuk membaca Al-Qur’an. Sekali-kali tidak, bahkan kami sangat menghimbau kepada diri kami pribadi dan kepada seluruh kaum muslimin di manapun berada untuk banyak membaca, mempelajari, merenungi dan dan mengamalkan isi Al-Qur’an karenba di dalanya terdapat mutiara-mutiara ilmu berharga yang akan menambah keimanan kita dan ketentraman hati kita. Marilah kita ingat tujuan diturunkannya kitab suci Al-Qur’an kepada kita. Allah berfirman:
﴿كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٩﴾
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shod: 29)
Inilah tujuan Al-Qur’an, bukan untuk sebagai jimat, pajangan atau ritual-ritual rutinitas yang tidak diizinkan dalam syari’at. Maka sebagai ganti dari acara Yasinan kita bisa merubahnya menjadi pengajian tafsir Al-Qur’an, pengajian agama lainnya atau mengkaji bersama membaca Al-Qur’an disertai artinya, sungguh itu lebih baik dan lebih berbarokah[12].
Akhirnya, kita berdoa kepada Allah agar menjadikan Al-Qur’an penyejuk hati kita dan petunjuk hidup kita serta lentera jalan kita.
[1] Yasinan karya Al-Ustadz Yazid bin Abdil Qodir Jawwas hlm. 8-9, cet Media Tarbiyah, Bogor.
[2]) Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Sunan Kubra 2/466 dan dihaohihkan oleh al-Albani dalam Irwaul Gholil 2/236.
[3] Irwaul Ghalil 2/236
[4] Lihat secara luas dalam Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan dan Selamatan oleh Ust. Abu Ibrahim dan Bincang-Bincang Seputar Tahlilan, Yasinan dan Maulidan oleh Ust. Abu Ihsan al-Atsari.
[5] Sungguh mengherangkan ucapan sebagian orang yang dianggap militan dalam organisasinya tatkala mengatakan: “Dari hasil penelitian dengan metodologi modern, maka tahlilan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keagamaan, tahlilal merupakan alat pemersatu umat, dan tahlilan adalah masalah khilafiyyah yang tidak boleh diingkari oleh lainnya”. (Sumber Konflik Masyrakat Muslim NU-Muhammadiyyah hlm. 257-259). Subhanallah, apakah teknologi modern dapat merubah kebathilan menjadi suatu kebenaran?!! Hanya kepada kita mengadu keadaan manusia zaman sekarang!!
[6] Untuk memahami masalah perbedaan, silahkan lihat kembali tulisan kami “Perbedaan Pendapat Adalah Rohmat?!” dalam Majalah Al Furqon edisi 9/Th. 8, hal. 12-14.
[7] Lihat al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.
[8] Disadur dengan beberapa perubahan dari Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan dan Selamatan hlm. 70-76 karya Ust. Abu Ibrahim Muhammad Ali, cet pertama.
[9] Al-Fatawa hal. 71-72, sebagaimana dalam Ilmu Ushul Bida’ hlm. 258 Ali bin Hasan al-Halabi.
[10] Lihat Tabshiru Ulil Albab bi Bid’ah Taqsim Diin Ila Qosyri wa Lubab Muhammad bin Ahmad Ismail hlm. 122-136. Lihat juga masalah ini secara panjang dalam kitab “Dalail Ash-Showab fi Bid’ah Taqsim Diin Ila Qosyr wa Lubab” oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[11] Lihat Mu’jamul Bida’ hlm. 679 karya Syaikh Ra’id bin Shabri Abu ‘Ulfah.
[12] Sebagai kenangan dan faedah, kami ceritakan bahwa ketika di Arab Saudi beberapa waktu yang lalu, ada sekumpulan saudara kita warga Indonesia yang tetap aktif mengadakan ritual Yasinan di sana setiap malam Jum’at. Ketika melihat dari sebagian jama’ah wajah kebosanan dan kemalasan dari acara tesebut, sebagian saudara kami mengusulkan agar acara tersebut diselingi dengan pengajian agama dan meminta kepada penulis untuk berpartisipasi sebagai pematerinya. Kamipun menyetujui usulan tersebut. Awalnya, kami memberikan pengajian dengan materi umum tentang tauhid, sholat dll tanpa membahas bid’ahnya acara tersebut sehingga setelah pengajianpun dilanjutkan dengan acara Yasinan mereka, tentunya tanpa kehadiran kami karena kami pamit pulang dulu dengan berbagai alasan. Dengan berjalannya waktu, mereka-pun akhirnya meninggalkan acara tersebut dan mencukupkan dengan pengajian agama, padahal kami tidak pernah membahasnya secara langsung dalam kajian tersebut. Segala puji hanya bagi Allah atas hidayah dan rahmatNya. Kami kisahkan ini dengan tujuan agar menjadi pelajaran bagi saudara-saudara kami untuk tidak gegabah dalam mengingkari ritual-ritual yang mengakar di masyarakat seperti ini.